Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa

Judul: Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa
Penulis: Paul Stange
Penerbit: LKiS, 1998
Tebal: 308 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga Rp 100.000 (belum ongkir)
Order: SMS 085225918312


Rasa merupakan sesuatu yang bersifat universal. Artinya, semua manusia bagaimanapun latar belakang dan budayanya tentunya mempunyai penghayatan, pemahaman, persepsi dan wawasan tertentu sekitar rasa.

Di antara sekian ragam budaya dan kepercayaan yang ada di dalam sejarah dunia ini, terdapat beberapa unsur persamaan dan perbedaan tentang penghayatan dan pemahaman soal rasa itu sendiri. Perbedaan itu mungkin bisa dilihat sebagai perbedaan aksentuasi terhadap beberapa aspek rasa.

Dengan demikian, dalam rasa itu sendiri terdapat beberapa ciri atau kekhasan-kekhasan tertentu. Dalam budaya jawa misalnya rasa merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang amat luhur.

Pada umumnya masyarakat jawa merupakan salah satu etnis yang sangat menjunjung tinggi, teguh serta memiliki kesetiaan terhadap nilai budaya yang dimilikinya. Dalam budaya jawa, rasa memiliki tempat dan peranan yang sangat penting. Dari kenyataan dan sikap fanatisme semacam inilah kemudian muncul istilah Javanisme. Istilah Javanisme (kejawen) yang lebih mementingkan serta mengutamakan nilai tradisi dalam budaya jawa itu sendiri.

Nilai-nilai kebudayaan jawa inilah yang kemudian mampu mengenalkan jawa pada ranah dunia yang lebih luas. Dari berbagai keunikan dan keberagaman makna yang ada dalam budaya jawa, sehingga banyak menimbulkan keinginan kuat para sejawan dunia untuk memahami serta lebih meneliti lebih detail tentang kebudayaan jawa.

Rasa mempunyai nilai yang tidak dapat dinominalkan dan tidak mampu diraba. Dengan menggunakan rasa, masyarakat jawa mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap berbagai fenomena alam yang akan terjadi. Hingga tidak mengherankan jika pada zaman dulu masyarakat jawa mampu memahami dan mengerti apa yang dikehendaki oleh alam. Alam dan masyarakat mampu bersahabat sehingga tercipta kehidupan yang sangat harmonis dan jauh dari bencana. Sayang, rasa yang dahulu pernah dimiliki oleh masyarakat jawa sedikit demi sedikit mulai luntur dari peradaban.

Bahkan tidak mengherankan jika masyarakat jawa sekarang sudah jauh dengan yang namanya rasa. Kepekaan akan fenomena alam tidak mampu dirasakan kembali. Masyarakat Jawa sudah tidak mampu lagi berdialektika dengan alam. Sehingga alam mulai murka karena merasa tidak diperhatikan oleh masyarakatnya.

Paul Strange Lewat karyanya “Politik Perhatian; Rasa dalam Kebudayaan Jawa” ini, mencoba untuk menjawab serta menelaah lebih jauh tentang hakikat rasa dalam budaya jawa. Bagaimana peranan rasa dalam pengaruhnya terhadap peradaban manusia dan makna filosofi dari rasa itu sendiri.

Selain itu didalamnya juga dikupas lebih jauh tentang nilai-nilai budaya jawa yang menurutnya merupakan tradisi tantrik yang sudah ada jauh sebelum kedatangan tradisi-tradisi agama india dan Semitik. Dengan menggunakan teropong etnografis yang dikombinasikan dengan penelurusan literer, Paul mencoba menyingkap serta memperkenalkan kembali tentang nilai budaya jawa yang menurutnya merupakan tradisi tantrik yang sudah ada jauh sebelum kedatangan tradisi-tradisi agama india dan simetik.

Dalam banyak hal, dalam karyanya ini Paul kembali menegaskan apa yang disebut sebaga “agama jawa” atau sering kita sebut sebagai kejawen dengan berbagai nilai dan praktik spiritual-ritualnya.

Dalam istilah jawa, rasa tidak hanya merupakan istilah yang diterapkan pada pengalaman indrawi yang mengiringi pada estetika, akan tetapi juga merupakan sebuah organ terpenting kognitif yang digunakan secara aktif dalam praktik dunia mistik. (hal 7)

Paul memang merupakan pengamat jawa dari manca negara, akan tetapi tidak bisa disangkal bahwa ia turut menyemarakan bahkan termasuk penganut nilai-nilai dalam budaya jawa. Sehingga dengan memahami dan membaca karyanya ini, dengan sendirinya kita akan berhadapan dengn seorang yang satu sisi murni sholar (seorang yang berjarak terhadap jawa), namun disis lain merupakan “orang dalam” yang menganut dan menghayati nilai-nilai budaya jawa yang diteropongnya tersebut.

Pergeseran nilai budaya jawa ini sangat terasa sekali implikasinya. Sehingga menimbulkan suatu persoalan yang sangat urgen dalam transformasi kebudayaan di Indonesia. Sebagai orang jawa tentunya sangat naif sekali jika kita sudah tidak mau ambil pusing dan perduli lagi dengan budayanya sendiri. Sebab bagaimanapun juga nilai yang terkandung dalam budaya jawa dapat dikatakan sebagai salah satu dari kebijakan tradisional dunia yang sangat berharga. Kearifan yang terkandung begitu mendalam dan agung. Dengan penekanannya pada harmoni dan sinkretisnya,  jawa dalam sejarah Indonesia mampu menjadi perekat budaya dalam gejolak serta hingar bingar kehidupan politik dan keagamaan yang penuh dengan pertentangan.

Jawalah yang selama ini mampu menjadi “kultutre penyangga” utama bagi keberlangsungan Indonesia dengan terdiri dari berbagai etnis, suku, agama, bahasa serta berbagai ekspresi politik yang diakibatkan oleh keberagaman tersebut. Hingga tak mengharankan banyak kalangan yang mengatakan bahwa berbagai kerusuhan politik, sosial, moral dan keagamaan yang terjadi beberapa dekade terakhir disatu sisi melibatkan semakin merosotnya nilai-nilai toleransi dan harmoni dalam budaya jawa. Nilai jawa telah banyak ditingglakan hingga yang tersisa hanya sisi legitimasinya terhadap hegemoni kekuasaan semata.