Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi

Judul: Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi
Penulis: Djohan Effendi
Penerbit: Kompas, 2010
Tebal: 356 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Terjual Malang


Spirit pembaruan bukanlah dilakukan dengan membongkar dan mengobrak-abrik sebuah tradisi. Tradisi bukanlah beban menuju pembaruan, tetapi justru menjadi akar yang kuat dalam membangun struktur pembaruan. Tanpa tradisi, pembaruan akan mudah rapuh dan terjungkal. Eropa mampu bertahan dengan kuat dalam mengukuhkan modernisasinya tak lain karena kuat memegang teguh ajaran tradisi yang melakat. Jepang semakin melejit justru dengan mengukuhkan basis tradisinya untuk meningkatkan etos modernitasnya.

Demikian juga yang dilakukan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan akar tradisi di lingkungan nahdliyyin. Saat ini kaum muda nahdliyyin mengalami lonjakan intelektualitas yang luar biasa. Bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga tersebar di luar negeri. Bukan saja di Timur Tengah, tetapi juga menyebar di berbagai belahan Eropa. Suntikan radikalisasi pemikiran yang dilakukan Gus Dur terbukti melejitkan potensi tradisi yang dimiliki kaum nahdliyyin. Dengan memupuk tradisilah, Gus Dur akhirnya mampu membangkitkan etos pemikiran dan gerakan kaum nahdliyyin.

Revolusi besar-besaran dalam intelektualitas yang telah ditanamkan Gus Dur inilah yang mendapatkan apresiasi menarik dari Djohan Effendi lewat karyanya bertajuk “Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi”. Dengan tradisi yang kuat inilah, bagi Djohan, Gus Dur mampu melakukan revolusi atas nalar pemikiran kaum nahdliyyin. Revolusi yang dijalankan Gus Dur, salah satunya, lewat slogan pemikirannya, yakni pribumisasi Islam. Dengan slogan ini, kaum muda nahdliyyin diajak Gus Dur melakukan petualangan keilmuan dalam rimba pengetahuan, sehingga mampu menjadikan tradisi sebagai “modal sosial” dan “modal intelektual” untuk menjemput dan memaknai modernitas.

Terbukti kemudian lahir gerakan anak muda yang mampu menjadi penggerakan perubahan social di Indonesia. Kader-kader Gus Dur juga beragam, sesuai dengan kecenderungan dalam meletakkan pijakan gerakan sosialnya. Ada yang bergerak secara progresif, konservatif, bahkan liberal dan “kiri” sekalipun. Ulil Abshar Abdalla tak lain merupakan “murid ideologis” yang Gus Dur yang cenderung berpijak pada liberalisme. Dan Gus Dur sendiri ketika masih hidup juga membela pemikiran yang telah dituangkan Ulil selama ini.     

Transformasi gagasan yang dilakukan Gus Dur terbukti menghasilkan membangkitkan nalar berfikir anak muda NU. Dan terbukti, kaum muda NU sekarang menjadi pelopor intelektual muda Indonesia, bahkan dinilai sebagai pelopor gerakan kedua neo-modernisme Islam pasca Nurcholis Madjid dan Gus Dur sendiri. Masyarakat NU, kemudian, tidak lagi dianggap tradisional, eksklusif, dan jumud. Mereka kini mengisi pos-pos penting pemikiran dan gerakan peradaban di Indonesia. Tidak hanya dalam Islam, tetapi juga dalam pemikiran politik, demokrasi, civil society, ekonomi, dan gerakan pemberdayaan publik.

Kalau potensi tradisi tergarap serius, maka kedepan kereta pemikiran NU akan semakin cepat, meninggalkan bahkan malampaui berbagai ruas pemikiran modern. Para pemikir-pemikir hasil olahan tradisi itulah yang akan menerjemahkan gagasan besar, sekaligus mencipta kreativitas-kreativitas baru berdasarkan pengalaman, kearifan, dan kecerdasan lokal (wisdom dan genius of local). Gagasan besar Gus Dur, Kiai Sahal, Said Aqil, dan lainnya akan mudah ditransformasikan sampai paling bawah. Terjadilah kebangkitan besar nan dahsyat bahwa intelektual NU menjadi garda depan pemikir Nusantara sebagaimana yang dilakukan para pendahulu Islam, semisal Nawawi al-Bantani,  Mahfudz al-Turmusi, Kholil al-Bankalani, Yasin al-Fadani, Hasyim Asy’ari, dan lainnya.

Bagi penulis, tugas besar ini harus dipikul seluruh elemen NU. Disitulah NU akan mencipta kaum kreatif yang dapat merubah sejarah peradaban. Sebagaiman disuarakan Arnold Toynbe dalam Study of History, hanya kaum minoritas kreatif yang dapat mengubah jarum sejarah dunia. Kaum mayoritas hanya akan membunuh sejarahnya sendiri.  Kalau Lakpesdam mampu mencipta kaum minoritas kreatif, maka ditangan kaum muda NU sejarah Indonesia akan digerakkan. Makanya, kuantitas warga NU yang begitu besar tanpa dibarengi munculnya kaum minoritas kreatif didalamnya, maka NU yang begitu besar akan membunuh sejarahnya sendiri. Kaum muda NU harus menjadi problem solver, pemecah persoalan bangsa, bukan menjadi parth of problem, bagian persoalan itu sendiri, atau atau bahkan menjadi trouble maker, kaum yang membuat onar dan persoalan. (Muhammadun).