Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Air Kaldera

Judul: Air Kaldera (kumpulan cerpen)
Penulis: Joni Ariadinata
Penerbit: Yayasan Aksara Indonesia, 2000
Tebal: 190 halaman
Kondisi: Bekas (cukup
Stok Kosong


Gamang adalah emosi yang muncul mendominasi saat saya membaca cerpen-cerpen karya Joni Ariadinata dalam bukunya, Air Kaldera (2000). Di dalam tulisan-tulisan Joni tidak ada hitam-putih, gelap-terang, benar-salah atau oposisi biner lainnya yang kerap muncul mewakili pemikiran-pemikiran modern. Tidak juga dibiarkan tercipta pemaknaan, bentuk dan struktur yang jelas. Semua tampil abu-abu yang, sesungguhnya, tidak bisa juga saya yakini apakah memang dimaksudkan sebagai abu-abu oleh penulis. Karena semua hadir serba tidak pasti.

Seringkali, Joni menulis kalimat-kalimat terpotong seperti dalam cerpen Dongeng Penunggu Surau ini : ‘Menatap jam. Merapikan serban dan kopiah. Batuk.’ Kalimat-kalimat itu tidak lengkap – tanpa subyek – sehingga sah-sah saja jika saya (sok) melemparkan pertanyaan. Siapa yang menatap jam, merapikan serban dan kopiah, dan batuk?

Atau kalimat ini dalam cerpen kedua, Kita Mengadu Kepada Mayat : ‘Di kehijauan, langit membentang.’ Kali ini kalimat yang ditulis memiliki subyek tapi mendeskripsikan apakah kata ‘kehijauan’ tersebut? Dalam kepala saya, langsung muncul bayangan hutan yang lebat. Teman saya berpikir lain, dia mencetuskan ide sawah. Saya eksplorasi lebih lanjut, ‘kehijauan’ bisa juga diartikan sebagai ladang jagung, padang rumput, danau berlumut atau apapun yang hijau karena Joni tidak memberikan makna yang pasti.

Ketidakpastian tidak hanya muncul lewat bentuk-bentuk kalimat tapi juga lewat rangkaian kalimat dalam satu paragraf, bahkan lewat keseluruhan cerpen itu sendiri. Seperti pada cerpen Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri? yang bercerita tentang Rantawi, penderita asma kronis selama tahunan. Kehidupan Rantawi dan keluarganya terpuruk lantaran penyakit tersebut. Putrinya batal dipinang orang lalu ia memutuskan untuk bunuh diri meminum racun babi. Siapa sangka, asma Rantawi justru sembuh gara-gara minum racun dan nasib baik berganti memihaknya. Ia memberitahu Wardoyo pengalaman tersebut dan Wardoyo memberikan racun babi pada Abah Marta, mertua Wardoyo yang juga menderita asma kronis. Mertua Wardoyo mati.

Salah atau benar kah sikap Rantawi, Wardoyo dan juga Abah Marta? Saya yakin, tidak satu pun dari tiga tokoh itu yang mengharapkan hal naas terjadi. Tindakan mereka didasari niat baik. Rantawi hanya ingin berbagi mukjizat. Wardoyo ingin menyembuhkan mertuanya dan Abah Marta ingin sembuh dari asma. Tidak begitu saja bisa ditentukan salah dan benar dalam kisah di atas dan ini bentuk ketidakpastian lain yang dihadirkan oleh Joni.

Ketidakpastian – yang sesungguhnya juga memberikan kesempatan pada pembaca untuk berinterpretasi dengan bebas – merupakan salah satu hal yang menjadi karakter pemikiran dekonstruksi. Dekonstruksi menolak sesuatu yang absolut dan memilih menjadi kontekstual. Dekonstruksi tidak terikat pada bentuk yang sudah ada, karenanya makna yang dihadirkan tidak mengacu pada bentuk final.

Saya ingin menjelaskan sedikit mengenai maksud konteks di atas dalam cerpen-cerpen Joni. Kutipan Dongeng Penunggu Surau di awal jika dilengkapi kalimat sebelumnya menjadi begini : ‘”Selalu,” Imam Mathori mengusap muka, menandaskan, ”Adzanlah sekali lagi, Ali! Waktu sudah hampir habis ...” Menatap jam. Merapikan serban dan kopiah. Batuk.’ Dalam kalimat pertama, saya menemukan Imam Mathori sebagai subyek. Di sini Joni meminta saya untuk menyimpan informasi tersebut dan sesekali menggunakannya kembali untuk melengkapi kalimat-kalimat yang muncul belakangan. Dalam pemikiran modern, tidak ada konteks semacam ini. Kalimat selalu dituntut hadir dengan struktur yang benar dan lengkap sesuai ketentuan.

Lebih detil lagi, tindakan dekonstruksi Joni bisa ditemukan dalam hanya sebuah frase. Misal, Joni menuliskan ‘pusaran maha-air’ untuk melukiskan salah satu bentuk dinamis laut dalam cuaca yang buruk atau ‘kelopak mawar terbanting’ bukan ‘kelopak mawar gugur’. Joni beberapa kali – tidak banyak – menolak memakai nama dan lebih memilih menjelaskan esensi. Selain memakai banyak metafora dan simbolisasi, ia juga menjadikan sebuah kata lebih kompleks, seperti ‘sandal jepit swallow kesaksian perjalanan panjang’ dalam cerpen Tentang Lelaki Bergamis yang Mencintai Tuhan.

Lalu apa efek tindakan itu terhadap pembaca? Saya pribadi seperti dipaksa berpikir selama membaca cerpen-cerpen tersebut. Seakan-akan Joni sedang menyadarkan saya bahwa membaca juga merupakan salah satu kegiatan intelek – bukan hanya menulis. Pembaca sebenarnya punya kendali penuh untuk menentukan makna dari apa yang dibacanya, tidak terus-menerus harus bermanja pada makna yang ditetapkan oleh penulis.

Tapi cerpen-cerpen di dalam Air Kaldera tidak hanya bermuatan dekonstruksi. Secara kandungan, Joni tentunya bermaksud menampilkan karya yang bisa memberi efek untuk pembaca. Karena itu, ia banyak memunculkan ironi dan tragedi dalam isu-isu yang diangkatnya (sosial, agama, cinta, dan politik). Tanpa bermaksud memberi arahan, menyudutkan atau berpihak, ia membangkitkan afeksi di dalam diri pembaca lewat ironi dan tragedi.

Ironi dan Tragedi, menurut Budi Darma, berakhir pada kebalikan. Disebut ironi manakala ucapan seseorang berlawanan dengan maksud sebenarnya, atau manakala situasi hati seseorang ternyata berlawanan arah dengan kenyataan, atau manakala “dia tidak tahu tapi aku tahu.” Tragedi juga sama. Kalau ada seseorang yang sangat baik ternyata mengalami musibah, inilah namanya tragedi.

Dalam Air Kaldera, ketidakberpihakan Joni pada isu-isu yang ia angkat cukup terjaga. Joni tidak hanya memperlihatkan satu sudut pandang saat menghadapi isu-isu tersebut. Seperti dalam Kanjeng Sunan Ikut Bersama Kami, ia menceritakan pola pikir dari masing-masing komunitas agama yang berseberangan pendapat perihal ragam bentuk ibadah. Tidak disetir mana yang salah dan mana yang benar. Joni hanya mengangkat isu, menjadikannya dramatik agar lebih memancing dan membiarkan pembaca memutuskan sendiri tindakan apa yang akan ia lakukan.

Tragedi yang ditampilkan, sebagian besar, berwujud kematian. Dalam cerpen Kita Mengadu Kepada Mayat, misalnya. Di sini diceritakan akhir yang menyedihkan saat Kiai Putih yang saleh mati dibunuh Ki Sabrang Maruto di Lembah Asmaketek, semata-mata agar lembah itu memiliki makam seorang sunan dan melalui keberadaan makam tersebut, Lembah Asmaketek menjadi makmur didatangi peziarah. Ironinya, tokoh Kanap tetap membawa Kiai Putih sampai ke dalam Lembah Asmaketek, sementara ia tahu rencana keji Ki Sabrang Maruto. Di sini Joni mengangkat isu sederhana mengenai kebiasaan masyarakat muslim Indonesia yang kerap lebih suka berdoa pada orang mati dibanding berdoa pada Allah. Ia menyindir secara halus dan mencoba menceritakan efek yang mungkin terjadi secara ekstrim, berharap menarik kepedulian pembaca dengan cepat.

Ada juga tragedi yang tidak berwujud kematian, seperti dalam Dongeng Monik dan Balon Di Perut Mama. Tragedi yang hadir di dalam cerpen tersebut berupa gangguan jiwa Monik, gadis kecil yang menjadi korban perceraian kedua orang tuanya. Di akhir cerita, Monik diceritakan tidak ingin bertanya, menulis, menggambar dan tidak ingin berdoa di sekolah. Ironinya, Guru justru menjewer Monik karena sikap itu sementara mamanya mengurung ia di kamar.

Mungkin memang seperti itu cara Joni mengusik kepedulian pembaca. Lewat dekonstruksi agar pembaca awas dengan yang dibacanya dan lewat tragedi agar afeksi pembaca terpancing. Dan tentunya, pembaca bisa menentukan sendiri, hikmah apa yang bisa ia ambil lewat cerpen-cerpen Joni dalam Air Kaldera.

Windry Ramadhina