Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Peristiwa Cimareme 1919: Perlawanan H. Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi

Judul: Peristiwa Cimareme 1919: Perlawanan H. Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi
Penulis: Chusnul Hayati
Penerbit: Mimbar, 2000
Tebal: 246 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok kosong

Sejarah petani sering hilang dari perputaran historiografi Indonesia. Seperti apa yang pernah diutarakan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, sejarah petani baru memperlihatkan bentuknya sekitar awal abad ke-19. Pola kehidupan petani muncul ke permukaan seiring pergerakan sosial dan perubahan sosial masyarakat pedesaan sejak culturstelsel, tahun 1930. Buku ini merupakan tesis S2 dari Chusnul Hayati. Tema yang diangkatnya sangat menarik, yaitu Peristiwa Cimareme 1919: Perlawanan H. Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi. H. Hasan sendiri adalah juragan pemilik sawah di desa Cimareme, kabupaten Garut, artinya dia termasuk golongan petani tingkat atas. Dalam buku ini Chusnul Hayati tidak hanya menyoroti bentuk-bentuk perlawanan H. Hasan, tetapi juga berusaha mengungkap ideologi perlawanan perang sabil, serta hubungannya dengan gerakan rahasia Sarekat Islam.

Tahun 1900, pemerintah kolonial dihadapkan pada permasalahan krisis beras. Padi dalam negeri terserang gagal panen, sedangkan impor beras dari luar negeri terhambat masalah transportasi dan embargo. Tahun 1919, untuk menghindari kritik dari berbagai pihak, pemerintah kolonial membuat kebijakan pembelian satu pikul padi dari satu sawah yang dimiliki petani di daerah-daerah. Tidak terkecuali Garut. Bahkan di daerah ini peraturannya lebih berat, yaitu empat pikul padi untuk satu bau sawah.

H. Hasan merasa tidak terima atas peraturan yang mewajibkannya menjual empat pikul padi untuk satu bau sawahnya. H. Hasan memiliki 10 bau sawah, artinya ia harus menyerahkan setidaknya 40 pikul dengan harga miring yang di patok pemerintah kolonial. H. Hasan bertekad akan melancarkan perlawanan dengan berlandas ideologi perang sabil, apabila pejabat pribumi dan kolonial tetap bersikukuh pada kebijakannya.

Menurut apa yang dituliskan Chusnul Hayati, H. Hasan memutuskan berjuang secara filsabilillah bukan hanya karena penolakkannya terhadap peraturan pembelian padi. Sikap kasar Wedana Leles yang mengancam akan menyita sawah H. Hasan-lah pemicu perlawanan. Walaupun akhirnya Wedana Leles di diturunkan dari jabatannya, para pejabat lain tetap memaksa H. Hasan ikut ke Garut untuk membeicarakan masalah ini. H. Hasan tidak tunduk. Bersama pengikut-pengikutnya, H. Hasan mengenakan jubah serba putih serta membawa golok dan parang, mereka bersiap berperang melawan kekafiran seandainya itu diperlukan.

Chusnul Hayati merangkum bentuk perlawanan H. Hasan yang ideologi perang sabil dengan menilik dari sudut pandang masyarakat dan lingkungan tempat H. Hasan tinggal. Penulis berusaha menghadirkan sebuah peristiwa historis berbasis konsep-konsep ilmu sosial. Analisis collective behavior dijadikan pembentuk kerangka berpikir untuk lebih memahami kemudian mengeksplanasikan peritiwa historic ini secara lebih luas. Walaupun perlawanan ini masih dalam lingkup sejarah lokal, namun penulis berusaha bersikap kritis terhadap dampak atau pengaruh perlawanan H. Hasan meluas ke luar.

Secara keseluruhan buku ini menarik disimak. Selain bahasanya lugas, penulis berusaha menyeimbangkan cara berpikir kritis dengan proses penulisan, sehingga hasil yang dicapai tidak berbelit-belit. Ditambah, buku ini merupakan salah satu bentuk tulisan sejarah pergerakan kaum petani yang sempat diabaikan dalam Historiografi Indonesia.