Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 2

Judul: Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 2
Penulis:  Thio Tjin Boen, Kwee Tek Hoay
Penerbit: KPG, 2001
Tebal: 622 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Terjual Jakarta


Penulisan pada kumpulan karya sastra Thio Tjin Boen (1855) dan Kwee Tek Hoay (1886) menggunakan penulisan asli (misalnya tidak-tida, boleh-bole) dan struktur kalimatnya juga masih menggunakan struktur lama. Rasanya seperti melihat film cina lawas. Namun, justru itu yang membuat kita tertarik, disitulah letak keunikan buku ini.

Buku terdiri dari 5 judul, 2 karya dari Thio Tjin Boen (Nyai Soemirah Atawa Peruntungan Manusia-1917 dan Dengen Duwa Cent Jadi Kaya-1920) dan 3 karya dari Kwee Tek Hoay (Ruma Sekola yang Saya Impiken-1925, Bunga Roos dari Cikembang-1927 dan Drama dari Krakatau-1929).

Cerita Nyai Soemirah (Thio Tjin Boen) berkisah tentang Bi Liang, seorang Tionghoa yang mencintai seorang perempuan pribumi, Soemirah. Meski hubungan mereka ditentang namun akhirnya mereka berdua dapat hidup bahagia. Tentu saja, cerita ini tetap diwarnai konflik dan beberapa plot yang menarik dan rumit. cerita balas dendam dan pembunuhan juga terdapat dalam alur cerita ini.

Menariknya adalah pandangan Soemirah dan Bi Liang yang ternyata bebas dari perbedaan etnis. Meski perkawinan pribumi dan Tionghoa dikecam kala itu, tapi mereka membuktikan perbedaan latar belakang budaya sama sekali tidak menjadikan suatu masalah berarti.

Cerita selanjutnya adalah Dengen Duwa Cent Jadi Kaya. Menceritakan pemuda Tionghoa, Lie Yoe Hoek yang bangkrut karena keteledorannya dalam berdagang, terpincut dengan seorang Nyai dan perjudian. Namun, nasibnya berubah saat melihat seekor kodok di jalan.

Karya selanjutnya ditulis oleh Kwee Tek Hoay adalah Ruma Sekola yang Saya Impiken, menceritakan tentang sistem sekolah " learning by doing ", sekolah yang mengajarkan tidak hanya teori tapi juga praktek, sekolah yang mengajarkan berbagai macam budaya, Belanda, Jawa juga Tionghoa.

Dalam seminggu, siswa melaksanakan berbagai budaya secara bergiliran, mulai dari cara berpakaian, makan, berbicara dan sebagainya. Belum lagi sekolah itu mempunyai toko, perkebunan, sawah, peternakan, astronomi, klub membatik, olah raga dll. Intinya menarik sekali andai sekolah itu benar-benar ada.

Sedangkan Bunga Roos Dari Cikembang, menceritakan kecintaan Ay Tjeng dengan Nyainya, Marsiti. Namun, karena desakan dari orang tua akhirnya Ay Tjeng menikah dengan Gwat Nio. Marisitipun menghilang tanpa tahu rimbanya, setelah beberapa tahun berlalu terbukalah rahasia bahwa dibalik menghilangnya Marsiti ada sangkut pautnya dengan mertua dan orang tua Ay Tjeng. Hingga akhirnya rahasia tersebut dibawa sampai mati, meski dia akhir cerita rahasia itupun juga terungkap.

Cerita paling akhir yaitu Drama Dari Krakatau. bercerita tentang meletusnya Krakatau tahun 1883 yang membumi hanguskan puluhan kampung dan menyebababkan puluhan keluarga terpisah. Dimana letusan tersebut telah diketahui sebelumnya melalui firasat seorang istri wedana Bantam, Waringin.

Usut punya usut, di tengah cerita ternyata bencana Krakatau mempunyai hubungan dengan kepercayaan Hindu yang dianut oleh keturunan terakhir Prabu Siliwangi, Kerajaan Padjajaran.

Tersebutlah seorang Pandita Noesa Brama dari Suku Baduy yang secara turun temurun memelihara dengan baik patung Dewa Wisnu di sebuah gua di Gunung Ciwalirang. Di balik patung Dewa Wisnu tersebut sebuah prasasti yang menyebutkan " Pada saat aku rusak, rusaklah juga ini negri dengan sekalian keturunanmu, ketimpah murkanya Rakata (Krakatau) ".

Namun, di akhir cerita, Pandita Noesa Brama memutuskan melepaskan jasad kasarnya di dasar sumur di mana ia menghancurkan patung Wisnu. Ia menebus kesalahannya karena terburu berprasangka buruk pada istri dan anaknya.

Akhirnya, buku ini membuat kita puas dan bangga, serasa kita juga ikut hidup di masa itu. Kita salut dengan karya para penulis Tionghoa yang turut meramaikan kesusastraan klasik Indonesia