Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Hitler’s Pope: Sejarah Konspirasi Paus II dan Hitler

Judul: Hitler’s Pope, Sejarah Konspirasi Paus II dan Hitler
Penulis: John Cornwell
Penerbit: Beranda, 2008
Tebal: 551 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 120.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312
PIN BBM: 5244DA2C

Luar biasa ... Ini sebuah buku brilian yang harus dibaca berulang-ulang!
Independent on Sunday

Sejarah yang luar biasa kontroversial ini mengisahkan Eugenio Pacelli, seseorang yang pernah menjabat sebagai Paus Pius XII, ditengarai sebagai sosok gerejawan yang paling berbahaya di zaman modern.

Sebagai Sekretaris Negara Vatikan, Pacelli menandatangani persetujuan dengan Hider pada tahun 1933 yang melindungi kekuasaan Gereja Katolik sebagai imbalan bagi peharikan Gereja dari ranah politik. Tindakan ini terbukti berakibat fatal. Saat ia menjadi Paus Pius XII, ia tetap menolak untuk mengutuk kaum Nazi, meskipun ia salah satu pemimpin Eropa yang menyadari adanya bahaya genosida (pembunuhan massal pada etnis tertentu). Bahkan, sang Paus tidak bergeming saat orang-orang Yahudi Italia berkumpul di bawah tembok Vatikan dan kemudian digiring ke kamp-kamp maut Holocaust. Kegagalannya mengecam Nazisme, terutama ketika dilihat dari paham anti-Semitnya, adalah salah satu skandal besar di masa perang. Dengan memanfaatkan dokumen-dokumen rahasia Vatikan, penulis buku ini, John Cornwell dengan telak berhasil membongkar konspirasi rahasia antara Paus Pius XII dengan Hitler. 

Dalam setiap agama, pemuka agama menjadi segolongan orang yang memiliki otoritas untuk mengawal agama. Bulir-bulir kehormatan berpendar dalam aras pribadinya yang penuh kharisma. Namun tak bisa dipungkiri bahwa tidak sedikit para agamawan yang memanfaatkan kepercayaan umatnya untuk melegitimasi kepentingan pribadi. Meski penyakit ini menjangkit disemua agama, namun tidak semua umat pemeluk agama menyadarinya. Agaknya, mereka belum siap dengan kabar-kabar semacam itu. Tidak heran apabila beberapa kecacatan para pendahulu agama yang kini mulai menyeruak sempat menggegerkan para umatnya.

Tragedi-tragedi di lingkungan orang-orang suci tampaknya selalu tragis untuk ditulis. Jelas fenomena ini akan menjadi batu yang menandung keimanan para pemeluk agama. Tak bisa di hindari, fakta sejarah negatif ini tentu menyisakan kegetiran di kalangan umat. Itulah kenapa, cerita kehidupan orang-orang “langit” ini akan selalu dihantui oleh ironi-ironi terselubung. Demikianlah kiranya kesan yang muncul setelah buku bertajuk Hitler’s Pope: Sejarah Konspirasi Paus Pius XII dan Hitler beredar.

Kini, kisah kehidupan para Paus lamat-lamat menjadi sorotan publik. Utamanya setelah muncul buku yang membongkar penyimpangan seksual para Paus karya Nigel Cawthorne. Sejak itu, kalangan Paus mulai medapat pandangan negatif. Kesan serupa juga muncul kala membaca buku ini. Paus sebagai representasi orang-orang suci dan sebagai simbol moralitas akhirnya terjerat dengan kisah-kisah yang menjatuhkan moralitas. Kali ini, bentuk-bentuk destruksi moral yang terkuak adalah diskriminasi rasial.

Buku ini menyoroti kehidupan Eugenio Pacelli, Paus Pius XII yang lahir di Roma pada 2 Maret 1876. Gelar suci yang ia terima, meninggal dengan nama yang harum, lengkap dengan latar belakang keluarga yang baik, ternyata saat ini meyisakan banyak kontroversi, terutama kajian mengenai kepemimpinannya. Ia kerap mengeluarkan kebijakan-kebijakan konspiratif bernuansa rasial. Akan tetapi, karena selalu berlindung di bawah payung otoritas gereja, maka lengkah kelamnya selalu terdiam.

Jauh sebelum Pacelli lahir, peramal perancis bernama Nostradamus (1503-1566) sudah meramalkan akan kemunculan seorang Paus yang sangat membahayakan. Ramalan yang ditulis dalam bentuk syair ini tertera dalam buku Les Propheties yang diterbitkan di Lyon pada 1555. Dalam ramalan tersebut dituliskan bahwa paus ini tidak hanya berbahaya bagi umat Kristiani tetapi juga bagi masa depan umat manusia secara umum. Ternyata Nostradamus bukan peramal ingusan. Ramalannya benar-benar terbukti.

Kisah kelam Eugenio Pacelli dimulai ketika ia menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan. Saat itu, pada 1914, ia menandatangani perjanjian Konkordat Serbia. Dengan perjanjian tersebut, Vatikan secara tidak langsung memberi peluang kepada Serbia untuk melakukan pencabutan hak-hak protektorat Kekaisaran Austro-Hungaria atas kantong-kantong Katolik yang berada di wilayah Serbia. Lebih jauh, perjanjian ini berakibat meningkatnya ketegangan yang memicu Perang Dunia I.

Pada perkembangan lebih lanjut, cerita kelam Pacelli kian bertambah. Utamanya setelah bersama Adolf Hitler menandatangani sebuah Konkordat (1933) yang menjadi pemicu munculnya konfrontasi berbau rasial. Ternyata benar, perjajian Pacelli dengan Hitler melahirkan tragedi besar dunia. Konkordat inilah mengawali pembantaian oleh Nazi Jerman, pimpinan Hitler, terhadap jutaan warga keturunan Yahudi di berbagai negara Eropa semasa Perang Dunia II. Peristiwa ini sering disebut dengan tragedi Holocaust.

Berdasarkan catatan historis, antipati Kristen pada orang-orang Yahudi telah lama muncul. Sebab, orang-orang Yahudi lah yang telah membunuh Yesus Kristus. Berangkat dari fakta tersebut, Pacelli membenarkan apa yang dilakukan oleh Hitler. Saat itu, agar Holocaust tidak menjadi keputusan yang kontroversial, Pacelli mengatakan bahwa negoisasi Konkordat-nya dengan Hitler merupakan upaya untuk membumikan perdamaian. Tujuan lainnya adalah mempererat hubungan antara Istana Kepausan dan Jerman. Tampaknya Hitler pun benar-benar memaksimalkan peluang ini. Apa yang dilakukan Hitler mirip dengan Soeharto. Untuk menyembunyikan kekejiannya, ia diam-diam melakukan pencekalan terhadap beberapa pihak maupun institusi yang berpotensi akan menentang kebijakannya.

Sepanjang masa jabatannya, tindakan Pacelli yang menggunakan lembaga Kepausan sebagai legitimasi dideskripsikan sacara kritis dalam buku ini. Termasuk bagaimana usaha pacelli dalam menjaga track record-nya sebagi Paus. Ya, pacelli memang sosok yang cerdik, ulet, dan piawai menggunakan kesempatan. Berkat kemampuannya itu, ia berhasil melindungi kisah dari sejarah kelamnya sampai akhir hayat. Dengan demikian, diusia tuanya, Pacelli meraih gelar sebagai orang bijak dan orang suci, lengkap dengan reputasi yang gemilang.

Namun demikian, setelah lama terdiam, akhirnya narasi besar Pacelli terbongkar. Akibatnya, nama besar Pacelli yang pernah terukir tidak lagi menjadi ikon yang dibanggakan. Pada kasus ini, Pacelli menanggalkan kasih Kristiani yang seharusnya selalu dijadikan sebagai pengangan. Secara gamblang fenomena ini dikuak tuntas oleh Cornwell dalam buku ini.

Cerita tentang Pacelli menambah daftar panjang tragedi-tragedi besar dalam lingkaran suci agama. Memang harus diakui, tragedi kemanusiaan akan selalu muncul dalam narasi perkembangan agama-agama di dunia. Dalam salah satu bukunya, Karen Amstrong mengatakan bahwa sejarah agama tak bisa lepas dari pertumpahan darah dan kepentingan pribadi pemuka agama. Kini, setiap para pemeluk agama bertaggungjawab memulihkan cerita-cerita tersebut dengan menjaga dan megamalkan nilai-nilai moral yang ada pada masing-masing agamaya.

--------------

Sejarah kehidupan Paus adalah sejarah yang penuh dengan ironi. Demikianlah setidaknya kesan yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan. Kehidupan Paus yang merupakan representasi orang-orang suci telah ternodai oleh sekian fakta sejarah yang mengungkap sisi gelap di balik kedudukannya sebagai benteng moral umat (moral force).

Setelah penyimpangan seksual para Paus terbongkar, kini bentuk-bentuk destruksi moral lainnya, seperti diskriminasi rasial, misalnya, sedikit demi sedikit mulai terkuak. Kenyataan inilah yang menimpa Eugenio Pacelli, Paus Pius XII yang lahir di Roma pada 2 Maret 1876. Nama besar serta latar belakang keluarga yang baik ternyata tidak berbanding lurus dengan realitas kepemimpinannya yang banyak menuai kritikan. Sebagaimana kita ketahui, Pacelli adalah sosok cerdik yang selalu berlindung di bawah payung otoritas gereja ketika mengeluarkan kebijakan-kebijakan konspiratif bernuansa rasial, sehingga jejak-jejak kelamnya banyak yang tidak tersingkap.

Beberapa abad sebelum Pacelli lahir, Nostradamus (1503- 1566) --seorang pengarang ramalan terkenal asal Perancis-- memang sudah meramalkan tentang munculnya seorang Paus yang sangat membahayakan, tidak hanya bagi umat Kristiani sendiri tetapi juga bagi masa depan umat manusia pada umumnya. Tentu sang Paus itu tak lain adalah Pacelli. Ramalan ini ditulis dalam buku Les Propheties yang di terbitkan di Lyon pada 1555 dalam bentuk syair.

"Sesudah kematian Paus yang sangat uzur itu, seorang Paus separuh umur akan dipilih. Dia akan dituduh membahayakan Jabatan Suci (Holy See) dan akan bertahan selama satu masa yang lama, melakukan pekerjaan berkontroversi."

Ramalan ini ternyata bukan isapan jempol. Setelah Paus Pius XI meninggal pada 10 Februari 1939 dan diganti Eugenio Pacelli, banyak keputusan kontroversial yang dilakukan dengan menggunakan otoritas lembaga Kepausan sebagai legitimasinya. Di antara sekian keputusan kontroversial itulah yang coba dibedah dengan cukup kritis oleh John Cornwell melalui buku Hitler’s Pope: Sejarah Konspirasi Paus Pius XII dan Hitler ini.

Jejak kelam Pacelli sebenarnya sudah terlihat sejak ia menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan, di mana pada 1914 ia menandatangani sebuah perjanjian dengan Serbia yang memberi andil meningkatnya ketegangan yang memicu Perang Dunia I. Dalam perjanjian yang dikenal dengan Konkordat Serbia tersebut, Vatikan secara tidak langsung memberi peluang kepada Serbia untuk melakukan pencabutan hak-hak protektorat Kekaisaran Austro-Hungaria atas kantong-kantong Katolik yang berada di wilayah Serbia ( hlm. 53).

Dua puluh tahun kemudian setelah Konkordat Serbia berlalu, tepatnya pada 1933, Pacelli bersama Adolf Hitler menandatangani sebuah Konkordat yang ditengarai menjadi pemicu munculnya serentetan konfrontasi berbau rasial yang berimplikasi besar terhadap dunia: tragedi Holocaust, suatu pembantaian terhadap jutaan warga keturunan Yahudi di berbagai negara Eropa semasa Perang Dunia II oleh Nazi Jerman.

Ketika tragedi Holocaust ini meledak, Pacelli yang menjabat sebagai Paus Pius XII tidak mampu berbuat apa-apa selain hanya diam. Keputusan ini diambil karena dalam perjanjian Konkordat disebutkan tentang jaminan tidak adanya intervensi terhadap rezim Hitler yang memang berkeinginan kuat untuk membumihanguskan kaum Yahudi. Sebagaimana yang selalu didengung-dengungkan Hitler bahwa "orang-orang Yahudi akan dimusnahkan, paling tidak untuk selama 1000 tahun!"

Berdasarkan fakta ini, kemungkinan masih menguatnya sikap antipati - untuk tidak mengatakan anti-Judaisme- sang Paus Pius XII pada orang-orang Yahudi bisa dibenarkan. Sebab kalau dirunut dari sisi kronologis-historisnya, antipati Kristen pada orang-orang Yahudi terlahir dari keyakinan semenjak masa gereja Kristen awal, bahwa orang-orang Yahudi telah membunuh Yesus Kristus ( hlm.19). Dengan demikian, tidak heran jika dikatakan bahwa antara Pacelli dan Hitler sebenarnya mempunyai inisiatif dan komitmen yang sama, yakni "mengamini" dan mendukung tragedi Holocaust sebagai bagian dari agenda politis.

Karena itu, pernyataan Pacelli bahwa negoisasi Konkordat-nya dengan Hitler merupakan upaya untuk membumikan perdamaian dan mempererat hubungan antara Istana Kepausan dan Jerman, hanyalah sebentuk apologi yang menyimpan keculasan dan kekejian. Sebab, bersamaan dengan itu Pacelli bersama Hitler diam-diam melakukan penggembosan terhadap pihak-pihak dan institusi-institusi yang diprediksi dapat menentang keputusan-keputusan yang nantinya akan dihasilkan.

Jelas ada sesuatu yang ambigu dari pernyataan dan sikap Pacelli tersebut. Kita bisa membacanya secara kritis, bagaimana mungkin Pacelli berinisiatif melindungi orang-orang Yahudi dari kekejian rezim Hitler jika dalam perjanjian Konkordat disebutkan bahwa ia tidak akan mencampuri urusan-urusan pemerintah? Bahkan sebagai imbalan dari kesepakatan itu, bukankah gereja Katolik di Jerman beserta partai politik dan ratusan asosiasi serta surat kabar dengan "suka rela" mengikuti inisiatif Pacelli untuk menarik diri dari tindakan sosial dan politik?

Dalam konteks inilah sangat tampak keculasan Pacelli dalam menggunakan lembaga Kepausan sebagai legitimasi untuk membungkam kritik massa yang kontra dengan keputusan-keputusan kontroversialnya. Lewat keberhasilannya menutup sejarah kelam, tak pelak jika Pacelli di usia tuanya meraih reputasi sebagai orang bijak dan orang suci.

Namun demikian, sepandai-pandai orang menyimpan bangkai pasti tercium juga baunya. Pacelli kini tidak lagi menjadi ikon yang dibanggakan. Di Eropa, kisahnya hampir menyamai Hitler. "Pacelli bukanlah sebuah potret kejahatan namun sebuah potret tentang dislokasi moral yang fatal --pemisahan kekuasaan dari kasih Kristiani. Konsekuensi-konsekuensi dari pemutusan tersebut berupa kolusi dengan tirani dan, akhirnya, dengan kekejaman," tulis John Cornwell dalam buku ini.