Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Kampung Santri: Tatanan dari Tepi Sejarah

Judul: Kampung Santri: Tatanan dari Tepi Sejarah
Penulis: Muhamad Fuad Riyadi
Penerbit: Ittaqa Press, 2001
Tebal: 191 halaman
Kondisi: Stok lama (cukup)
Terjual Sukoharjo


Setiap memasuki perkampungan santri, serasa hati dibelai mimpi. Indah, tentram, aman, adem-ayem, dan terasa semeleh. Kampung-kampung itu bernama Kotagede, Wonokromo, Mlangi, Kauman, Ploso Kuningan, Babadan, Dongkelan, Karangkajen, Nitikan.

Sebagian dari kampung-kampung santri itu ada yang mendapat julukan pathok negoro yang artinya adalah bahwa desa tersebut merupakan benteng moral dan pusat pelestarian agama. Desa- desa yang mendapatkan julukan pathok desa tersebut di tandai dengan keberadaan masjid ala kraton. Memiliki sengkalan yang langsung diberikan oleh penguasa kraton.

Bermula dari kotagede yang tidak bisa dipungkiri sebagai ibukota mataram-islam. Keberadaan komunitas muslim menjadi amat mutlak kala itu. Sebagai legitimasi politik kerajaan. Kotagede sebagai pusat segala aktivitas kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama yang terus bergerak dilatar belakangi pula oleh berbagai ragam aset budaya dalam kancah sejarah mataram, legenda mangir dan pambayun, serta segala peninggalan-peninggalan mitos dan ritual yang memberi warna sejarah. Kerajinan emas-perak hingga produk makanan khas yangko dan kipo. Juga keberadaan tokoh-tokoh yang menasional seperti KH. Abdul Kahar Muzakir (penanda tangan piagam jakarta), HM Rasyidi (Menteri Agama Pertama RI), Djalal Muchin (dokter spesialis di Belanda), hingga generasi Human As’ad (penemu metode iqra), Habib Khirzin (tokoh muhamadiyah), Yusron Asrofi (dosen IAIN Sunan Kalijaga yang kini di AS), merupakan beberapa nama yang asal usulnya dari Kotagede.

Lalu menuju Masjid Agung Keraton Yogyakarta selesai dibangun sekitar tahun 1755, agar masjid itu tampak makmur, Sri Sultan Hamengku Buwono 1 menempatkan para ulama dikawasan sekitar masjid. Para ulama itu ditempatkan dan diangkat sebagai abdi dalem pamethakan (abdi dalem yang tugasnya mengurusi berbagai masalah agama. Maka kehidupan kampung Kauman Yogyakarta berkembang sampai sekarang ini. Memang seperti kampung-kampung dikota dengan pemukimannya yang padat, rumah-rumah yang berhalaman sempit, banyak gang dan lain sebagainya. Hanya yang membedakan adalah suasana yang religius yang masih cukup kental mengalir disana. Dari kampung Kauman ini banyak lahir ulama besar panutan umat seperti pendiri Muhamadiyah, KH Ahmad Dahlan, KH Farid Ma’ruf, KH Dalhar BKN dan lain-lainnya. Selain itu kampung Kauman memiliki trade mark sebagai komunitas pedagang sukses yang tetap melekat sampai saat ini.

Juga kampung Wonokromo, yang keberadaannya kental dengan kehidupan per-santri-an hingga sekarang, dan dalam sejarah mencatatnya penuh diwarnai dengan “mitos” Kiai Welit cikal bakal kampung santri itu. Ritual Rebo Pungkasan, tradisi yang berjalan hingga kini menjadi sebuah monumen, dimana sebagai simbol keinginan masyarakatnya mencicipi inti keimanan. Sejarah keberadaan kampung Wonokromo berkait erat dengan sejarah yang melatar belakangi keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sri Sultan Hamengku Buwono 1 yang menganugrahi wewengkon Awar-awar kepada Kiai Welit. Lalu meningkat pula kampung Wonokromo menjadi tanah Perdikan. Kemudian berkembanglah hingga sekarang bahwa keturunan Kiai Welit yang notabene lebih memilih Al-Qur’an daripada perhiasan emas perak yang dipilih oleh Kiai Pet, atau Inggris yang sangat menggembirakan hati Kiai Sakapura dari Blawong itu, hingga sekarang kampung santri ini “hidup”  dengan aktivitas keagamaannya yang teramat kental.

Kampung Mlangi yang tiak lepas dari Kiai Nuriman sebagai cikal bakalnya. Kalau kemudian kampung Mlangi memilih sebagai daerah yang berwarna ke-santri-an adalah karena Kiai Nuriman yang telah memilih. “Kau tak perlu ragu-ragu menjadi ratu. Kau telah putuskan untuk itu. Dan setiap keputusan yang telah dipilih, senantiasa ada resikonya, setidaknya ada hambatannya. Tetapi, setiap keputusan harus dilaksanakan dengan semaksimal mungkin. Nek kowe wis mlaku, delengen ngarepmu lan ojo pisan-pisan mengo (kalu engkau berjalan, lihatlah selalu kedepan dan jangan sekali-kali menengok kanan kiri). Adapun aku sendiri sudah menjadi cukup menjadi rajanya para ulama. Aku restui tahta dan rakyatmu. “kata Kiai Nuriman kepada adiknya Sri Sultan Hamengku Buwono 1, yang akhirnya mewarnai kehidupan kampung Mlangi hingga sebagai komunitas pondok pesantren yang akan melahirkan para ulama.

Masih banyak yang akan terungkap dengan keberadaan kampung-kampung santri ini. Kontribusi yang nyata telah terwujud, kampung-kampung itu telah menyumbangkan berbagai bentuk tatanan positif, dimana dalam perjalanannya kampung-kampung itu telah benar-benar berkembang menjadi sebuah “pagar” atau “pathok negoro”. Akankah keberadaan kampung-kampung santri itu akan tergusur? Jawabannya mungkin “ya” mingkin pula “tidak” . “Ya” karena telah sirnanya kampung santri Wotgaleh Kauman yang tergusur oleh tangan-tangan kekuasaan yang dalam catatan ini terjadi pada masa penjajahan Belanda. Dilanjutkan pada masa pendudukan tentara Jepang, seperti yang dialami kampung santri Babadan Banguntapan. Sejarah pergolakan yang terus berlangsung itu kemudian akan mengubah sebuah masjid menjadi panggung kethoprak seperti yang dialami dikampung santri Babadan Banguntapan pada masa pemberontakan G 30 S PKI. Juga kampung santri Dongkelan yang barangkali tidak banyak yang tahu tentang keberadaannya.

Sedangkan jawaban “Tidak”, mungkin berasal dari sebuah keyakinan bahwa tatanan yang telah lama tertanam itu bersemai dan berkembang hingga anak cucu dan masih tetap lestari dan di jaga. Seperti Karangkajen, Nitikan yang notabennya tidak memiliki pondok pesantren. Layaknya predikat kampung santri itu melekat kepadanya tanpa adanya sebuah tatanan yang telah terbentuk darinya? Orang-orang kaya Karangkajen itu memiliki apresiasi teologis atau tradisi intelektual keagamaan yang relatif  lebih tinggi. Mereka tidak sekedar kaya, tetapi ilmunya setingkat para ulama. Bahwa mereka tidak madhek  jadi kiai, itu disebabkan pilihan hidup mereka adalah berdagang. Mereka punya tradisi memasukan anak-anak mereka ke berbagai pondok pesantren. Pondok pesantren Termas Pacitan Jawa Timur adalah favoritnya. Setelah anak-anak itu menguasai ilmu agama, barualah mereka diajari bisnis oleh orang tuanya. Predikat kampung santri itu diperoleh pula berkat kesetiaan sebagian besar penduduknya dalam mengamalkan syariat islam, terutama pada masa-masa lalu. Juga yang terjadi di Nitikan yang memang memiliki akar kekerabatan dengan kampung-kampung santri lainnya. Mungkin pula oleh sebab lain yang dapat ditelusuri dari sejarah kampung itu sendiri.