Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Peperangan Kerajaan di Nusantara

Judul: Peperangan Kerajaan di Nusantara: Penelusuran Kepustakaan Sejarah
Penulis: Capt. R.P. Suyono
Penerbit: Grasindo, 2003
Tebal: 357 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Jakarta Selatan

Buku ini menceritakan kerajaan-kerajaan di nusantara dalam mempertahankan kekuasaannya dengan melawan penjajah dari Eropa. Belanda pada mulanya datang ke kepulauan nusantara untuk berdagang terutama komoditi rempah-rempah yang sangat diperlukan di Eropa. Untuk kepentingan perdagangan tersebut dan agar tidak timbul persaingan yang tidak sehat serta menghadapi sesama pedagang dari negara Eropa lain (misal Portugis, Inggris), Belanda mendirikan persekutuan dagang yang disebut VOC (Verenigde Oostindische Companie). Heeren Zeventin (pengurus VOC berjumlah 17 orang) semula berpendapat tidak perlu mengadakan peperangan untuk menaklukan daerah di mana VOC berdagang, (karena hanya akan menambah biaya dan juga pasti akan menimbulkan korban baik harta mau pun nyawa). Tetapi persoalannya menjadi lain ketika perang tersebut dirasa menguntungkan. Hal ini kemudian mengubah VOC dari pedagang penjelajah menjadi penakluk daerah di mana mereka hendak mengambil keuntungan. VOC ikut campur urusan intern kerajaan-kerajaan tersebut (biasanya ada salah satu pihak yang minta bantuannya, misal di kerajaan Banten ketika terjadi perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Haji. Pangeran Haji meminta bantuan Belanda, tentu saja Belanda bersedia asal ada imbalannya. Hal ini terjadi juga di kerajaan-kerajaan yang lain seperti Mataram yang akhirnya terpecah menjadi empat bagian).

Dalam perjalanan waktu ternyata VOC menjadi ajang penyalahgunaan bagi pengurusnya untuk memperkaya diri dan hidup berfoya-foya dengan jalan korupsi. Untuk mengatasi masalah tersebut Belanda mengambil sikap tegas dengan membubarkannya. Pada tahun 1799 peranan VOC di nusantara berakhir setelah malang melintang selama kurang lebih dua abad. Negeri Belanda mendapat jajahan baru yang sarat utang (peninggalan VOC) sebesar kurang lebih 134 juta gulden. Wilayah jajahan tersebut adalah nusantara yang kini disebut Indonesia. Bila dulu VOC masuk untuk meluaskan wilayah dagang, Belanda masuk untuk meluaskan wilayah jajahan.

Dalam usahanya untuk menguasai nusantara, Belanda juga mendapatkan “batu sandungan” dari sesama negara Eropa terutama Inggris. Bahkan nusantara sempat dikuasai Inggris (1811), ketika kerajaan Belanda kalah perang dengan Perancis. Setelah gabungan dari negara-negara Eropa dapat mengalahkan Perancis pada tahun 1813, Kerajaan Belanda mendapatkan kembali kemerdekaannya. Belanda juga mendapatkan kembali jajahannya termasuk wilayah nusantara. Pada mulanya Thomas Stamford Raffles (Letnan Jenderal di Pulau Jawa dan sekitarnya tahun 1811-1816) menolak, tetapi akhirnya pada tahun 1816 ia menurut ketika dipanggil pulang. Resmilah nusantara kembali menjadi “milik” Belanda. Tentu saja keinginan Belanda tersebut tidak berjalan mulus. Perlawanan terjadi di berbagai daerah di nusantara untuk mempertahankan diri. Apalagi mengingat bahwa ketika diperintah Inggris, Inggris tidaklah “sekejam” Belanda.

Perlawanan di kerajaan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, lebih dikenal dengan sebutan Perang Jawa/Perang Diponengoro. Perang ini dipicu oleh ketidakadilan dan kezaliman para penguasa di Pulau Jawa, baik kesultanan bangsawan maupun pihak Belanda. Dengan siasat yang licik (dan ini juga diakui oleh Belanda sendiri), Pangeran Diponegoro tertangkap, diasingkan ke Manado kemudian dipindahkan ke Makasar sampai wafat 8 Januari 1855.

Di daerah Minangkabau (Sumatra Barat), Belanda menghadapi perlawanan yang dilakukan kaum Padri dibantu kaum adat/bangsawan (mula-mula keduanya bertentangan karena perbedaan pemahaman tentang Islam. Belanda yang sewenang-wenang membuat mereka bersatu). Setelah memimpin perang selama kurang lebih 17 tahun, Tuanku Imam Bonjol tertangkap pada tanggal 25 Oktober 1837, kemudian dibuang ke Manado.

Perang Banjarmasin adalah perang yang membuat Belanda merasa kehilangan muka karena baru untuk pertama kali orang pribumi berhasil menenggelamkan Onrust, sebuah kapal perang (yang hebat di masa tersebut) yang sedang melakukan operasi menumpas perlawanan. Untuk membalas kekalahan tersebut Belanda melakukan tindakan kejam, yaitu menghancurkan setiap daerah bila terdapat satu barang dari Onrust serta membunuh para lelaki, kecuali yang lemah dan anak-anak.

Di antara berbagai perlawanan yang mungkin paling “heroik” adalah di daerah Lombok dan Bali. Perlawanan tersebut dikenal dengan nama “puputan”. Bilamana perang sudah tidak memungkinkan untuk dimenangkan mereka akan melawan sampai titik darah penghabisan dan tidak kenal kata menyerah, termasuk wanita dan anak-anak yang belum atau tidak dipersiapkan untuk menjadi prajurit. Misal Puputan Sasari (Lombok) tahun 1894, Belanda menembak puri dengan meriam. Di antara kepulan asap dan api muncul rombongan pangeran dan putri kerajaan yang berbaris tenang menuju pasukan Belanda. Tembakan gencar tidak menyurutkan langkah mereka, hingga semua tewas terbunuh. Puputan Bali tahun 1906. Ketika pasukan Belanda mendarat, mereka belum mendapat perlawanan yang berarti. Perlawanan berarti baru didapatkan ketika pasukan Belanda memasuki Badung, yang dipimpin Raja Dewa Agung Putera. Sebelum melakukan perlawanan Raja memerintahkan agar semua yang dapat dirusak dihancurkan. Setiap pria dan wanita memegang senjata, juga anak-anak, sedang yang masih bayi digendong. Setelah perang yang terlihat adalah timbunan mayat di tanah lapang.

Belanda yang hanya negara kecil bisa “menguasai” nusantara (meskipun dengan korban nyawa dan biaya yang tidak sedikit) disamping persenjataannya lebih modern, juga taktik yang digunakan. Misalnya pemimpin perlawanan (tokoh-tokohnya) yang tertangkap dibuang ke daerah lain sehingga tidak dapat berhubungan dengan rakyat. Sementara rakyat mempunyai “kelemahan”, yaitu “tidak” mau bergerak apabila pemimpinnya tidak ada (semangat perjuangan tergantung pemimpin). Persaingan di dalam suatu kerajaan juga dimanfaatkan Belanda untuk memperlemah keadaan dengan jalan mengadu domba pihak-pihak yang bertikai, sehingga akhirnya Belanda dapat menguasai kerajaan tersebut. KNIL (Het Koninklijke Nederlancshe Indische Leger (1830 – 1950) adalah tentara yang dipakai Belanda untuk menguasai dan mengatur nusantara. Anggota KNIL tidak hanya orang Belanda (Eropa), tetapi juga penduduk pribumi terutama Jawa dan Ambon. Tugas utamanya adalah menumpas perlawanan dalam upaya membantu Belanda untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Hal ini sangat menguntungkan bagi Belanda karena dapat mengurangi kematian tentara Belanda, menghemat biaya dan juga penduduk pribumi lebih tahan terhadap penyakit tropis. Juga sesuai politik Belanda yaitu devide et impera (pecah belah dan jajahlah), karena akan timbul kebencian dan permusuhan di antara penduduk pribumi sendiri. Korps Marsose adalah pasukan elite KNIL, dipimpin perwira Belanda tetapi anggotanya semua pribumi. Anggota korps ini mampu bergerak cepat, langsung ke sasaran dan sangat mandiri.

Penjajahan Belanda (dan Inggis yang hanya sebentar) selain menimbulkan kesengsaran, juga meninggalkan hal-hal yang saat ini masih dimanfaatkan bangsa Indonesia. Misal hukum yang masih berlaku ada sebagian yang merupakan peninggalan Belanda. Secara fisik ada peninggalan berupa jalan (misal proyek Daendels berupa jalan Anjer-Panaroekan), benteng, gedung, kanal-kanal/saluran air dan lain-lain. Peninggalan lain berupa hasil-hasil penelitian, misal Thomas Stamford Raffles yang menulis tentang Sejarah Jawa / History of Java, jilid I dan II. J. Brandes (budayawan Belanda) yang meneliti berbagai naskah kuno, termasuk menyelamatkan naskah Negara Kertagama yang tertulis di atas lontar dari Bali. Dr. C. Snouck Hurgronje (seorang ilmuwan), meneliti dan mendeskripsikan mengenai adat istiadat Aceh, yang memberi andil besar bagi Belanda untuk dapat menguasai Aceh.