Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Lalu Aku: Sekumpulan Puisi

Judul: Lalu Aku: Sekumpulan Puisi
Penulis: Radhar Panca Dahana
Penerbit: Gramedia, 2011
Tebal: 121 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 40.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312
PIN BBM: 5244DA2C


Radhar Panca Dahana kembali menerbitkan buku puisi. Kali ini diberi tajuk Lalu Aku. Judul ini tentu mengingatkan pada dua kumpulan sajak terdahulunya, yakni Lalu Batu (2003) dan Lalu Waktu ( 1999). Tampak, kata lalu konsisten digunakan Radhar, seperti ada hal yang hendak ditegaskan terus-menerus dengan kata ini. Walhasil, bagi Radhar, lalu adalah diksi yang menjadi ”basis ontologi sekaligus epistemologi ”kepenyairannya”.

Ketika lalu diikuti aku, dapat ditangkap kesan bahwa yang hendak dikedepankan adalah aku meskipun secara ”gramatik” ditulis setelah lalu. Aku yang hendak dikedepankan adalah subyek di dalam ruang dan waktu, di dalam lalu. Dari segi bentuk, ini tampak sebagai permainan bahasa. Tetapi, di belakangnya tertangkap pesan bagaimana aku sedang hendak kembali didefinisikan.

Berbicara mengenai aku sebagai subyek lirik yang kemudian menjadi subyek penyair tidak bisa tidak harus menyebut Chairil Anwar, ’Sang Monumen Aku’ itu. Sudah terang bagi khalayak, aku Chairil adalah aku yang terbuang dari kelompoknya. Dengan itu, jelas Chairil meneguhkan ’Subyek Sang Aku’ di luar kerumunan, dengan meradang dan menerjang.

Radhar tidak demikian. Subyek aku tidak diteguhkan di luar kelompok, tetapi justru di dalam. Pada sajak pertama, yakni ”Sebut Namaku: Segera”, misalnya, Radhar menulis, ”betulkan aku jika kau sirna/salahkan aku jika aku pun tiada” (hal 3).Larik ini mengedepankan saran bahwa subyek harus selalu hadir dalam kelompok. Walhasil, aku pada Radhar adalah aku social (bukan aku individual sebagaimana Chairil), yang tidak berlari sampai hilang ”pedih peri”. Bagi Radhar, justru aku yang survive -lah, yang memiliki keteguhan membangun subyek dalam kelompok dan yang mampu membangun makna dirinya.

Lebih jauh, subyek aku juga merupakan worldview Radhar tentang dunia kepenyairan. Bahwa, penyair adalah ia yang ditakdirkan (atau dikutuk) ”menjadi sendiri” dalam keramaian. Radhar menulis, ”aku sendiri/dengan istri/pun sendiri” (hal 5). Penyair mesti tetap di posisi demikian sebab dalam situasi itu ketegangan demi ketegangan terjaga, kegelisahan subur, dan puisi meneguhkan dirinya dalam keramaian. Puisi tidak boleh berlari dari hiruk-pikuk. Bahkan, keberadaan dalam keramaian itulah yang membuatnya bermakna secara sosial. Hiruk-pikuk memang kuburan, tetapi ”bangkit dari kuburan” adalah makna puisi dan kepenyairan. Penyair menjadi makhluk sosial dengan kesendiriannya. Dan jika yang terjadi sebaliknya, Radhar menulis, ”hancurkan pula apapun makna/batalkan batalkan/puisi pun gagal”.

Pertanyaannya, apa yang harus menjadi iman penyair untuk bertahan ”sendiri dalam keramaian”? Pada bait terakhir sajak yang sama Radhar member jawaban: ”di pondok di dipan/pantatku berlumut belatung/sakitku hati abdi/ nikmatnya: mengunci hati/panggil/panggil aku segera/cinta saja” (hal 5).

”Aku kau ”, Manusia Itu
Kumpulan ini terdiri atas tiga bagian, yakni Lalu Aku, Lalu Kau, dan Laluakukau . Jika di bagian pertama Radhar meneguhkan makna keberadaan aku sebagaimana telah diuraikan, pada yang kedua ditemukan aku lirik yang ”bergerak keluar”. Menyapa subyek diluar dirinya, keluar dari ruang-ruang pribadi yang dideskripsikan sekaligus diabstraksikan pada bagian pertama.Sajak pertama di bagian ini, ”Lelaki Tua Stasiun Kota”, misalnya, merepresentasikan pandangan Radhar mengenai sosok manusia pada umumnya.

Pada pengantar, Radhar menulis bahwa manusia adalah makhluk yang selalu merasa memiliki daya untuk mencipta dan melenyapkan, padahal sesungguhnya ia tercipta dan terlenyapkan. Ini terjadi, menurut Radhar, karena manusia memercayai dirinya sendiri lebih dari yang sewajarnya (semakin gila pada diri sendiri). Dalam ”Lelaki Tua Stasiun Kota” Radhar menarasikan sesosok laki-laki tua, dengan kepala bercahaya, merasa yakin pada eksistensi dirinya. Padahal, faktanya ia hanyalah sosok yang rapuh, bahkan anonim. Radhar menulis: Lelaki dengan kepala bercahaya/akhirnya tergelak, dari mulutnya pekat,/darah kenyal muncrat, kalimatnya padat/membungkus tubuhnya, ”aku tak mengenalmu!” (hal 40). Melewati bagian kedua dengan sajak-sajak yang merepresentasikan bagaimana aku menafsir kau, pada bagian ketiga (lalu akukau), aku dan kau telah menjadi kesatuan tak terpisahkan. Didalam persenyawaan tersebut, yang didefinisikan Radhar bukan lagi ”subyek aku” dan yang disapa bukan lagi ”subyek kau”, melainkan persoalan sosial kemanusiaan secara umum. Jika sebelumnya Radhar menghadap-hadapkan cinta laki-laki dan perempuan, pada bagian ketiga ini, melalui sajak berjudul ”Hak”, Radhar mengungkapkan relasi tersebut dalam larik retoris: ”apa yang membuat wanita berhak pada lelaki/apa yang membuat lelaki berhak pada wanita” (hal 99). Saat dua hal telah dilebur, memang tidak dapat mendefinisikannya secara terpisah.

Peleburan aku dan kau dalam masyarakat hingga terbentuk ”entitas makna kemanusi aan” ditegaskan Radhar pada sajak pertama bagian ketiga, yakni ”Akumu di Membran Waktu”. Membran waktu adalah ruang (membran) sekaligus waktu. Di situlah peradaban hidup dan penyair ”dikutuk” untuk terus-menerus menjadi salah satu ”penunggunya”. Sebagaimana dikemukakan di awal, inilah basis ontologi dan epistemologi kepenyairan Radhar.

ACEP IWAN SAIDI Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB