Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Hajatan Demokrasi: Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras

Judul: Hajatan Demokrasi: Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras
Editor: Asrori S. Karni
Penerbit: The Wahid Institute, 2006
Tebal: 376 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Negara muslim tak bisa demokratis. Kesimpulan itu bisa jadi absah. Meski hanya berlaku untuk negara-negara dan periode tertentu. Negara-negara di Timur Tengah, sebagai contoh, memang kerap mengalami persoalan dalam mendamaikan ajaran Islam dengan sistem demokrasi. Sering tidak kompatibel. Tapi tidak dengan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yaitu Indonesia. Negara yang berdiri di kawasan Asia Tenggara ini tidak bermasalah dengan demokrasi. Damai-damai saja. Sampai hari ini, ber-Islam sekaligus berdemokrasi bisa dijalani.

Ada banyak bukti untuk mendukung opini ini. Pemilu langsung tahun 2004 lalu adalah penanda mutakhir mesranya hubungan Indonesia dengan demokrasi. Tidak tanggung-tanggung, ada 4 (empat) pemilihan umum langsung dilakukan. Pertama, DPR, DPRD I, dan DPRD. Kedua, DPD (Dewan Perwakilan Daerah)—serupa senator di Amerika Serikat—yang baru pertama kali ada. Ketiga, presiden dan wakil presiden. Yang terakhir merupakan peristiwa yang tiada duanya di dunia. Amerika Serikat—sang kampiun demokrasi—bahkan belum pernah menghelatnya. Hasilnya di luar perkiraan. Semuanya berlangsung relatif damai dan bisa dibilang sukses. Yang paling up to date, tentu saja pilkada (pemilihan kepala daerah) secara langsung pula. Sudah ada 200-an daerah menggelar hajatan demokrasi lima tahunan ini.

Memang, 'panen raya' demokrasi tersebut tidak dituai dalam semalam. Ada proses termasuk pertentangan pendapat di dalamnya. Di antaranya, adalah ke-taksepahaman para komponen bangsa menyikapi demokrasi itu sendiri.

Sikap mereka bahkan terbelah menjadi tiga. Mereka yang tergolong kelompok tradisionalis moderat, tarekat moderat, dan kaum modernis moderat menerima demokrasi dengan tanpa syarat. NU dan Muhammadiyah masuk dalam kategori ini. Kelompok lainnya adalah penerima demokrasi dengan opsi. Mereka menolak sebagian dan menerima sebagiannya lagi. Presiden perempuan, misalnya, tidak diterima ormas PERSIS (Persatuan Islam). Dan syari'at Islam dipaksakan untuk tegak di tengah ke-bhineka-an masyarakat Indonesia oleh Majelis Mujahidin Indonesia. Partai Keadilan Sejahtera sendiri menerimanya dengan catatan hanya sebatas prosedural belaka. Terakhir, golongan yang tegas menolak demokrasi. Demokrasi bahkan dianggap sistem pemerintahan yang kufur. Tidak ada kompromi atau negosiasi. Hizbut Tahrir Indonesia dan eks Laskar Jihad masuk kelompok ini. Pesantren Gerut di Cianjur juga meyakini hal yang sama dengan alasan berbeda. Demokrasi yang tidak bisa terlepas dari nuansa politik, bagi mereka, mutlak dijauhi. Tidak menghasilkan apapun kecuali perpecahan di antara umat. Karena itulah, seumur-umur seluruh penghuninya memilih golput.

Meski berbagai kendala dialami, tapi, toh tak menahan laju Indonesia untuk menggelar hajatan demokrasi hasil ijtihad bangsanya sendiri. Dan, tak sia-sia. Freedom House -lembaga pengawas kebebasan demokrasi bermarkas besar di AS- mengganjarnya dengan meningkatkan ranking Indonesia dari partly-free menjadi free di medio 2006. Imbalan yang pantas untuk sebuah ikhtiar dalam meningkatkan kualitas kebebasan sipil dan pengakuan politik.

Sampai di sini, demokrasi model Indonesia pantas untuk disaluti. Tak syak, demokrasi ala Indonesia ini adalah demokrasi yang luar biasa. Ia tak mengekor Timur Tengah, meski mayoritas penduduknya seagama dengan negara-negara di wilayah itu. Pun Indonesia tidak taqlid buta (baca: pengikut setia) kepada Barat yang notabene pemilik asli dari sistem demokrasi. Indonesia punya cara sendiri; mengadaptasikan demokrasi dari berbagai tradisi. Tidak untuk saling mendominasi melainkan saling mengisi. Tidak pula untuk dibenturkan melainkan dikawinkan.

Semua fakta ini terangkum dengan apik dalam buku bertitel 'Hajatan Demokrasi; Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras. Buku ini memiliki cara tutur yang lugas dan mudah dicerna.