Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Dua Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalismed dalam Wacana Global

Judul: Dua Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global
Penulis: Stephen Sulaiman Schwartz
Penerbit: Blantika, 2007
Tebal: 478 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: Rp. 80.000 (blm ongkir)
Order: SMS 085225918312


Islam, semula adalah sebuah ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Ia subyek ajaran yang awalnya murni dengan bersumber pada Qur’an dan Hadits. Namun ajaran Islam ini mulai berkembang dengan penafsiran dan perilaku penganutnya yang “berbeda” sehingga muncullah banyak predikat terhadap ajaran Islam, sehingga umat muslim pun mulai “terjebak” pada stereotip yang disematkan pada kata Islam. Misalnya Islam Moderat dan Islam Fundamentalis. Dua wajah ini dibahas di buku karangan Stephen Sulaiman Schwartz, seorang Eksekutif Direktur The Center for Islamic Pluralism di Washington DC. Buku ini diterjemahkan dari karya aslinya The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism.

Membaca judul buku ini saja, mungkin kita akan segera terprovokasi olehnya. Secara harfiah ia bisa bermakna munafik; dua wajah, dua standar. Dua sikap serba kemenduaan yang bisa saja dipraktikkan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan. Namun, dua wajah yang disajikan dalam buku ini mewakili dua posisi yang berseberangan yang sama-sama mengklaim sebagai manifestasi ajaran Islam. Ada wajah moderasi, kesejajaran, kesabaran, kejujuran yang merupakan wajah santun, toleran dan inklusif yang siap hidup berdampingan dengan para penganutkeyakinan yang berbeda. Sementaa pada sisi lain, ada wajah separatisme, supremasi, kesewenangan dan agresi yang garang, mudah marah dan eksklusif yang antagonis dengan wajah yang pertama.

Secara doktin, ajaran Islam menegaskan dirinya sebagai ajaran kasih-sayang Allah untuk seluruh alam (rahmatan lil alamin). Yaitu sebuah pernyataan yang mengandaikan sebuah kesejahreaan, kedamaian dan kebahagiaan tidak hany antar umat manusia melainkan juga keharmonisan dengan sluruh makhluk baik yang berperasa maupun tidak. Ia memberikan sebuah pengertian tentang arti sebuah perbedaan hadir dalam setiap pemikiran dan perilaku sebagai sebuag rahmat. Demikianlah, rujukan Al Quran dan Sunnah merupakan pegangan dari setiap muslim yang berlangsung sejak masa Rosull hingga sekarang. Meskipun dalam perjalanannya permahaman tentang pluralisme ini justru banyak ditentang oleh sebagian umat islam sendiri.

Secara ringkas, seperti yang ditulis dalam buku ini, kemunculan paham Khawarij adalah seiring dengan permasalahan khilafah antara Ali bin Abi Thalib pada satu sisi dengan Mu’awiyah pada sisi lainnya. Kelompok paham Khawarij ini melakukan “desersi” dari kelompok Ali bin Abi Thalib. Mereka menyatakan keluar dari barisan Ali, karena belakangan mereka menerima tawaran takhim dari kelompok Mu’awiyah. Desersi ini tejadi dua kali. Pertama, desersi oleh mereka yang tidak setuju dengan penerimaan takhim oleh Ali, -dan ni adalah kelompok Khawarij yang paling keras. Kedua adalah desersi oleh mereka yang tidak puas dengan hasil takhim yang justru menjatuhkan Ali dan mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah. Meski kelompok yang kedua ini tidak sekeras yang pertama, tetapi tetap saja menjadi bagian dari Khawarij gelombang pertama.

Menurut Schwartz, benih hadirnya kelompok Khawarij inilah yang sebenarnya merupakan salah satu dari wajah Islam, baik dalam tataran kultural maupun epistemologis.

Seperti yang ditulis di buku ini, kelompok Khawarij yang merupakan salah satu manifestasi dari salah satu wajah Islam, terbukti sangat ulet dan tidak pernah musnah, bahkan sekalipun secara sosiologis mengalami tekanan keras yang bertubi-tubi, dan secara etimologis, di pasar gagasan keagamaan terbukti tidak laku dan hanya ’dibeli’ oleh sangat kecil dari umat Islam sendiri. Benih pemikirannya tidak pernah pudar, mesk dalam satu waktu dan tempat tertentu ia pudar, namun di kala yang lain dan tempat yang berbeda ia muncul dalam busana dan aksesori yang berbeda. Karena itu, Khawarij-historis mungkin selain pada masa periode pancaroba khilafah pada masa lalu di timur Tengah, tidak ditemui lagi. Tapi secara karakteristik, Khawarij bisa saja muncul dimana-mana dan kapan saja, yang kemudian secara terminologis dikenal sebagai Neo-Khawarij.

Dalam kaitan ini, kembali Schwartz menegaskan bahwa dengan memperhatikan karakteristik sosio-kultural maupun pemahaman epistemologis, Wahhabi-Saudi adalah manifestasi dari Neo-Khawarij. Meurutnya, untuk pertama kalinya Wahhabi-Saudi memenangkan kekuasaan sehingga ia mampu menyebarkan pemahamannya dan secara sosio-kultural mewujudkan mimpi-mimpi unitariannya.

Berbekal fakta historis, sejak zaman khilafah pertama hingga akhir dari khilafah, yaitu Usmani di Turki, Schwartz secara mengejutkan memberikan kesimpulan bahwa Wahhabi-Saudi yang merupakan manifestasi dari Khawarij, baik dari sisi epistemologis maupun sosio-kultural, adalah pendukung utama terorisme internasional, kususnya secara finansial.

Dalam konteks kesimpulan Schwartz inilah, para pembaca perlu –bahkan harus- terlibat aktif dan kritis untuk turut serta terlibat dalam pengujian kesimpulan Schwartz. Alasannya, pertama; benarkah Wahhabi-Saudi, dengan kekayaan sumur minyaknya yang seakan tiada habis, menjadi pendukung finansial dan doktrinal utama bagi terorisme internasional. Kedua; dengan mengenali karakteristik Khawarij, adakah ia juga telah mulai menjejakkan kaki, atau bahkan menancapkan kukunya, di sekitar kita. Dua alasan ini sangat penting, namun alasan kedua justru sangat signifikan sacara sosio-kultural, terlebih dalam konteks Indonesia yang merupakan mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Pemahaman Barat
Pasca serangan 9 September 2001 (9/11), Barat, terutam Amerika memberikan pandangan yang monolitik terhadap Islam. Usama bin Laden dan kelompoknya Al Qaeda yang dituduh mendalangi peristiwa itu, dijadikan alasan bahwa sampai saat ini Islam merupakan ancaman nyata bagi Barat. Hal ini terlihat dari ancaman Presiden Bush; ini merupakan perang salib baru. Ia bahkan mengklaim posisi; ikut kami atau menjadi musuh kami.

Banyak kalangan yang amat menghawatirkan ucapan-ucapan profokatif ini. Sebab secara tidak langsung Bush telah menilai bahwa Islam hanyalah berwajah satu, fundamentalis yang garang, mudah marah dan eksklusif yang antagonis. Padahal sejauh ajaran Islam disebarkan oleh Rosulullah SAW, Islam adalah ajaran kasih-sayang Allah untuk seluruh alam (rahmatan lil alamin), meskipun pada kenyataannya ada sebagian umatnya yang memiliki pemahaman Khawarij yang eksklusif.

Ekspresi Bush sendiri dinilai banyak kalangan sebagai salah satu bentuk “ketakutan” terhadap banyangan superioritas Amerika yang ’sendirian’ berdiri sebagai polisi dunia, sehingga buru-buru ia memberikan sikap bahwa Islam (fundamentalis) sebagai ancaman. Namun, sukurlah, tidak semua orang terkecoh oleh pandangan ini. Masyarakat Amerika sendiri justru banyak mulai banyak membuka mata terhadap diri mereka sehingga “dimusuhi” oleh sebagian masyarakat lain. Islam justru menjadi poluler sejak itu, meski kepopulerannya tidak selalu dalam bentuk simpati, namun sikap acuh yang seringkali memunculkan banyak ancaman dan kekerasan. Serangan yang dilakukan oleh Pasukan Amerika dan sekutu Baratnya ke negara-negara yang dicurigai memiliki hubungan dengan al Qaeda, memberikan kesimpulan bahwa “kekerasan versus kekerasan” yang terjadi selama ini bukan merupakan pilihan bijak yang harus diambil oleh negara atau masyarakat yang mengklaim dirinya sebagai bangsa berperadaban paling maju saat ini.

Sikap Umat Islam
Kesimpulan Schwartz terhadap adanya dua wajah Islam, yang juga berarti merupakan sikap muslim yang munafik, baik dalam pemaknaan epistemologis maupun perilaku sosio-kultural seyogyanya tidak disikapi dengan gegabah. Justru dengan adanya “tuduhan” ini umat Islam bisa terus mengoreksi diri dengan pemikiran dan pemahaman yang muncul di kalangan umat Islam sendiri, meskipun tidak lantas mentah-mentah menelan kesimpulan tersebut. Serangan Amerika dan sekutu Baratnya terhadap negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim handaknya justru mempersatukan kekuatan umat Islam sendiri, sehingga tidak rapuh terhadap berbagai bentuk “ujian” yang muncul dari dalam maupun dari luar.

Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam sendiri, dalam beberapa waktu sempat mengalami “kebimbangan”. Serangan 9/11 yang diikuti serentetan “serangan” bom bunuh diri di Bali dan di Jakarta, justru banyak merugikan bangsa dan umat sendiri. Kerusakan, baik fisik, psikis maupun stereotip Muslim Indonesia yang garang makin memperumit, kalau tidak dikatakan membenarkan kesimpulan Schwartz. Artinya karakteristik Khawarij yang setiap saat bisam muncul dalam berbagai bentuknya, sosio-kultural, epistemologis maupun lainnya, jangan sampai menjejakkan kaki, atau bahkan menancapkan kukunya, di sekitar kita.*

Masad Masrur