Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Tergantung Pada Kata

Judul: Tergantung Pada Kata
Penulis: A. Teeuw
Penerbit: Pustaka Jaya, Cet. I, 1980
Tebal: 156 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Sleman


A. Teeuw adalah seorang filolog sekaligus guru besar Bahasa dan Kesusastraan Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden, Belanda. Ketika menjadi dosen tamu di UGM (1977-1978), dia membaca banyak sajak (puisi) Indonesia. Kesepuluh sajak yang dimuat dalam buku ini merupakan sepuluh sajak pilihan A. Teeuw. Sajak-sajak ini telah membuat A. Teeuw jatuh hati—ingin memahami mereka sedalam mungkin. Dia bahkan menganggap mereka sebagai sepuluh sajak terbaik dalam kesusastraan Indonesia modern.

Perlu ditekankan bahwa A. Teeuw memilih kesepuluh sajak ini secara subjektif. Sebagai pembaca, dia telah mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dari sajak-sajak ini. Sajak-sajak yang dimaksud adalah “Kawanku dan Aku” (Charil Anwar), “Si Anak Hilang” (Sitor Situmorang), “Jante Arkidam” (Ajip Rosidi), “Salju” (Subagio Sastrowardoyo), “Coctail Party” (Toeti Heraty), “Pada Sebuah Pantai: Interlude” (Goenawan Mohamad), “Sajak Lisong” (Rendra), “Ombak Itulah” (Abdul Hadi W.M.), “Husspuss” (Sutardji Calzoum Bachri), dan tiga sajak yang dianggap satu kesatuan oleh A. Teeuw, yaitu “Saat Sebelum Berangkat”, “Berjalan di Belakang Jenazah”, “Sehabis Mengantar Jenazah” (Sapardi Djoko Damono).

A. Teeuw menganalisis sajak-sajak pilihannya ini kebanyakan dari sudut bahasa, isi, makna, dan bunyi/irama. Meskipun A. Teeuw beranggapan bahwa sajak sebuah karya sastra merupakan keseluruhan yang bulat dan otonom, latar belakang pengarang kadang kala juga dicari hubungannya.

Saat kesusastraan Indonesia didominasi oleh konvensi Pujangga Baru, Chairil Anwar mencernakan konvensi-konvensi lain—konvensi internasional. A. Teeuw menganggap “Kawanku dan Aku” pantas mewakili sajak-sajak Chairil Anwar. Alasannya adalah sajak ini mempunyai intensitas, konsistensi, dan koherensi yang tak terbayangkan. Selain itu, “Kawanku dan Aku” juga merupakan memento memori Chairil Anwar, manusia yang mau hidup seratus tahun lagi. “Si Anak Hilang” memang pantas menggambarkan diri penyairnya. Sitor Situmorang dapat dikatakan sebagai manusia dari tiga zaman, tiga negeri, dan tiga bahasa. Perantauannya ke Eropa menjadikan Sitor bagaikan seorang anak hilang ketika dia kembali ke Batak, kampung halamannya.

Menurut A. Teeuw, sajak ini merupakan sajak modern Indonesia yang paling ketat bentuknya dan paling sempurna keseimbangan strukturnya. Hal ini tidaklah mengherankan karena, dalam sajak-sajak Sitor yang berbahasa Indonesia, memang dapat kita temukan keanekaragaman yang luar biasa dari segi isi, tema, bentuk, dan gaya. Dengan menggunakan bahasa Indonesia secara sempurna, Sitor menghadirkan suasana keterasingan yang tragis dalam “Si Anak Hilang”.

Jante Arkidam adalah nama pahlawan yang diceritakan oleh Ajip Rosidi dalam sajak epik yang berjudul sama. Dalam batasan yang sangat ketat, penyair berhasil memunculkan bayangan pahlawan yang cukup lengkap dan kisah hidupnya yang memuaskan harapan-harapan pembaca ketika membaca sajak epik.

Dunia rekaan dalam “Jante Arkidam” dapat dikatakan koheren, konsisten, meyakinkan, dan memaksa kita untuk meyakininya. Adegan demi adegannya disajikan secara langsung. Semua kata dalam sajak ini tegas, tidak menimbulkan keraguan, dan membuat pembaca tidak dapat melepaskan perhatiannya.

“Salju” karya Subagio Sastrowardojo hanya dapat dikarang oleh seseorang yang pernah menyaksikan turunnya salju dengan mata kepalanya sendiri. Keseluruhan siklus salju digambarkannya sebagai pemutarbalikan hari penciptaan. A. Teeuw menjabarkan secara rinci makna dari setiap bait—setiap jengkal siklus salju—dengan memeriksa kata per kata, bahkan setiap vokalnya. Akhir dari sajak ini menyiratkan hal yang sama dengan sajak-sajak Subagio lainnya, yaitu ketakutannya terhadap Maut.

A. Teeuw mengakui “Coctail Party” sebagai sajak yang paling sulit untuk dikupas. Sajak ini mengandung empat tingkat yang memuncak pada kancah pertarungan cinta demi hidup dan mati. Ciri khas sajak ini juga mengesankan—menawarkan konvensi yang rapi sekaligus menghancurkannya lagi.

“Saat Sebelum Berangkat”, “Berjalan di Belakang Jenazah”, dan “Sehabis Mengantar Jenazah” dicetak berturut-turut dalam kumpulan cerpen Sapardi Djoko Damono yang berjudul DukaMu Abadi. Ketiga sajak ini merupakan tritungal yang hanya dapat dipahami dan ditafsirkan sepenuhnya bila dianggap sebagai kesatuan yang padu. Tema pokok ketiga sajak ini adalah maut yang diwakili oleh waktu. Setiap katanya mempunyai fungsi dan keseluruhannya transparan—bulat-makna oleh segala unsur-unsurnya. Pemakaman sesama manusia pun diciptakan kembali oleh penyair menjadi pengalaman manusiawi yang mengukung kita secara paksa.

Ciri khas “Pada Sebuah Pantai: Interlude” adalah pertentangan dan perpaduan antara sajak dengan prosa. Dalam sajak sentimental ini, Goenawan Mohamad juga menekankan aspek dunia dongeng dan dunia nyata. Kedua pasang hal tersebut tidak terpisah-pisah. Puisi dapat sepintas lalu tampak sebagai prosa. Dunia dongeng dapat berbaur dengan dunia nyata.

Sajak ini kaya akan unsur-unsur puitis dari segi formal, baik di bidang bunyi, kiasan, maupun di bidang makna kata. Unsur bentuk dimanfaatkan penyair dalam perpaduannya dengan makna. Kadang-kadang terdengar pula nyanyian sedih yang sangat sederhana.

A. Teeuw sebenarnya telanjur mencintai sajak-sajak Rendra terdahulu yang penuh daya gaib. Kecenderungan Rendra yang bergeser pada sajak-sajak pamflet yang langsung dan terus-terang merupakan kejutan yang tidak kecil bagi A. Teeuw. “Sajak Lisong” adalah sajak pamflet Rendra yang A. Teeuw pilih untuk dikupas.

Kuatnya efek retorik dalam sajak ini dibangun sebagai penghantaman struktur sosio-politik Indonesia. Pemakaian kata-katanya panjang dan penggandaan katanya sangat menonjol demi membuat pembaca/pendengar terkesan dan meresapinya. Karena sajak ini memang sajak pamflet, keseluruhannya dibina seperti pidato. Rendra sebagai penyair pun mampu membacakannya dengan meyakinkan.

Sebelum menginterpretasi “Ombak Itulah” karya Abdul Hadi W.M., A. Teeuw membahas terlebih dahulu hubungan “aku-kau” dalam keseluruhan kumpulan kumpulan sajak Tergantung Pada Angin. Sesudah itu, A. Teeuw mencari peranan ombak. Keduanya dianggapnya penting untuk menafsirkan “Ombak Itulah”. Ternyata, “Aku” dalam sajak ini selalu tergantung pada “kau” sedangkan ombak melambangkan hidup, gerak, dan suara. Lebih tepatnya lagi, ombak adalah prinsip hidup, awal-mulanya dan akhirnya.

Pemakaian bahasa dalam sajak ini dapat disebut imajis. Kata-kata yang dipilih oleh penyair biasa-biasa saja, tetapi penggabungannya (contoh: menjadi kata majemuk) mengejutkan pembaca. Itulah ciri khas Abdul Hadi. Dengan demikian, mempelajari sajak ini sama dengan mempelajari manusia Abdul Hadi sendiri.

Kredo Sutardji Calzoum Bachri (kata bukanlah alat, tapi pengertian itu sendiri) menjadi pegangan A. Teeuw saat menganalisis “Husspuss”. Sajak semacam ini—mantra—bisa dianggap tidak berhasil karena sedikit sekali celah bagi pembaca untuk menginterpretasinya. Inilah ironi dan tragedi penyair modern yang hendak menciptakan mantra. Kalau bagian “normal” saja yang dianalisis, “Husspuss” sangat biasa. Sajak ini hanyalah sajak modern biasa yang sedikit menimbulkan kesukaran pemahaman. Namun, A. Teeuw tidak menyangkal kekuatan dan keorisinalan pendekatan puisi Sutardji.

Sebagaimana yang dikatakan oleh A. Teeuw, penjelasan dan penafsiran hanya dapat berfungsi sebagai pengantar kembali pada sajak itu sendiri. Kalaupun seseorang membaca sajak-sajak itu kembali setelah membaca Tergantung Pada Kata, ia berhak menjadikan analisis A. Teeuw sebagai dasar interpretasinya atau membuat interpretasi yang sama sekali lepas dari analisis tersebut. Bahkan, sah-sah saja apabila ia tidak turut jatuh hati pada kesepuluh sajak ini.

Tergantung Pada Kata sangat bagus untuk dibaca siapa pun yang sedang belajar untuk menafsirkan puisi secara mendalam. Tidak ada kutipan-kutipan teori yang memusingkan dan pembaca merasa dituntun dengan baik oleh A. Teeuw.