Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Politik Film di Hindia Belanda

Judul: Politik Film di Hindia Belanda
Penulis: M. Sarief Arief
Penerbit: Komunitas Bambu, 2009
Tebal: 106 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok Kosong


Buku ini memberikan fakta-fakta menarik bagaimana pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik film dengan cara mempertajam dan mengarahkan gunting sensornya secara serampangan, asal-asalan, tanpa aturan yang mengebiri film pada saat pertumbuhannya. Bahkan seorang anggota Komisi Sensor Film saat itu dapat melakukan penyensoran tanpa harus menunggu keluarnya surat perintah. Carut marut tersebut terjadi hanya lantaran rasa malu dan takut pemerintah terhadap pencitraan orang Barat yang akan terlihat buruk di mata Pribumi.

Penulis bukan saja menyajikan dan menganalisis setiap peraturan dengan kritis, juga memberikan contoh-contohnya. Ia siap dengan kekayaan sumber-sumber sezaman. Diperkuat pula dengan wawancara para pelaku sejarah, termasuk dengan mantan pemain Dardanella, Tan Boen Seng. Sebab itu dapat memberikan pemahaman yang utuh mengenai latarbelakang politik film di Hindia Belanda dan cukup kuat sebagai bahan refleksi politik film masa kini, khususnya dalam hal kelayakan, sensor, pengguntingan, dan lain sebagainya.

Bagi mereka yang sudah membaca buku Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa (Misbach Yusa Biran, Komunitas Bambu 2009), kelengkapan sejarah perfilman di Hindia Belanda bisa dibaca dalam buku Politik Film di Hindia Belanda.

Buku setebal 101 halaman yang juga diterbitkan oleh Komunitas Bambu tahun ini merupakan pembukuan karya tulis akhir seorang mahasiswa jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, M. Sarief Arief, pada tahun 1992.

Kebangkitan film sendiri tidak terlepas dari maraknya perkumpulan sandiwara sebagai salah satu sumber calon bintang film. Perusahaan-perusahaan film pada masa awal seringkali memanfaatkan kepopuleran pemain tonil sebagai bintang utama film yang mereka produksi.

Selain menceritakan tentang sejarah awal datangnya film, mulai dari gambar idoep sampai bersuara, mulai dari film yang diimport hingga awal produksi film, buku ini juga menjelaskan secara cukup rinci mengenai sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap karya-karya perfilman.

Untuk mengurangi dampak negatif dari film-film asing, pemerintah Hindia Belanda tidak hanya membuat UU Perfilman pada tahun 1916, tetapi juga membentuk Komisi Sensor Film dengan diberlakukannya UU Perfilman tahun 1919. Awalnya di empat kota besar (Batavia, Medan, Semarang dan Surabaya). Dalam perjalanannya, undang-undang perfilman mengalami perubahan lagi pada tahun 1920 dan akhirnya pada tahun 1925 dikeluarkan undang-undang yang memusatkan kerja komisi sensor film di Batavia.

Perubahan UU Perfilman dilakukan setelah melihat terjadinya kegelisahan dalam masyarakat dan para pemilik bioskop. Awalnya hanya untuk mencegah pribumi melihat dan mencontoh citra negatif orang Barat yang tampil di film, tapi kemudian juga memikirkan kebutuhan pembuat film dan pemilik bioskop.

Buku ini menarik untuk dikaji bila kita kemudian membandingkannya dengan kebijakan pemerintah Republik Indonesia terhadap perfilman. UU RI No. 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman baru mengalami perbaruan pada tahun 2009 dengan disahkannya UU RI No. 33 Tahun 2007… setelah 17 tahun (baca: 11 tahun setelah reformasi 1988)…

Dengan catatan tidak banyak berubah dari UU No. 8 Tahun 1992 dan para penyusunnya tidak (mau) mendengarkan masukan dari kalangan industri perfilman.

Padahal khusus untuk pasal-pasal yang berkaitan dengan Lembaga Sensor Film, bila ada perubahan undang-undang, pemerintah diharuskan untuk mendengarkan masukan dari kalangan perfilman sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi RI No. 29/PUU-V/2007.

Catatan khusus ini ada karena di antara sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, terdapat seorang hakim yang tidak mendukung keputusan MK untuk menolak permohonan untuk mengadakan judicial review atas pasal-pasal yang terkait dengan LSF dalam UU Perfilman Tahun 1992.

Repotnya, konon… alkisah… dongengnya… ketika masih berupa RUU, pemerintah terburu-buru mendesak DPR untuk mensahkan UU Perfilman sebelum terjadi pergantian kabinet.

Tapi, itu semua kan cerita masa kini. Buku Politik Film di Hindia Belanda bercerita tentang masa lampau. Seperti ketika kita kembali dari sebuah perjalanan petualangan, hanya yang manis dan bagus lah yang kita ingat. Yang pahit dan buruk terlupakan.

Ada satu ganjalan dalam buku ini… penulis berulang-kali menyebut film asal Amerika Serikat sebagai film “aliran genre”. Maksudnya? Genre sendiri adalah aliran.

Selain itu, penulis lebih banyak membahas film-film dari AS ketimbang film dari Cina. Padahal menurut buku Sejarah Film 1900-1950 perkembangan film di Cina juga sangat berperan penting dalam kebangkitan produksi film di Hindia Belanda. Sutradara awal film yang diproduksi di Hindia Belanda banyak yang berasal dari daratan Cina.

Meski tidak direncanakan oleh para penulisnya, Komunitas Bambu jelas melihat bahwa karya M. Sarief Arief ini melengkapi karya Misbach Yusa Biran. Keduanya layak dibaca oleh peminat sejarah film nasional… Indonesia tentu saja, bukan hanya era Hindia Belanda!