Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pemikiran Hadis Mu'tazilah

Judul: Pemikiran Hadis Mu'tazilah
Penulis: Abu Lubabah Husain
Penerbit: Pustaka Firdaus, 2003
Tebal: 165 Halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 35.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA: 085225918312



Pertarungan baik wacana maupun aksi antara kelompok tekstualis yang diwakili sarjana hadis Sunni dan kelompok rasionalis ekstrem yang diwakili Muktazilah sejak dulu hingga kini tetap menjadi obyek studi yang menarik. Menarik karena keduanya memiliki cara pandang yang sangat bertolak belakang dalam menyikapi teks suci Islam, terutama hadis sehingga menghasilkan perbedaan interpretasi. Bila kelompok pertama menerapkan standar ekstra ketat dalam menerima sebuah hadis yang mengharuskan akal tunduk padanya, maka kelompok kedua cenderung mengutamakan superioritas akal atas sebuah hadis yang mengharuskan hadis bersimpuh di hadapannya. Berkenaan dengan itu, Ibrāhīm al-Naẓẓām berkata, “Tajamnya analisa akal dapat menghapus hadis-hadis Nabi.” (hal. 62)

Kita tidak perlu kaget membaca pernyataan al-Naẓẓām tersebut, karena sebagaimana kita tahu, Muktazilah mempunyai hierarki sumber hukum yang berbeda dengan Sunni. Bagi mereka akal menempati urutan pertama dalam hierarki sumber hukum, baru setelah itu al-Quran, Sunnah, dan Ijmā’. Menurut al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, perangkat pertama adalah akal, karena akal dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Dengan akal kita bisa mengetahui al-Quran sebagai ḥujjah, demikian juga Sunnah dan Ijmā’. Oleh karena itu, potensi perbedaan metodologi dan konklusi antara Muktazilah dan Sunni terbuka lebar.

Dari segi metodologi kita tahu bahwa salah satu kriteria utama penerimaan dan penolakan Sunni terhadap sebuah hadis adalah kajian kritis terhadap sosok periwayat hadis dalam mata rantai periwayatan (sanad) hadis; apakah ia adil, terpercaya, dan mempunyai daya hafal yang kuat atau sebaliknya. Bagi Sunni, derajat semua sahabat adalah adil berdasarkan surat al-Fatḥ ayat 18, hadis riwayat ‘Imrān ibn Ḥusayn dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, dan sebuah hadis tentang larangan mencela sahabat dalam Ṣaḥīḥ Muslim dan Sunan Abū Dāwūd. Berbeda dengan Sunni, bagi Muktazilah tidak demikian.

Secara umum sikap Muktazilah terhadap sahabat silih berganti. Adakalanya mereka meragukan kredibilitas (‘adālat) para sahabat sejak terjadinya fitnah sebagaimana dituduhkan oleh Wāṣil ibn Aṭā`. Adakalanya mereka menuduh semua sahabat sebagai orang fasik sebagaimana dilontarkan oleh ‘Amr ibn ‘Ubayd. Sementara itu, al-Naẓẓām menuduh para sahabat sebagai para pendusta, bodoh, dan munafik. Sebagai konsekuensinya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mereka harus ditolak berdasarkan pendapat Wāṣil ibn Aṭā`, ‘Amr ibn ‘Ubayd, dan para pengikutnya. (hal. 73)

Masih berhubungan dengan sanad, dilihat dari jumlah periwayatnya hadis terbagi menjadi dua bagian yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Para sarjana hadis Sunni mendefinisikan hadis mutawatir sebagai hadis yang diriwayatkan sekumpulan orang banyak dari orang banyak yang secara adat mustahil mereka sepakat berbohong. Ia merupakan hasil tanggapan panca indera dan merupakan kepastian bagi orang yang mendengarnya. Bagi Muktazilah tidak demikian. Setidaknya bagi al-Naẓẓām dan Abū Hudhayl. Bagi keduanya, boleh jadi sekumpulan orang banyak yang jumlahnya tidak terhitung melakukan kedustaan. Berdasarkan pemikiran Muktazilah tentang kelayakan dan kemampuan akal untuk menghapus hadis. Padahal bagi Sunni orang yang mengingkari hadis mutawatir tergolong orang fasik. (hal. 76)

Kalau hadis mutawatir saja mereka gugat bagaimana dengan kualifikasi derajat hadis lainnya yang derajatnya pasti di bawah derajat hadis mutawatir? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus tahu bagaimana metode pemahaman keagamaan mereka. Dalam perdebatan dan interaksi mereka dengan teks suci Islam seperti al-Quran dan hadis mereka berpijak pada pancasila (al-uṣūl al-khamsah) dan cabang-cabang pemikiran mereka. Jika mereka mendapatkan ayat-ayat al-Quran menyalahi dasar pemikiran mereka, maka mereka akan mentakwilnya. Jika yang menyalahinya adalah hadis, maka mereka akan mengingkarinya. Mereka, misalnya, menolak ḥadīth ṣaḥīḥ seperti hadis tentang syafa’at, hadis tentang terbelahnya bulan, hadis tentang orang yang bahagia adalah orang yang bahagia saat di perut ibunya dan orang yang celaka adalah orang yang celaka adalah orang yang celaka dalam perut ibunya, dan hadis tentang penciptaan Adam dengan redaksi “fa inna Allāh khalaqa ādam ’ala ṣūratihi”. (hal. 82-84)

Pada persoalan syafa’at, mereka tidak mengingkari semua bentuk syafa’at. Mereka hanya mengingkari syafa’at dalam hal mengeluarkan manusia berdosa dari neraka, mereka masuk neraka karena dosa-dosanya, karena mereka tidak mempercayai adanya syafaat Rasulullah saw. bagi para pelaku dosa besar dari umatnya. Padahal hadis tentang syafa’at beliau bagi pelaku dosa besar termaktub dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ Muslim, Sunan Abū Dāwūd, Sunan al-Tirmidhī, dan Sunan Ibn Mājah. Mengenai terbelahnya bulan, al-Naẓẓām berkata bahwa terbelahnya bulan merupakan suatu kebohongan yang nyata. Kalau benar bulan terbelah, mengapa manusia pada umumnya tidak mengetahuinya. Mereka juga tidak mencatatnya sebagai salah satu peristiwa bersejarah. Tak seorang penyair pun mendendangkannya. Padahal hadis terbelahnya bulan termaktub dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ Muslim, dan Sunan al-Tirmidhī. (hal. 109-116)

Penolakan Muktazilah terhadap ḥadīth ṣaḥīḥ seperti pada kasus-kasus di atas karena berpijak pada dasar pemikiran dan olah akal mereka sebenarnya muncul dari pengekangan akal pada suatu sudut pandang tertentu, tanpa mencari sudut pandang alternatif lainnya guna mendamaikan teks suci dengan akal. Bagaimana pun juga, teks suci yang benar mustahil bertentangan dengan hasil penalaran akal. Seharusnya mereka menggunakan metode takwil dengan cara mengoptimalkan kinerja akal sehingga menghasilkan penalaran sehat yang selaras dengan teks suci yang akurat. Mereka seakan-akan mendengungkan superioritas akal, tetapi sebenarnya mereka malah terjebak pada sebuah sudut pandang yang sempit tanpa mengeskplorasi beragam kemungkinan hasil penalaran akal yang lain. Sejarah juga mencatat bahwa merekalah yang mengobarkan doktrin kebebasan manusia, tetapi mereka malah mengebiri kebebasan orang lain sehingga muncul tragedi inkuisisi (al-miḥnat).

Abu Lubabah Husain, penulis buku ini, memaparkan sedikit banyak sikap Muktazilah terhadap hadis. Ia berusaha mengkaji dan menyuguhkannya pada kita. Dari judul bukunya Pemikiran Hadis Muktazilah seakan-akan ia membahas kriteria-kriteria Muktazilah untuk menerima atau menolak sebuah hadis sebagaimana lazim kita baca dalam buku musṭalaḥ al-ḥadīth Sunni, tetapi bila kita baca dari awal hingga akhir buku ini niscaya kita akan mendapatkan pembahasan yang berbeda sama sekali. Hampir separuh dari seluruh halaman buku ini menitikberatkan pembahasannya pada asal usul, sumber, dan doktrin utama Muktazilah. Ia memaparkan pembahasan tentang sikap Muktazilah terhadap hadis berikut contoh dan sanggahan terhadapnya pada separuh terakhir buku ini. Ia juga tidak lupa mengungkap keutamaan-keutamaan Muktazilah pada dua lembar terakhir.

Para peminat pemikiran Islam dan hadis seharusnya menjadikan buku ini sebagai salah satu menu bacaan wajib sebagai amunisi akademis mereka. Penulis buku juga berusaha tidak berlebih-lebihan mencela Muktazilah seraya memperhatikan etika dialog yang baik.