Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri

Judul: Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri
Penulis: Thomas Hidya Tjaya
Penerbit: KPG, 2004
Tebal: 196 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong


Kierkegaard adalah seorang filsuf-relijius Eropa abad 19. Dia yang lahir pada 5 Mei 1813 disebut sebagai seorang filsuf yang merintis Filsafat Eksistensialisme, juga aliran baru yang kini tengah mendominasi dunia pemikiran modern, yakni Post-Modernisme. Pemikirannya  berorientasi sekitar eksistensi manusia yang berada dalam dunia dalam arti luas, seperti tentang keputusan sebagai salah satu hal yang esensial bagi diri manusia, tentang kebenaran sebagai subjektivitas, juga ia banyak berbicara tentang jalan hidup seorang manusia selama memaknai kehidupannya di dunia ini, seperti jujur kepada diri sendiri, kritik terhadap publik, dan menolak kepalsuan.Kierkegaard juga dikenal sebagai seorang yang militan mengkritik institusi Gereja Denmark pada waktu itu.

Selain menelurkan pemikiran sendiri, filsuf yang selalu menggunakan nama samaran dalam karya filsafatinya tersebut juga mengkritik Hegel. Hegel adalah seorang pemikir Eropa pada abad 18 yang sangat terkemuka, bukan hanya di Eropa, melainkan di seluruh belahan dunia. Pemikiran Hegel ini banyak memengaruhi pemikiran modern, bahkan sampai Indonesia, Soekarno adalah salah satu yang terpengaruh oleh Hegel melalui pengikutnya yang lain, yakni Karl Marx, ekonom, pemikir Jerman abad 19. Kierkegaard juga terpengaruh oleh Hegel dengan beberapa pemikirannya seperti dialektika yang tercermin dalam pemikirannya tentang jalan hidup, meski begitu ia banyak menolak pemikiran Hegel, seperti ajarannya tentang kebenaran, metafisika, dsb. Selain pemikir, ia juga banyak aktif dalam kehidupan sosial, seperti penentangan terhadap gereja Denmark yang waktu itu digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan Negara. Karya-karya Kierkegaard antara lain adalah Concluding Unscientific Postcript, Either/Or, Fear and Trembling, beberapa catatan harian yang terkumpul dengan judul The Journals of Kierkegaard, Present Age, The Sickness Unto Dead, Stages On Life's.

Dalam buku yang ditulis oleh Thomas Hidya Tjaja, kita bisa sedikit banyak mengenal pemikiran Kierkegaard. Selain itu kita juga bisa mengikuti beberapa kisah hidupnya yang sungguh menggugah perasaan, seperti kisah pertunangannya yang batal dengan Regina Olsen, atau cekaman dosa yang melilit Kierkegaard yang diwarisi oleh ayahnya. Selain itu kita juga bisa mengetahui bagaimana cara Kierkegaard menjalani hidupnya melalui yang dicerminkan dalam filsafatnya.

Mungkin membaca Kierkegaard akan membuat hati kita bergetar, setidaknya itu yang saya rasakan ketika membaca tulisan singkat tentang Kierkegaard ini. Kisah hidupnya sungguh pilu. Kierkegaard membawa kita masuk ke dalam suasana batinnya yang mendalam dengan pemikirannya tersebut. Mungkin yang bisa disebut paling serius adalah kritiknya terhadap Hegel, misal tentang filsafat.

Kierkegaard hidup dalam zaman dimana di Eropa pada permulaan abad ke-19 sedang berkembang orientasi budaya yang baru, yakni aliran romantik (romanticism)yang menenkankan pada pembebasan emosi manusia dan ungkapan bebas kepribadian dalam karya-karya artistik. Gerakan ini dapat dilihat sebagai kritik terhadap rasionalisme Zaman Pencerahan yang terlalu menekankan peranan akal-budi dalam menggambarkan jati diri manusia (hlm 7). Ia juga hidup dalam suasana revolusi yang terjadi dimana-mana, ketika hal-hak ilahi para raja terkikis, semisal Revolusi Inggris (1668), dan Revolusi Prancis (1789-1799) (hlm 7). Pria yang berkawan akrab dengan keheningan ini tinggal di dalam keluarga kelas menengah dan relijius. Bapaknya bernama Michal Pedersen Kierkegaard, dan ibunya bernama Ane Sorensdatter Lund. Ibu Kierkegaard adalah istri kedua yang dinikahi bapaknya karena terpaksa, sebab hubungan gelap. Ia anak keenam dari 5 (lima) bersaudara, mereka meninggal sebelum Kierkegaard berumur 21 tahun.

Orang yang memiliki punuk ini menjalani masa studinya di Boergerdydskole (Sekolah keutamaan Sivik), di sana ia dikenal sebagai murid yang cerdas, berlidah tajam, dan tukang membuat onar (hlm 24-25). Ia melanjutkan studinya di Universitas of Copenhagen di bidang teologi, yang juga mencakup liberal arts dan sains. Ketika itulah Kierkegaard berkenalan dengan pemikiran Hegel (hlm 25). Selain itu ia juga banyak mengikuti kuliah umum para pemikir besar, seperti Schelling, ketika ia merantau ke Berlin, setelah pertunangannya dengan Regina Olsen gagal.

Di masa studinya itu ia sempat menjalani kehidupan yang hedonis, tepatnya 3 (tiga) tahun sebelum kematian sang ayah, Pedersen, pada 1838. Ia hidup dalam pesta. Namun dari sana kehidupannya yang baru bersemi, ia mengalami pertobatan. Dalam masa pertobatan itu ia bertemu dengan seorang wanita “yang membuatnya menangis karena kecantikkannya”, yakni Regina Olsen. Regina Olsen, 1837. 3 (tiga) tahun kemudian ia betunangan. Namun secara kontroversial ia meninggalkan Regina Olsen. Kehidupan yang tragis ini adalah titik tolak dari filsafat Kierkegaard (hlm 26). Ia mencoba mencari rasionalisasi atas apa yang ia lakukan dari filsafat untuk kemudian ia coba kembangkan sebagai pemikirannya sendiri.

Memang, kalau saya lihat, dalam tulisan yang singkat tentang Kierkegaard ini, pemikirannya tak lain dan tak bukan adalah titik tolak dari kehidupan Kierkegaard sendiri, semisal tentang kebenaran, jalan hidup, keputusasaan, kritik terhadap publik, dan berbagai kritiknya terhadap Hegel. Ini dikuatkan dengan pendapat Kierkegaard bahwa kebenaran adalah subjektifitas. Dalam Concluding Unscientific Postcript, Climacus (nama samara Kierkegaard dalam tulisan itu, red) mengulas tema penting mengenai kebenaran sebagai subjektifitas. Baginya, kebenaran adalah masalah batin (inwardness), dan bukan pertama-tama masalah sesuatu yang berada di luar diri manusia. Kebenaran selalu berkaitan dengan subjek, yakni dengan diri yang memeluk dan meyakini kebenaran itu secara pribadi. Yang ditekankan di sini adalah relasi manusia dengan kebenaran tersebut, dan bukan hakikat kebenaran itu sendiri (hlm 112). Ia juga menekankan passion atau gairah dalam memeluk sebuah keyakinan. Dari sana ia sekaligus menentang segala bentuk kepalsuan, terutama kepalsuan relijius yang ditampilkan pemuka kristiani yang ia sebut sebagai "Pegawai Negara", Gereja Denmark tak lain dan tak bukan hanya merupakan alat legitimasi kekuasaan negara, seperti yang pernah diutakan Maichiavelli yakni fungsi politis agama sebagai alat pemersatu.

Dengan menganggap kebenaran sebagai subjektifitas dengan passion sebenarnya Kierkegaard bisa digolongkan sebagai seorang romantis. Seorang romantis adalah seorang yang menerima sensasi-sensasi dari berbagai hal, termasuk dari masa lalunya sebagai sebuah kenyataan. Keromantisan Kierkegaard memang membuat kita tertarik akan filsafatnya. Mungkin apa yang diutarakan Kierkegaard dengan keromantisannya yakni passion dalam berkeyakinan dan kebenaran sebagai subjektifitas melalui penulis buku ini terkesan kolot, Kierkegaard sudah menutup kemungkinan lain yang bisa terjadi dengan keyakinan buta. Namun kalau kita melihat secara kontekstual hal ini mungkin akan berbeda. Kita harus membaca Kierkegaard secara menyeluruh.

Meski begitu, bukan Kierkegaard tidak mengetahui kebenaran objektif. Ia mengatakan ada kebenaran objektif, namun tidak bisa dipeluk oleh manusia, melainkan hanya mendekati. Dan ia percaya bahwa kebenaran sejati itu ada di tangan Yang Maha Kuasa. Bagi Kierkegaard, ada 2 (dua) macam kebenaran objektif: pertama, bersifat manusiawi (human objective knowledge), dan yang kedua, bersifat ilahi (devine objective knowledge). Kebenaran objektif ilahi jelas tidak tersedia (unavailable) bagi manusia; kita tidak punya akses terhadap pengetahuan ilahi dan tidak dapat mengetahuinya. Sebaliknya kebenaran objektif manusiawi sebetulnya tersedia (avalaible) bagi manusia. Akan tetapi, pengetahuan manusia mengenai kebenaran ini hanya bersifat mendekati (approximate). Penafsiran manusia terhadap realitas, menurut Kierkegaard, tidak pernah bersifat final atau definitif seperti pendakuan Hegel. Maka tidak ada "sejarah final" (final history) dalam kamus Kierkegaard. Konsep kebenaran sebagai konsensus manusia pun, seperti ditawarkan oleh Gadamer dan Habermas, bukanlah kebenaran objektif dalam hal ini. Tak seorang pun dapat mengatakan, "Nih sudah saya dapatkan pengetahuan objektif mengenai realitas." Paling-paling orang dapat mengatakan, "Ya, saya sedang mengusahakannya."  Oleh karena itu, proses pencarian kebenaran objektif akan terus berlangsung (hlm 114).

Kierkegaard juga banyak berbicara tentang tingkat kehidupan manusia. Kierkegaard berpendapat ada 3 (tiga) macam wilayah eksistensi (spheres of existence) atau tahap-tahap jalan hidup (stages on life's way), yakni wilayah estetik (the aesthetic), etis (the etical), dan relijius (the religious). Penggolongan ini didasarkan pada wilayah eksistensi karena, menurut Heidegger, itulah cara-cara manusia berada di dunia (modes of being-in-the-world) dalam arti bahwa dalam setiap wilayah eksistensi ada pandangan tertentu, yang bagi orang di dalamnya memberikan kepuasan dan kepenuhan hidup (hlm 87).

Itulah beberapa pemikiran utama dari Kierkegaard, yang membentuk filsafatnya, yakni tentang subjektifitas, dan tahapan kehidupan. Selain itu ia membahasakan dirinya dengan pemikirannya seperti kecemasan, keputusasaan, keheningan, dan hal-hal yang memang Kierkegaard sendiri alami. Namun ia merangkumnya dengan cara yang ilmiah, misal dengan istilah-istilah yang "wah", dan filsafati, sehingga itu tidak menjadi terkesan sebagai sebuah curhatan. 
         
Banyak hal yang bisa kita dapatkan dalam buku ini, baik dalam kehidupan praktis, maupun teoritis. Buku bersampul merah yang disampaikan dengan lugas dan mudah dimengerti, bahkan oleh orang awam filsafat sekalipun. Buku yang ditulis oleh dan dengan orang yang ahli dan sumber yang mumpuni bisa dijadikan awal mula bagi akademisi filsafat yang tertarik mendalami pemikiran Kierkegaard. Sebenarnya ketika kita membaca buku ini kita seperti akan disihir agar meniru sikap dan sifat Kierkegaard, karena hidupnya yang sangat membuat kita merasa simpati. Namun salah satu dari sifat filsafat adalah meragu, jadi saya sarankan membaca buku ini secara kritis.