Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Kenabian di Dalam Islam

Judul: Kenabian di Dalam Islam
Penulis: Fazlur Rahman
Penerbit: Pustaka, 2003
Tebal: 125 Halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
Order: SMS 085225918312
 

Seluruh aliran penting pemikiran Islam menerima kenabian sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan. Pada tingkat wacana, persoalan kenabian menjadi titik persinggungan krusial antara kelompok yng berkecenderungan normatif (ortodoks) dan kelompok yang berkecenderungan rasional (filosof).

Citra tradisional yang begitu melekat dengan "kenabian" sebagian besar mungkin disebabkan oleh dominannya penjelasan kalangan ortodoksi tentang persoalan ini yang sampai kepada kita. berbekal tradisi rasionalistik yang diserap dari Yunani, para filosof berusaha agar citra tradisional kenabian tersebut memiliki argumentasi filosofis yang dapat dipahami secara rasional. Jika demikian halnya, mengapa persoalan kenabian ini memicu kontroversi dan perdebatan antara kalangan ortodoks dan para filosof? Apa pokok persoalan yang mereka perdebatkan?

Buku ini mengupas secara mendasar ide kenabian dan titik-titik perbedaan persoalan ini antara ortodoksi pada satu pihak, dan filsafat pada pihak lain. Topik-topik penting yang dibicarakan buku ini mencakup:
- Doktrin tentang akal yang digagas oleh para filosof, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.
- Wacana kenabian, meliputi: wahyu intelektual dan wahyu teknis atau wahyu imajinatif, mukjizat dan doa; hukum dan misi kenabian.
- Doktrin ortodoksi dan filsafat tentang kenabian, terutama penerimaan dan penolakan masing-masing pihak tentang persoalan ini.

Ditulis oleh seorang pemikir Muslim besar abad ini, buku ini menyajikan pembahasan yang jernih mengenai persoalan kenabian dalam Islam -- persoalan yang justru cenderung diabaikan oleh para pemikir Muslim modern. Buku ini sangat penting, bukan saja bagi para peminat kajian Islam, melainkan juga bagi siapa saja yang menginginkan penjelasan rasional atas salah satu unsur pembentuk bangunan keimanan.

Hampir seluruh aliran penting pemikiran Islam menerima kenabian sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keimanan. Namun, persoalan kenabian ternyata tidak bisa diterima begitu saja. Pada lingkup wacana, persoalan kenabian menjadi titik persinggungan krusial antara kelompok yang berkecenderungan normatif (ortodoks) dan kelompok yang berkecenderungan rasional (filosof). Meski Louis Gardet telah membahas masalah ini dalam bukunya La Pensee Religieuse d’Aviceune (Paris, 1951), perhatian para sarjana muslim modern terhadapnya dapat dikatakan sangat minim.

Fazlur Rahman, sosok yang tak asing dalam dunia intelektual Islam, paham benar permasalahan tersebut. Karenanya, ia mengurai dengan jernih dan komprehensif persoalan penting yang terkesan telah terabaikan itu. Dengan tanpa menghilangkan gaya khasnya yang straight to the point, ia menjelaskan secara terperinci dalam bukunya ini.

Buku ini mengawali pembahasannya dengan mengungkap doktrin tentang akal yang digagas para filosof muslim. Tetapi, seperti diakui Rahman, sejauh menyangkut dasar-dasar psikologis-metafisis, pemikiran para filosof tentang wahyu kenabian dibangun atas dasar teori-teori Yunani berkaitan dengan sifat dan kekuatan kognitif jiwa manusia. Sumber utama pemikiran mereka adalah pemikiran Aristoteles dalam bukunya De Anima, yang membahas kemampuan intelektual jiwa.

Di sini penelusuran lebih menukik pada pemikiran filosof muslim paling penting yang membahas secara eksplisit mengenai kenabian dengan bertumpu pada sifat kognisi jiwa manusia, yakni Al-Farabi dan Ibnu Sina. Kedua filosof ini memperlihatkan perbedaan-perbedaan substansial dalam penjelaskan mengenai akal, terminologi yang mereka gunakan pun agak berbeda. Perbedaan ini akhirnya memicu bahkan mempengaruhi pandangan mereka tentang kenabian.

Bagian kedua mengulas wacana kenabian yang meliputi; wahyu intelektual dan wahyu teknis atau lazim disebut wahyu imajinatif, mukjizat dan doa, serta hukum dan misi kenabian. Pada bagian ini secara terperinci menjelaskan bahwa nabi merupakan seorang yang dianugerahi bakat intelektual luar biasa sehingga dengan bakat tersebut ia mampu mengetahui sendiri semua hal tanpa bantuan pengajaran oleh sumber-sumber eksternal.

Penjelasan ini disandarkan pada tiga pokok pemikiran Al-Farabi mengenai wahyu kenabian pada level intelektual. Di antaranya: (1) Nabi berbeda dengan manusia yang berpikiran biasa. Ia dianugerahi bakat intelektual luar biasa. (2) Akal nabi berbeda dengan pikiran filosofis dan mistik biasa, tidak membutuhkan pengajar eksternal. Tetapi berkembang dengan sendirinya dengan bantuan kekuatan Ilahi, termasuk dalam melewati tahap-tahap aktualisasi yang dilalui oleh akal biasa. (3) Pada akhir perkembangan ini, akal kenabian mencapai kontak dengan Akal Aktif, yang darinya ia menerima fakultas spesifik kenabian.

Bagian ketiga merupakan puncak pembahasan buku ini, yaitu memperbincangkan doktrin ortodoksi dan filsafat tentang kenabian, terutama penerimaan dan penolakan masing-masing pihak atas persoalan ini. Rahman menemukan sekelompok teolog skolastik utama (mutakallimun) yang bercorak dogmatik, namun memperbolehkan penggunaan akal secara terbatas untuk menjelaskan dan mendukung dogma. Lalu, terdapat bentuk akut dogmatisme yang meminimalisasi penggunaan akal dan hanya mengunakannya untuk mendebat kaum rasional.

Aliran pertama merupakan aliran terbesar yang secara mengagumkan diwakili oleh Al-Syahrastani. Sedangkan yang kedua diwakili oleh Ibnu Hazm. Kedua aliran ini memang mengakui pentingnya akal, tetapi menolak para filosof sama sekali. Bahkan, meski mengukuhkan nilai-nilai spiritual di dalam kerangka Islam, mereka menolak sufisme. Dalam perdebatan kedua aliran ini, muncullah Ibnu Taimiyyah sebagai tokoh berpengaruh yang cukup memberikan kontribusi besar pada kebangkitan kembali antiklasikisme dan "modernisme" Islam.

Nah, satu poin penting buku ini adalah, Rahman tampak hendak mengkritik kecenderungan elitis di kalangan intelektual muslim yang menggunakan "metode kebenaran ganda" (double truth methodology), yakni kebenaran untuk kaum elite dan kaum awam. Kecenderungan elitis ini mendasarkan argumennya pada anggapan bahwa masalah-masalah intelektual yang sensitif dan sophisticated semestinya tidak diperbincangkan secara terbuka, seperti halnya wacana kenabian. Sebab, bagi mereka, orang awam tidak memiliki kemampuan intelektual yang memadahi untuk memahami persoalan-persoalan tersebut, yang pada gilirannya justru membuat mereka bingung.

Bagi Rahman, jika ini dibiarkan sangat berbahaya karena bisa mendorong tumbuhnya kemunafikan di masyarakat. Salah satu jalan yang harus ditempuh adalah memberi ruang yang selebar-lebarnya bagi penyebaran berbagai wacana dengan harapan masyarakat menjadi kritis dan lebih bijak dalam memahami perbedaan.