Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959

Judul: Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959
Penulis: Tio Tek Hong
Penerbit: Masup, 2007
Tebal: 129 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Terjual Jakarta


Sebuah kisah dapat mengalir oleh karena ingatan yang tajam. Saya masih ingat ketika ibu saya menceritakan masa kecilnya. Ibu saya juga menceritakan bagaimana ketika beliau berteman dengan seorang laki-laki yang sekarang menjadi ayah saya. Bagi saya yang mendengarkan cerita, hanya bisa membayangkan suasana peristiwa itu terjadi seraya (mungkin) menyusuri kembali tempat-tempat dimana terjadi peristiwa tersebut.

Tio Tek Hong, seorang pria Tionghoa yang pernah hidup di Jakarta pada akhir abad 19 dan awal abad 20 menceritakan masa kecil hingga dewasanya pada pembaca. Kisah perjalanan hidupnya berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat pada waktu itu. Ia adalah saksi keindahan kota Jakarta tempo dulu serta surutnya kekuasaan penjajah kolonial.

Tio Tek Hong dibesarkan dalam keluarga Tionghoa. Ia dilahirkan pada 7 Januari 1877, di Pasar Baru. Letusan dahsyat Gunung Krakatau pada Agustus 1883 sebagai pembuka bab buku ini. Hujan abu serta banyaknya batu apung banyak sekali di sekitar tempat tinggal mereka. Satu hal menarik, ia mencatat bahwa akibat bencana yang menelan banyak korban jiwa itu diciptakan nyanyian Gambang Kromong Kramat Karem.


Profesinya sendiri adalah berdagang. Namun satu hobinya yang membuat ia bangga adalah berburu. Ia membentuk perkumpulan berburu serta menulis buku tentang berburu "Penuntun, Pengetahuan dan Nasehat Fatsal Memburu Binatang dan Burung." Hobi tersebut ternyata bermanfaat bagi kesehatannya, ia mengatakan bahwa berburu menggerakkan seluruh anggota badan serta menyegarkan paru-paru dan pikiran. Selain itu berburu, membuat para pemburu tetap merasa gagah dan muda.

Bagaimana dengan kondisi kota Jakarta dan masyarakatnya? Tio Tek Hong mengatakan bahwa Pasar Baru adalah pusat dagangnya Jakarta. Jalan-jalan di kota diisi dengan kereta kuda maupun jalur trem kereta yang menghubungkan Kota-Harmonie-Gambir-Pasar Baru-Kramat-Jatinegara.

Keadaan masyarakat yang cukup detil diceritakan adalah kebudayaan masyarakat Tionghoa. Ia menceritakan bagaimana suasana perayaan seperti Sin Chia, Cap Gou Meh, dan Cngge. Pada perayaan Sin Chia (Tahun Baru), mereka berpakaian baru dan memberi salam pada saudara-saudara serta mengunjungi anggota keluarga yang lain. Setiap ucapan selamat, diganjar dengan amplop merah berisikan Angpaw (uang).

Satu hal lagi yang menarik adalah perayaan ulangtahun Ratu Wilhemina yang dilakukan di Pasar Gambir. Setiap tanggal 31 Agustus adalah puncak acara Pasar Gambir tersebut. Berbagai stand ikut meramaikan acara tersebut. Ada tontonan sulap, komidi putar, American Carnaval Show, Panjat pinang, dan sebagainya.

Menutup buku ini, Tio Tek Hong membagi rahasia panjang umurnya. Ketika buku tentang kisah hidupnya ini dibuat, ia sudah berusia 70-an tahun. Salah satu tipsnya adalah jangan begadang, minum alkohol, bangun tidur buat gerakan sedikit serta minum air banyak. Pepatah yang jadi gaya hidupnya:

    Jika bangun pagi hari,
    Rejeki selalu menghampiri,
    Segala penyakit akan lari,
    Bikin sehat kau punya diri!


Buku kecil ini cukup membuat kita berimajinasi pada kota Jakarta zaman dulu. Satu sudut pandang dari seorang pemilik toko dan pemburu masih sangat kurang bagi kita yang ingin mengenal Jakarta masa lalu. Namun paling tidak, warisan cerita ini adalah sesuatu yang berharga untuk menyusun memori tentang gambaran sejarah masa lalu kota yang makin hari makin dikepung macet, banjir, dan gedung-gedung tinggi.