Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Dari Perintah Halus ke Tindakan Keras

Judul: Dari Perintah Halus ke Tindakan Keras: Pers Zaman Kolonial Antara Kebebasan dan Pemberangusan 1906-1942
Penulis: Mirjam Maters
Penerbit: Hasta Mitra, 2003
Tebal: 459 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok kosong
Kebijakan pengendalian pers dari mulai yang lembut seperti kewajiban melaporkan modal minimal pendirian perusahaan hingga yang keras seperti pembredelen tak bisa dilepaskan dari sejarah pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Puncaknya, kebijakan itu dituangkan secara monumental di tanah jajahan dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sejak 1918.

Belakangan, kebijakan itu bahkan seperti sudah mendarah daging dan merasuk ke pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi. Buktinya, selama ketiga rezim itu berkuasa, kebijakan warisan itu selalu memakan korban dari mulai pemberangusan pers hingga pemenjaraan wartawan.

Secara garis besar kebijakan pemerintah kolonial dalam membatasi ruang gerak pers terbagi ke dalam berbagai bentuk atau sarana. Pertama, sarana yuridis yang berupa sensor preventif, ketentuan pidana yang represif, dan kewajiban tutup mulut bagi pegawai pemerintah. Kedua, dalam bentuk perangkat administratif seperti sistem perizinan yang dipersulit, sistem agunan, dan lisensi atau rekomendasi. Ketiga, sarana-sarana ekonomi berupa pemungutan pajak atas kertas dan iklan, serta modal minimal pendirian sebuah perusahaan media. Keempat, sarana-sarana sosial. Biasanya berupa peringatan, propaganda, penerangan, dan sensor.

Mirjam Maters mendeskripsikan, menganalisis, dan menyimpulkan kebijakan penguasa kolonial itu secara komprehensif. Buku ini disusun dari disertasi Maters yang kelahiran Utrecht, Belanda, 26 Mei 1963. Kebijakan pers yang diteliti dalam rentang 1906-1942 ini terbagi ke dalam lima periode. Setiap periode menjelaskan setiap kebijakan yang dikeluarkan berikut latar belakang yang menyertai dan mendasarinya.

Pertama, periode 1906-1913. Pada periode ini pers benar-benar bebas. Ini ditandai dengan penghapusan sensor preventif terhadap barang cetakan. Pemerintah kolonial juga mendukung pertumbuhan pers yang dapat memajukan penduduk pribumi.

Pada masa ini setiap orang bebas menerbitkan media cetak. Surat izin bahkan dapat diurus belakangan, selambat-lambatnya 24 jam setelah terbit. Pemerintah juga memosisikan sebagai lembaga pengawas bukan lembaga sensor. Untuk mengawasi pers, gubernur jenderal memberikan penerangan dan memberikan subsidi modal.

Kedua, periode 1913-1918. Masa ini adalah saat-saatnya tumbuh transparansi dan pers bebas. Penduduk pribumi benar-benar mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk mengekspresikan diri yang berpengaruh pada bidang politik. Apalagi setelah terbentuknya Volksraad (Dewan Rakyat), koran-koran sangat bebas memuat perdebatan-perdebatan para politisi.

Ketiga, periode 1918-1927. Sebaliknya, periode ini adalah awal-awal kemunduran bagi pers pribumi. Penguasa kolonial banyak membatasi pers, khususnya pers radikal seiring dengan bangkitnya nasionalisme penduduk pribumi yang diwujudkan dengan berdirinya organisasi-organisai kemasyarakatan dan politik yang radikal pula. Puncaknya adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia di sejumlah daerah yang berhasil ditumpas tentara kolonial.

Pada periode ini pemerintah kolonial mulai memberlakukan KUHP. Di dalamnya terdapat ranjau-ranjau hukum pidana pers. Yang paling seram adalah pasal 154-157 tentang delik penyebaran kebencian (haatzaai artikelen), serta pasal 207-208 tentang delik terhadap kekuasaan negara. Satu tahun kemudian, puluhan wartawan dijebloskan ke penjara, karena menulis berita yang tak sesuai dengan selera penguasa.

Keempat, periode 1927-1931. Masa ini adalah era penerapan ordonansi pemberangusan pers. Pemerintah tanpa melibatkan pengadilan dapat melarang sementara terbitan berkala setelah memberikan peringatan. Dalam aturan ini, gubernur jenderal bisa membredel suratkabar dengan dalih ''mengganggu ketertiban umum''. Masa pembredelan selama-lamanya delapan hari, dan jika masih bandel diperpanjang 30 hari.

Kelima, periode 1931-1942. Periode ini adalah puncaknya pemberangusan pers yang ditandai dengan pembredelan sejumlah media. Pada masa ini penguasa kolonial sudah berhasil menguasai kebijakan pengendalian pers secara administratif, yuridis, sosial, dan ekonomis. Kebijakan pers pemerintah kolonial berakhir setelah Jepang tiba di Indonesia pada 1942.

Penyanjian materi buku yang kronologis membuat pembaca mudah memahami isi buku ini. Para jurnalis, mahasiswa, pengamat pers, atau para elite yang kini sedang sibuk merevisi KUHP mungkin bisa bercermin dari buku ini sehingga bangsa Indonesia tidak terjerumus pada kerangkeng pers yang sama.