Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Mereka Bilang, Saya Monyet!

Judul: Mereka Bilang, Saya Monyet!
Penulis: Djenar Maesa Ayu
Penerbit: Gramedia, Cet I, 2002
Tebal: 145 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok kosong

Vulgar, seks, perempuan, bahasa yang straight. Mungkin itu yang akan kita fikirkan jika mendengar tulisan Djenar Maesa Ayu. Djenar Maesa Ayu lahir di Jakarta pada tanggal 14 Januari 1973. Ia lahir dengan darah seni yang diturunkan oleh kedua orangtuanya. Ayahnya bernama Sjuman Djaya adalah seorang sutradara film, sedangkan ibunya bernama Tutie Kirana yang merupakan aktris era 1970-an.

Djenar merupakan salah seorang penulis Indonesia yang cukup terkenal dengan karya-karyanya yang mengangkat kehidupan metropolitan. Tulisannya yang khas dan berani ini membuatnya menjadi salah satu penulis yang patut diberi penghargaan. Karya-karyanya yang selalu membawakan tema seksualitas dengan bahasanya yang straight membuatnya menerima banyak kritik darn berbagai kalangan. Akan tetapi, tulisannya masih sedap untuk dibaca sampai sekarang bahkan sudah beberapa kali dicetak. Kesuksesannya menjadi seorang penulis tidak lain karena ia tetap mempertahankan tuilisannya walaupun ia menerima kecaman dan kritik pedas dari berbagai kalangan hingga banyak pembaca yang kini malah beralih menunggu tulisannya. Bahkan karyanya Mereka Bilang, Saya Monyet ini sudah sampai 8 kali cetak (hebat kan.. ).

Hampir semua novel karya Djenar yang kerap disapa Nai ini merupakan kumpulan cerpen-cerpennya yang sudah dimuat di berbagai majalah dan koran. Mereka Bilang, Saya Monyet merupakan bukunya yang  pertama. Seperti pada bukunya yang lain, buku ini merupakan kumpulan cerpen yang tersdiri dari 11 cerpen Nai, diantaranya Mereka Bilang, Saya Monyet, Lintah, Durian, Melukis Jendela, SMS, Menepis Harapan, Waktu Nayla, Wong Asu, Namanya, ..., Asmoro, Manusya dan Dia. Cerpennya yang pertama kali dimuat diberinya judul Lintah yang juga sertakan dalam buku ini.

Dalam kumpulan cerpen karyanya ini, Nai menggambarkan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya dengan berbagai macam binatang, seperti ungkapannya “Seharusnya saya menghajar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu.” Nai mengisyaratkan bahwa manusia atau tokoh yang dimaksud berwatak seperti binatang yang disebutkannya untuk sang tokoh. Hal ini cukup menarik karena jarang sekali penulis menggunakan kata-kata vulgar dalam tulisan mereka.

Dalam kumpulan cerpennya ini, secara umum Nai mengisahkan tentang seksualitas wanita. Banyak hal yang digamblangkan secara vulgar. Dalam cerpennya Mereka Bilang, Saya Monyet sendiri menceritakan mengenai tokoh saya sebagai tokoh utama yang merupakan seorang lesbian, dibuktikan dengan kalimat khasnya yang berbahasa straight dan vulgar “Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-endus kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama.” Setting yang diambil dalam cerpen ini ialah sebuah diskotik yang ia ceritakan terdapat PSK yang sedang bercinta di salah satu bilik kamar mandi dengan seorang lelaki yng disebutnya dengan Si Kepala Gajah. Kemudian mereka keluar seolah tidak terjadi apa-apa. PSK itu kemudian bergelayutan dengan orang lain di luar kamar mandi. Tabiat tokoh yang dimasukkan dalam cerpen ini pantas dengan julukan yang diberikan Nai. Selain itu kisahnya pun diambil dari realita yang ada di sekitar penulis.

Nai banyak mengisahkan mengenai kemunafikan manusia yang selalu tampak sempurna di mata semua orang, namun ternyata kenyataannya bertolak belakang dengan sifat yang mereka tampakkan. Pada dasarnya semua cerpen pada bukunya inin bertemankan pelecehan seksual pada wanita, baik dari keluarga dan lingkungannya. Namun hal yang sudah menjadi rahasia umum ini begitu tabu untuk dibicarakan. Sehingga Nai menjadikannya sesuatu yang berbeda, yang bernilai seni dan sastra. Sekaligus Nai sendiri ingin membuktikan bahwa hal-hal yang dianggap tabu seperti itu juga perlu untuk dibicarakan, dibahas, dan didiskusikan dalam khalayak umum.

Hal menarik yang saya temui ialah pada judul Manusya dan Dia yang berbeda dengan cerita-cerita sebelumnya. Cerita ini mengisahkan adanya konflik batin pada tokoh Manusya dengan kehendak Dia sebagai Tuhan yang  selalu berlainan keinginan dengan Manusya. Manusya yang selalu terfikirkan oleh Dia, bahkan komposisi Dia dalam dirinya melebihi komposisinya. Sehingga Manusya ingin melepaskan Dia dari dalam tubuhnya. Dan akhir ceritanya menyiratkan manusia yang semakin menjauh dari agamanya. Hal ini tergambar dalam adegan yang digambarkannya ketika Manusya memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi dan merasakan Dia ketakutan yang pada akhir ceritanya dituliskan “Lampu-lampu jalan bagai bintang, bagai bulan, bagai kunang-kunang, bagai Dia. Roda mobil manusya terus bergulir, menjauh dari Dia.”

Semua tulisan Djenar yang berbau seks yang sebenarnya kurang bisa saya tangkap secara langsung maknanya. Karena mungkin cerita yang ia ambil berdasarkan hal-hal yang masih dianggap tabu untuk diperbincangkan. Kata-kata berbau seks seperti orgasme dan tindakan seksualitas yang digambarkannya dalam buku ini kurang bisa saya imajinasikan. Sehingga memang membutuhkan kedewasaan untuk membaca karyanya. Sehingga kata-kata yang vulgar, berbau seks yang masih tabu dan sebagian masyarakat termasuk saya yang kurang memahami bahasa seperti itu. Jujur saja, saya harus mendatangkan penerjemah (teman saya) yang dapat membantu saya mengatahui bahasa seks yang terdapat dalam buku ini.

Dibandingkan dengan film yang sudah dirilis sekitar tahun 2007, bukunya lebih menarik. Karena di buku sudah jelas terdapat batasan judul yang membedakan antar cerita. Selain itu ceritanya juga lengkap dan tidak membingungkan pembaca oleh alur yang ada. Sedangkan pada filmnya yang diperankan oleh Titi Sjuman. Saya lebih bingung mengenai alurnya yang tiba-tiba berpindah dan tidak lengkap. Tidak ada kejelasan tokoh yang ada.

Overall, buku ini menarik untuk dibaca karena berbeda dengan yang lainnya seperti tulisan Andrea Hirata, Tere Liye, maupun penulis yang lainnya. Hal ini menjadi ciri khas yang patut untuk dipertahankan sebagai seorang penulis. Mengingat kebebasan berkarya yang sekarang ini diperjuangkan. Dengan bahasanya yang berani menyebutkan kata-kata tabu menjadi biasa. Menghadirkan cerita tentang kehidupan di sekitar kita yang sebenarnya sudah banyak terjadi. Buku ini menginspirasi dan mengingatkan kita betapa manusia sudah tidak lagi manusiawi. Mengumbar kemunafikan yang semakin menghitamkan kehidupannya.