Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam

Judul: Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam
Penulis: Issa J. Boullata
Penerbit: LKiS, 2001
Tebal: 266 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Jakarta

Keprihatinan patut kita alamatkan pada negeri Arab dan dunia Islam secara umum. Betapa tidak? Arab yang merupakan tempat persemaian salah satu budaya terbesar dunia, akhirnya harus berhadapan dengan pilihan yang cukup sulit dan dilematis: Menerima budaya luar (Barat) yang sekuler, liberal, dan progresif, atau tetap setia pada tradisi Islam klasik. Yang menarik, persoalan ini telah mengundang perdebatan hangat di antara sejumlah pemikir Arab kontemporer.

Berangkat dari rasa ketidakpuasan melihat keterpurukan dan keterbelakangan masyarakat Arab dewasa ini sebagai akibat dari sistem budaya dan pola pikir yang berorientasi ke masa lampau (atavisme), sejumlah pemikir telah menawarkan agenda-agenda pembaharuan, dekonstruksi, bahkan perubahan radikal kebudayaan Arab sehingga mampu merespons kebutuhan-kebutuhan modern.

Buku yang edisi aslinya berjudul 'Trends and Issuess in Contemporery Arab Thought' ini menyajikan pandangan-pandangan kritis dari sejumlah pemikir Arab kontemporer tentang isu-isu kebudayaan, warisan, sejarah, dan peran perempuan Arab yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian.

Mengapa upaya-upaya yang dilakukan Bangsa Arab untuk menjadi modern selalu gagal? Padahal, dibandingkan dengan negara-negara seperti Cina, Rusia, dan Jepang misalnya, Arab relatif lebih lama terlibat dalam kancah kemodernan, namun upaya-upaya tersebut acapkali berakhir tragis. Jika persoalannya adalah faktor budaya, bukankah Jepang yang merupakan negara industri terkemuka di dunia mampu melakukan modernisasi dengan tetap menjaga kebudayaannya?

Letak persoalannya, menurut Syakir Mushthafa -- sebagaimana dijelaskan dalam buku ini -- adalah kekeliruan dalam memahami sejarah. Sejarah bagi bangsa Arab cenderung dimaknai secara statis dan reaksioner ketimbang sebagai proses dialektika yang terus berlangsung mengikuti bahasa zaman. Lebih jauh ia mengatakan: ''Kita (Arab) tidak melihat sejarah sebagai titik permulaan, tetapi sebagai batas akhir. Kita tidak melihatnya sebagai getah tumbuhan, tetapi sebagai cabang yang siap untuk tempat bergantung dan berayun."

Karena itu, menurut Mushthafa, satu-satunya jalan keluar bagi bangsa Arab saat ini adalah keharusan mengadaptasikan warisan Arab dengan era modern. Dengan begitu, ia optimis kelak Arab akan mampu meraih kemajuan yang genuine dan otentik.

Barangkali Adonis (Ali Ahmad Sa'id) jauh lebih radikal dibanding Mushthafa. Penyair produktif asal Syiria-Libanon ini melihat urgensi mendekonstruksi kebudayaan Arab. Menurutnya, kehidupan Arab hanya akan mencapai kemakmuran jika struktur tradisionalnya dihancurkan. Dan karenanya diniscayakan 'paradigm chift' dalam melihat masa depan.

Dari sisi ini dapat dilihat bahwa kebudayaan Arab dalam bentuknya yang paling 'given' saat ini menjadi penghambat kemajuan, karena menolak segala bentuk inovasi, bahkan mengutuknya. Tak lain, ini adalah konsekuensi dari struktur kebudayaan tradisional bersifat konformis dan berorientasi ke masa silam -- yang oleh Adonis dikecam habis-habisan.

Masih dalam nada yang sama, sarjana Mesir, Muhamamd an-Nuwaihi mengajukan proyek ''revolusi pemikiran keagamaan''. Secara eksplisit ia menolak pernyataan ulama yang mengatakan bahwa sumber-sumber keagamaan merupakan sistem yang sempurna dan komprehensif tanpa perlu perubahan. Mengikuti modernis Mesir Muhammad Abduh dan pengikut-pengikutnya dari mazhab al-Manar, ia mengakui bahwa 'ushul' memang abadi dan tak dapat diubah, tetapi tidak demikian dengan 'furu'' yang harus disesuaikan dengan ruang dan waktu.

Pandangan inilah kemudian yang membuatnya banyak dikecam karena dinilai sekuler. Padahal, menurutnya, Islam sama sekali tidak bertentangan dengan pandangan sekuler, karena kalau kita mau jujur sebenarnya pandangan Islam tentang persoalan dunia adalah murni sekuler.

Lain lagi dengan Muhammad Arkoun. Sarjana Aljazair yang menetap di Paris ini menyerukan pendekatan yang sama sekali baru. Menurutnya, dalam mengagendakan pembaharuan, masyarakat harus memperhatikan historisitas ('at-Tarikhiyah'). Dengan historisitas, masyarakat arab kontomporer tidak hanya akan memperoleh pemahaman yang jernih tentang masa lalu dan masa sekarang, tetapi juga memberi kontribusi pada perkembangan ilmu modern.

Dalam banyak tulisannya (sebagian sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), Arkoun nampak dengan jelas bertitik tolak pada pemikiran dan gagasan dekonstruksi konsepsi sejarah dan kebudayaan masyarakat Arab-Islam sebagai produk aktivitas manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Tujuan Arkoun adalah demitologisasi, menetapkan metode pemikiran ilmiah dalam kajian Islam sebagaimana dimanifestasikan dalam sejarah.

Dari semua pemikir di atas, nampaknya Abdullah Al-Arwi (Maroko) tampil dengan analisis yang sangat berbeda. Ia tidak hanya mengecam pemikiran kaum tradisional, tetapi juga mengkritik seluruh tradisi intelektual Arab yang ''eklektik'', yang mengadopsi elemen-elemen kebudayaan Barat. Menurut Arwi, bagaimanapun pemikiran mereka tidak memiliki implikasi apa-apa bagi perkembangan Arab, sebaliknya hanyalah menyisakan ketergantungan negeri itu kepada Barat.

Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk bisa membebaskan pemikiran Arab, menurut Arwi, adalah tunduk secara total pada disiplin pemikiran historis dan menerima seluruh asumsinya. Bersamaan dengan itu, ia melihat bahwa pemikiran historis yang paling baik dan yang dibutuhkan oleh bangsa Arab dewasa ini adalah marxisme. Karena yang dibutuhkan Arab saat ini adalah terciptanya suatu elit pemikir yang dapat melakukanan modernisasi secara intelektual, politik, maupun ekonomi.

Selain berbagai pemikiran tentang tradisi intelektual Arab, buku ini juga memaparkan butir-butir pemikiran liberal perempuan Arab terkemuka --seperti Aisyah Abd Rahman, feminis Mesir Nawa as-Sadawi, dan sosiolog Maroko Fatima Mernissi. Buku ini juga menghadirkan pemikiran aktivis Islam Zainab Al-Ghazali, sebagai wakil dari pandangan konservatif tradisional.

Pengarang buku ini, Issa J Boullata, tampak cukup berhasil menangkap pemikiran-pemikiran kritis yang disajikan dalam karya ini secara 'fair.' Meski dalam banyak hal ia harus melakukan analisa dan evaluasi kritis terhadap beberapa pandangan intelektual Arab yang -- menurutnya -- ''terlalu teoritis untuk dipraktekkan''.

Bagi khalayak pembaca Indonesia tentu kajian ini sangat penting. Apalagi selama ini Arab dengan Islam acapkali diidentikkan, meski sebenarnya tak seidentik itu. Karena Arab adalah kebudayaan lokal dan partikular, yang dibentuk oleh ruang dan waktu, sementara Islam adalah ajaran yang diyakini secara universal. Karena itulah, barangkali kehadiran buku ini patut kita sambut gembira. Karena minimal karya ini akan sangat membantu kita dalam memahami modernitas dan kaitannya dengan budaya, khususnya Islam sebagai 'way of life' mayoritas masyarakat negeri ini.