Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Ushul Fikih Versus Hermeneutika

Judul: Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika
Penulis: Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph. D.
Penerbit: Pesantren Nawesea Press, 2010
Tebal: 151 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok Kosong


Selagi manusia masih berpijak di bumi, kompetisi masih akan terus terjadi. Dengan kompetisi inilah manusia mendapatkan spirit hidupnya, karena akan selalu bergerak dalam menemukan tantangan dan hikmah yang terselip dibalik ragam kompetisi. Terlebih lagi dalam soal pemikiran, kompetisi berlangsung sangat seru. Karena setiap faksi akan menguatkan argumentasi yang dilontarkan, dengan dalih dan cara yang sebaik mungkin. Kekalahan dalam kompetisi, walaupun mempunyai hikmah besar, tetapi bagi para pemikir tetap akan dijauhi, karena menjadi “aib” intelektual.

Karena kompetisi keilmuan tak mengenal usai, maka perdebatan akan terus berlangsung tida henti. Tinggal nafas kesabaran yang menentukan masing-masing faksi. Dalam sejarah intelektual dunia Islam, terjadilah dua faksi yang sangat menonjol. Mereka adalah ahli hadits (yang berpegang pada teks) dan ahli ra’yu (yang berpegang dalam rasionalitas). Kedua faksi ini membekas skali dalam gerak sejarah dinamika keilmuan di dunia Islam. Bahkan sampai sekarang, kedua faksi ini masih mempengaruhi cara berfikir intelektual Islam dalam memandang sebuah persoalan.

Penafsiran yang dilakukan ahli hadits sangat terpaku pada kekuatan teks. Kelompok ini sangat berhati-hati dalam menentukan status sebuah persoalan. Kalau teks dalam al-Quran dan al-hadits tidak ada, mereka tidak akan gegabah atau gampangan dalam mengurai persoalan dengan rasio. Karena bagi mereka, kedua landasan tersebut tersebut telah menjawab semua persoalan dalam kehidupan. Cuma manusia masih galau dan bimbang, sehingga tak mampu menggali sumber pengetahuan dari kedua landasan tersebut.

Berbeda dengan ahli ra’yu yang sangat menonjolkan unsur rasionalitas. Dalam menjawab beragam persoalan, analisis rasio menjadi sangat penting bagi mereka. Bahkan ketika dalam menjawab persoalan, mereka berani berbeda dengan apa yang dalam sebuah teks. Mereka bukannya tidak menggunakan teks. Tetapi bagi mereka, teks itu snagt terbatas, sementara fakta social terus berkembang tak terbatas. Maka penggunaan rasio mutlak direalisasikan. Karena kalau rasio tetap berpegang kepada kemaslahatan, maka disitulah rasio sesungguhnya sama dengan maksud yang ada dalam teks. Mereka mencoba melampaui teks.

Apa yang diurai Yudian dalam buku bertajuk “Ushul Fiqh versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika” adalah sebuah ijtihad memproklamirkan kembali sebuah kompetisi keilmuan. Yudian mengkritik para propagandis hermeneutika yang dengan serampangan menggunakan hermeneutika dalam menafsirkan kalam ilahi. Kaum hermeneutis mencoba melihat nash sebagai teks yng perlu ditinjau ulang keasliannya. Rumitnya, bagi Yudian, mereka justru terjebak dalam kubangan pengetahuan yang sangat memalukan.

Kaum propagandis hermeneutika ini snagat lucu, karena mereka menguguhkan hermeneutika, ternyata pengetahuannya ihwal hermeneutika masih rendahan. Mereka sekedar comotisme dalam memaknai hermeneutika. Seolah hermeneutika tidak bermalasalah kalau diterapkan begitu saja dalam tafsir al-Quran. Di sisi lain, para propagandis hermeneutika mengkritik teori ushul fiqh. Disini terjadi pendangkalan ganda. Ushul fiqh sebagai metode tafsir belum dipahami, tetapi sudah hendak diganti dengan ilmu baru, tetapi pinggiran. Pendangkalan ini terjadi karena para propagandis hermeneutika umumnya bukanlah doctor hermeneutika, apalagi dotor ushul fiqh.

Terjadilah neo-taklidisme besar-besaran. Pra propagandis hermeneutika hanya mengetahui hermenetika dari sumber sekunder yang kualitas keilmuannya juga masih meragukan. Ironisnya, dengan kualitas pas-pasan, sumber sekunder tersebut dipuja-puji di berbagai tempat, sehingga seolah gagasan tersebut “baru” dan mencerahkan. Para pemikir Indonesia modern yang mereka rujuk tersbut ternyata bukanlah ahli dalam ushul fiqh, paling banter mereka memahami pengantar ushul fiqh. Lihatlah siapa itu HM Rasidji yang ahli kebatinan Jawa. Harun Nasution yang tekun mengkaji teologi Abduh, dan Nurcholis Madjid yang ahli dalam falfasah Ibn Taimiyah. Sedangkan Amin Abdullah adalah pemikir kajian Al-Ghazli dan Immanuel Kant.    

Dari sini terlihat, pemikiran hermeneutika yang selama ini disuguhkan hanyalah jurus pinggiran yang masih jauh dibandingkan dengan teori keilmuan dalam ushul fiqh. Yudian sendiri menjelaskan bahwa hermeneutika bisa digunakan untuk menafsirkan kalam ilahi ketika mencapai taraf horizontal. Tidak bisa dilakukan untuk menafsir klam ilahi ketika dibawakan kepada Jibril untuk Muhammad. Kalau digunakan secara vertical, maka kalam ilahi tak lagi asli, tak suci lagi, dan sama saja dengan menyebut Muhammad dan Jibril tidak al-amin. Padahal keduanya dikenal sebagai yang tepercaya dan tidak memaksulkan sedikiptun dalam al-Quran.

Muhammad dan Jibril hanya passive transmitters yang menyempakan wahyu al-Quran apa adanya kepada makhluq. Makanya tidak sedikit dalam ayat al-Quran yang mereka sendiri tidak bisa menafsirkan, seperti Nun. Bahkan Muhmmad sendiri tidak luput dari kritik al-Quran. Lihatlah dalam surat Abasa, Muhmmad benar-benar dihardik oleh al-Quran. Kalau Muhammad ikut campur dalam pewahyuan al-Quran, maka sangat mungkin ayat tersebut tidak akan disampaikan kepada umatnya. Tetapi karena tak ada peran apapun, Muhammad sampaikan apa adanya.

Kritik yang dilayangkan Yudian pada propagandis hermeneutika menjadi bukti bahwa kompetisi keilmun yang dilayangkan Yudian berbasiskan teori yang tidak serampangan. Yudian menyuguhkan dengan penuh percaya diri, sehingga kajiannya lengkap dengan pertanggungjawaban ilmiahnya. Ini menjadi catatan penting bagi propagandis hermeneutika agar mengkaji kembali pemikirannya, sehingga bisa dipetanggungjawabkan secara ilmiah, tidak sekedar comotisme.