Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?

Judul: Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?
Penulis: APE Korver
Penerbit: Grafitipers, 1985
Tebal: 291 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok Kosong

Buku ini semula adalah disertasi Korver pada Universitas Amsterdam (Belanda), tahun 1982. Pokok bahasan buku ini adalah peran Sarekat Islam (SI), dalam membangun emansipasi politik bagi pribumi, untuk meningkatkan harga diri mereka sebagai bangsa terjajah. Dan pada gilirannya tersemai pula benih-benih nasionalisme di awal Abad 20.

Ruang lingkup tulisan ini adalah Sarekat Islam periode 1912-1916, saat mulai munculnya figur Tjokroaminoto (ejaan sekarang: Cokroaminoto), menggantikan figur yang lebih tua, yakni Samanhudi. Tahun-tahun 1912-1916 adalah puncak kepemimpinan Tjoroaminoto, sebelum muncul tokoh-tokoh muda yang lebih radikal, seperti Semaoen dan Mas Marco. Dua tokoh terakhir ini baru muncul pada tahun 1917, dan mulai mengimbangi figur Tjokroaminoto.

Begitu kuatnya figur Tjokroaminoto, sehingga Tjokroaminoto dan beberapa tokoh SI lainnya di masa itu, di beberapa tempat acapkali dianggap sebagai Ratu Adil (mesiah). Ratu Adil adalah konsep mesianistis yang sejak lama muncul di Nusantara (khususnya di Jawa), sebagai wujud kerinduan terhadap sosok atau kekuatan,  yang bisa melepaskan diri dari segala penderitaan.

Gerakan emansipasi yang diperkenalkan oleh SI, beserta anggapan Ratu Adil, dalam praktik di lapangan bisa menjadikan warga, yang berafiliasi pada SI, menjadi berani untuk menentang kerja rodi atau pungutan pajak yang diterapkan pemerintah kolonial. Termasuk berani pula menentang kesewenang-wenangan sewa tanah yang dilakukan perusahaan swasta, utamanya pabrik gula, yang menawar harga tanah pribumi dengan harga sangat rendah, dan jangka waktu yang seolah tanpa batas.

Kutipan:
“Demikian juga perjuangan Sarekat Islam melawan penjajahan asing sejalan dengan perjuangan sosialisme, karena hilangnya Indonesia merupakan pukulan yang berat bagi kapitalisme Belanda.”
(Semaoen, dikutip oleh Korver: halaman 62)

“Penduduk desa merasa seperti dipaksa berbagai kepala desa dan kecamatan untuk menyerahkan sawah mereka kepada pabrik-pabrik gula. Mereka membela kepentingan pabrik-pabrik, hingga rakyat desa menganggap mereka sebagai agen perkebunan.”
(Tjokroaminoto, dikutip oleh Korver: hal 112)