Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

gambar
Rp.60.000,- Rp.40.000 Diskon
Judul: Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Gramedia, 2015
Tebal: 250 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Segel)

Dengan hati berat aku tulis surat ini untuk kalian. Belum sepatutnya pada kalian diajukan suatu berita yang mengguncangkan, memilukan, menakutkan, dan menyuramkan. (hal. 3)

Demikian Pramoedya mengawali catatan ini. Catatan ini disusun berdasarkan keterangan teman-teman sepembuangan Pramoedya di Pulau Buru, serta hasil pelacakan mereka terhadap para budak seks (jugun ianfu) setelah ditinggalkan begitu saja di Pulau Buru, segera setelah Jepang menyerah pada tahun 1945. Mereka, perempuan-perempuan yang diambil baik secara paksa atau sukarela oleh Jepang itu dari keluarganya dengan janji akan disekolahkan ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Janji itu dihembuskan pertama kali pada tahun 1943 dari kekuasaan tertinggi di Jawa- Pemerintah Balantentara Pendudukan Dai Nippon. Janji yang tidak pernah dicatat melalui harian atau barang cetakan lain, hanya berupa desas-desus. Dari catatan yang terkumpul, para perawan itu berusia kurang dari 15-17 tahun, berasal dari kota besar, madya, atau kecil, atau dari kampung dan desa yang ada di dalam kawasan kota. Sebagian besar justru merupakan putri dari para pembesar jawa dan pejabat pemerintah lainnya. Propaganda itu ditangani oleh Sendebu dan diteruskan kepada Pangreh Praja, Camat, Lurah, dan perangkat desa dengan konsekuensi mereka harus memberi contoh kepada rakyat demi keselamatan jabatan, pangkat, dan keluarga.

Setelah Jepang kalah dalam perang dunia II pada Agustus 1945, para perawan yang ternyata tidak jadi berangkat ke Tokyo atau Shonanto sesuai Janji tetapi malah ditempatkan di Tempat Pengepolan ditelantarkan begitu saja, tanpa pesangon, tanpa fasilitas dan terabaikan.

Catatan ini terdiri atas dua bagian. Awalnya berisi catatan para perawan yang pernah ditemui, seperti nama keluarga dan asal daerah. Bagian kedua, cerita mengenai para nara sumber yang bercerita tentang pengalamannya ketika menjejak keberadaan para perempuan ini, salah satunya adalah Bu Mulyati, perempuan asal Klaten.

Dalam kondisi pembuangannya di Pulau Buru, Pram bersama kawan-kawannya mencari jejak seorang wanita Jawa yang menjadi korban "penipuan" tentara Jepang. Mereka yang menjadi korban adalah gadis-gadis pribumi berparas cantik yang terlahir dari keluarga pengreh praja/priyayi. Tentara-tentara Jepang tersebut menjanjikan pendidikan yang lebih baik di Tokyo pada gadis-gadis ini. Namun, seperti yang kita ketahui sekarang, mereka akhirnya menjadi jugun ianfu (gadis penghibur).

Salah satu daya tarik dalam bab ini adalah perjalanan seorang kawan Pram bernama Sarony dalam pencariannya menemui seorang wanita Klaten bernama Mulyati. Ia harus melewati bukit-bukit terjal, menemui suku-suku terdalam dan hidup seperti mereka. Semua itu dilakukannya hanya untuk menemui Ibu Mulyati seorang. Selain itu, gambaran Sarony tentang pulau yang dijadikan tempat pembuangan tawanan politik ini sungguh mengasyikan untuk dibaca.

"Beberapa batang pohon di tebing itu sebagian akarnya berada di permukaan tanah. Akar-akar itu berkaitan satu dengan yang lain, saling melilit, saling mempertahankan, seperti ular besar berkelahi di tepi jurang. Masing-masing berusaha menang dengan ekor tetap berpengangan mencegah jatuh ke dasar jurang.

Dedaunan dan dahan pohon meneduhi jalanan yang kami lalui. Sebagian condong ke atas air. Jutaan serangga merayap naik-turun pada batang lapuk, bekerja membangun istana baru. Sebuah mahligai yang telah mereka tinggalkan tergantung sunyi pada dahan, sebesar guci." (hal. 111)

Pada paragraf tertentu saya menjadi sedikit emosional karena pendeskripsiannya yang sangat baik dan romantis, ini salah satunya:

"Jalan setapak memasuki hutan gempol itu sedikit berair. Anggrek bulan dengan bunga birunya yang sedang mekar menggelantung dibuai angin pagi. Juga jenis anggrek bulan lain dan anggrek merpati ramai bergelantungan pada pohon gempol. Malah serumpun anggrek harimau tenang-tenang mendekam di ketinggian cabang. Bunganya yang kuning berbelang coklat serasa hendak meloncat untuk menerkam. Sayang sekali keindahan alam itu masih belum dapat dinikmati orang buangan ini. Juga tidak oleh penghuni kampung-kampung di gunung. Mereka baru bisa bicara tentang lapar." (hal. 112)

Buku ini semacam surat yang ditulis Pram kepada para perawan remaja masa depan (sekarang?) bahwa dahulu pernah ada sebuah tragedi yang memilukan, mengguncangkan, menakutkan, dan menyuramkan.
Pesan Sekarang