Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Mudik: Kumpulan Cerpen

Judul: Mudik: Kumpulan Cerpen
Penulis: Mohamad Diponegoro, Kuntowijoyo, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Achmad Munif, Yudhistira ANM Massardi, dan Mustofa W. Hasyim.
Penerbit: Bentang Budaya, 1996
Tebal: 180 halaman
Kondisi: Buku bekas (cukup)
Stok Kosong


Beberapa tahun terakhir, mudik tampaknya telah menjadi persoalan nasional, yang melibatkan hampir semua sektor kehidupan, semua lapisan sosial. Sejak jauh hari Pemerintah telah menyiapkan berbagai aparatnya untuk menyambut ledakan mudik. Berbagai perusahaan pun ikut menyambut, entah perusahaan perhotelan, perusahaan transportasi, atau perusahaan mekanik dengan bengkel kendaraan bermotornya. Hampir semua media massa, cetak ataupun elektronik, meliput peristiwa mudik, mengangkat berbagai renungan tentang maknanya, dan bahkan mencoba mengkalkulasi biaya yang dikeluarkan untuknya.

Mungkin itulah sebabnya, meskipun sedikit terlambat, penerbit Yogyakarta, Bentang Budaya, Februari ini menerbitkan kumpulan cerita pendek (cerpen) yang berjudul Mudik. Di dalamnya dimuat 10 cerpen yang dianggap menyangkut mudik dari tujuh cerpenis Indonesia, yang terbilang terkemuka: Mohamad Diponegoro, Kuntowijoyo, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Achmad Munif, Yudhistira ANM Massardi, dan Mustofa W. Hasyim.

Apabila dilihat isi cerita yang terhimpun dalam kumpulan ini, sedikitnya ditemukan tiga cara pandang terhadap mudik. Pertama, cerpen yang melihatnya dalam konteks persoalan kehidupan keluarga, seperti yang diwakili oleh Pulangnya Sebuah Keluarga Besar karya Mohamad Diponegoro, Salam Lebaran karya Hamsad, dan Lebaran Kami karya Yudhistira. Kedua, cerpen yang melihatnya dalam konteks persoalan kehidupan sosial, seperti yang diwakili oleh Malam Takbir dan Reuni karya Hamsad, Parcel karya Achmad Munif, Wangon-Jatilawang karya Ahmad Tohari, dan dua cerpen Mustofa yang masing-masing berjudul Pengangkut Sampah di Malam Takbiran dan Mudik. Ketiga, cerpen yang memusatkan perhatiannya pada konteks persoalan kehidupan religius, seperti yang terlihat pada cerpen Kuntowijoyo berjudul Hati yang Damai: Kembalilah pada Tuhan.

Tentu saja pembagian ini semata-mata didasarkan pada kecenderungan dominan. Sebagai sebuah representasi mengenai kehidupan, dunia pengalaman, sebuah cerpen sesungguhnya cenderung menghadirkan kehidupan seutuhnya, bukan mengkonseptualisasikannya secara kategoris. Karena itu, di dalam cerpen kelompok pertama akan terkandung pula persoalan yang terdapat dalam kelompok kedua dan ketiga. Demikian pula sebaliknya.

Meskipun memperlihatkan perbedaan kecenderungan dominan seperti di atas, di dalam seluruh cerpen terdapat satu hal yang dapat dipastikan sama. Semuanya mengasumsikan bahwa mudik merupakan peristiwa persatuan kembali yang memberikan kebahagiaan yang luar biasa, yang hampir menakjubkan, entah dalam konteks persatuan antar-anggota keluarga, persatuan antar-kelompok sosial, ataupun persatuan antara manusia dan Tuhannya. "Bertemu kembali dengan anak perempuannya yang telah lama lenyap, Raden Sastrodisasro "berteriak" gembira, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya," kata Mohamad Diponegoro. Masyarakat kampung, entah di mana, "Belum pernah mengira Kiai dapat begitu ramah pada lelaki yang selama ini telah mencemarkan kampungnya, tetapi yang sekarang telah bertobat," tulis Kuntowijoyo. Di Hari Lebaran, Suherman, cerita Hamsad, menemukan kebahagiaan "puncaknya" pada diri Sri yang setia menunggu. Yudhistira berkata, "Anak-anak itu tidak tahu, betapa bahagianya orangtua mereka saat itu!"

Ideologi keagamaan tentang Lebaran, ideologi sosial-budaya tentang mudik, yang semuanya menekankan paham tentang kebahagiaan untuk semua orang, rupanya meresap dalam pada para cerpenis kumpulan ini. Karena itu, cerpen-cerpen kelompok kedua kumpulan ini tiba-tiba menjadi semacam "kado" bagi yang menderita, usaha membuat mereka merasa bahagia. Pertama, mereka yang tersisih, yang dianggap tak bahagia itu, dianggap sebagai makhluk mulia, jujur, dan dekat pada Tuhan, meski secara ekonomi, sosial, politik, mereka tercampak. Inilah yang diutarakan Mustofa dan Tohari. Kedua, selalu ada jalan bagi mereka untuk memperoleh kebahagiaan apabila mereka mau bersabar, mengalah, dan taat pada tatanan hidup bersama. Inilah yang disampaikan Hamsad dengan Malam Takbir, Kuntowijoyo dengan Hati yang Damai. Mustofa dengan Mudik bahkan menganggap penderitaan dan kemiskinan sebagai rahmat yang membuat manusia menjadi kreatif untuk mencari jalan lain bagi pemuas kebutuhannya.

Hanya Munif yang melihat penderitaan tanpa akhir bagi orang tersisih dan tak berkuasa di tengah kebahagiaan religius dan kultural seluruh manusia di Hari Lebaran. Tapi pandangan Munif ini pun mendua dan cenderung kabur, seperti hanya didorong oleh keinginan membangun akhir cerita yang mengejutkan. Majikan, yang setiap malam menggerayangi istri anak buahnya, seperti tampil menjadi pemaaf terhadap anak buahnya yang telah menghukum perbuatan majikan tersebut dengan memotong tangannya. Kemenangan dan kebenaran, dalam konteks Lebaran, menjadi seakan ada di tangan si majikan.

Begitulah mudik di mata cerpenis dalam kumpulan ini. Saya sendiri tak percaya sepenuhnya dengan asumsi kebahagiaan di Hari Lebaran untuk semua orang yang terkesan di dalamnya. Namun cerpen ini tetap menarik, terutama dari segi penceritaannya yang lancar. Karena soal kebahagiaan adalah soal suasana hati, cerpen kumpulan ini saya anggap sudah mengangkatnya dengan baik, terutama melalui banyaknya pelukisan suasana alam, suasana lingkungan, dan suasana tempat. Hanya cerpen Yudhis yang terasa janggal. Soal kebahagiaan diceritakan dengan cara cerita detektif yang sangat rasional-analitis. Sayang.

Dr. Faruk
Dosen Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta