Buku Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal
Judul: Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal
Penulis: Sarah Nuraini Siregar (editor) dan Tim Riset LIPI
Penerbit: Gading Inti Prima, 2012
Tebal: 291 halaman
Pemilihan umum kembali menjelang. Tahun 2013 ini telah dinobatkan sebagai tahun politik. Mengingat dalam kurun waktu sekitar satu tahun lagi, pemilu digelar secara maraton, dari pemilu legislatif tingkat daerah dan pusat sampai puncaknya, pemilihan presiden dan wakil presiden. Partai politik pun sibuk dengan persiapan masing-masing.
Di tengah persiapan itu, keterwakilan perempuan di dalam parlemen menjadi agenda penting yang tidak boleh dilupakan partai politik. Undang-Undang Pemilu mengamanatkan kepada partai politik untuk memenuh kuota minimal 30% pencalonan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif. Harapannya, banyaknya perempuan di parlemen dapat merepresentasikan regulasi yang lebih berpihak pada kaum perempuan.
Sebagai think tank demokrasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam buku ini, menyajikan hasil risetnya di empat daerah: Aceh, Ternate, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Implementasinya ternyata masih jauh dari harapan. Gerakan politik perempuan di parlemen terbentur kondisi sosio-kultural setempat, persoalan ekonomi, dan iklim parpol yang masih berwajah maskulin.
Di Aceh, kultur patriarki yang kental berselimut nilai agama menaruh perempuan di pinggir arena politik. Perempuan dilarang mengambil peran dalam aktivitas politik. Apalagi di tengah kondisi perang saudara yang lama berkecamuk di Serambi Mekkah itu. Tercatat, berdasarkan hasil pemilu periode 2009-2014, hanya ada empat perempuan atau 5,8% yang berhasil duduk di DPRD Aceh.
Tidak cukup secara kuantitatif, hanya ada satu orang yang dianggap berkualitas dan aktif memperjuangkan kepentingan perempuan Aceh. Sedangkan yang lain masih dianggap relatif pasif dalam memahami kepentingan ataupun isu-isu perempuan.
Kondisi di Aceh sebenarnya tidak lepas dari implementasi kuota 30% yang masih bersifat formalitas. Orientasi partai politik masih sekadar untuk memenuhi persyaratan yang ada. Soal kualitas jadi nomor kesekian.
Buktinya bisa dilihat pada buah kebijakan daerah yang diskriminatif dan merugikan perempuan. Misalnya pada Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Maksiat dan Qanun Jinayat, yang menerapkan sanksi hukum rajam hingga meninggal. Penerapan sanksi kepada pelaku zina itu lebih banyak memarjinalkan masyarakat Aceh yang berjenis kelamin perempuan.
Padahal, jika dilihat secara historis, Aceh pernah memiliki tokoh-tokoh perempuan yang punya peran sentral di dunia politik. Cut Nyak Dien pernah menjadi salah satu panglima perang Aceh dan dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Juga Laksamana Malahayati, yang mampu membuktikan diri memimpin beberapa pertempuran dan tampil menjadi sultanah di Aceh pada masanya.
Kembali lagi soal kultur yang dihadapkan pada hambatan perempan untuk masuk dunia politik di Papua. Seperti hambatan di daerah-daerah lain, kultur masyarakat Papua masih menaruh perempuan pada urusan sumur, kasur, dan dapur. Kedudukan perempuan di Papua masih sebagai objek milik laki-laki dan rentan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga oleh suami, meski sudah diatur sebagai pelanggaran adat.
Faktanya, Papua menjadi salah satu provinsi dengan angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tertinggi. KDRT di kota Jayapura saja mencapai 97 kasus pada 2008. Angka ini meningkat dari tahun 2007 sebanyak 67 kasus.
Dalam menyelesaikan persoalan perempuan di Papua, lima perempuan anggota DPR periode 2009-2014 itu cukup memiliki pengaruh. Tiga dari lima perempuan itu menempati jabatan strategis: Hagar Magay menjadi Sekretaris Komisi E, Yanni menjadi Wakil Ketua Komisi A, dan Rosiyati Anwar menjadi Sekretaris Komisi B. Salah satu isu yang mengemuka, KDRT, pun menjadi produk legislasi dalam Peraturan Daerah Khusus tentang Pemulihan Hak Perempuan Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM.
Ketimbang membahas kinerja anggota legislatif perempuan secara kualitatif, dalam buku ini, LIPI tampaknya terjebak pada ukuran-ukuran kuantitatif persentase jumlah perempuan di parlemen. Sehingga porsi untuk memperdalam kinerja anggota legislatif terpangkas hanya pada produk-produk legislatif soal perempuan yang dihasilkan. Kesempatan untuk memperdalam substansi keberpihakan produk-produk itu pada kepentingan perempuan pun terpinggirkan.
Taufiqurrohman
Penulis: Sarah Nuraini Siregar (editor) dan Tim Riset LIPI
Penerbit: Gading Inti Prima, 2012
Tebal: 291 halaman
Pemilihan umum kembali menjelang. Tahun 2013 ini telah dinobatkan sebagai tahun politik. Mengingat dalam kurun waktu sekitar satu tahun lagi, pemilu digelar secara maraton, dari pemilu legislatif tingkat daerah dan pusat sampai puncaknya, pemilihan presiden dan wakil presiden. Partai politik pun sibuk dengan persiapan masing-masing.
Di tengah persiapan itu, keterwakilan perempuan di dalam parlemen menjadi agenda penting yang tidak boleh dilupakan partai politik. Undang-Undang Pemilu mengamanatkan kepada partai politik untuk memenuh kuota minimal 30% pencalonan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif. Harapannya, banyaknya perempuan di parlemen dapat merepresentasikan regulasi yang lebih berpihak pada kaum perempuan.
Sebagai think tank demokrasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam buku ini, menyajikan hasil risetnya di empat daerah: Aceh, Ternate, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Implementasinya ternyata masih jauh dari harapan. Gerakan politik perempuan di parlemen terbentur kondisi sosio-kultural setempat, persoalan ekonomi, dan iklim parpol yang masih berwajah maskulin.
Di Aceh, kultur patriarki yang kental berselimut nilai agama menaruh perempuan di pinggir arena politik. Perempuan dilarang mengambil peran dalam aktivitas politik. Apalagi di tengah kondisi perang saudara yang lama berkecamuk di Serambi Mekkah itu. Tercatat, berdasarkan hasil pemilu periode 2009-2014, hanya ada empat perempuan atau 5,8% yang berhasil duduk di DPRD Aceh.
Tidak cukup secara kuantitatif, hanya ada satu orang yang dianggap berkualitas dan aktif memperjuangkan kepentingan perempuan Aceh. Sedangkan yang lain masih dianggap relatif pasif dalam memahami kepentingan ataupun isu-isu perempuan.
Kondisi di Aceh sebenarnya tidak lepas dari implementasi kuota 30% yang masih bersifat formalitas. Orientasi partai politik masih sekadar untuk memenuhi persyaratan yang ada. Soal kualitas jadi nomor kesekian.
Buktinya bisa dilihat pada buah kebijakan daerah yang diskriminatif dan merugikan perempuan. Misalnya pada Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Maksiat dan Qanun Jinayat, yang menerapkan sanksi hukum rajam hingga meninggal. Penerapan sanksi kepada pelaku zina itu lebih banyak memarjinalkan masyarakat Aceh yang berjenis kelamin perempuan.
Padahal, jika dilihat secara historis, Aceh pernah memiliki tokoh-tokoh perempuan yang punya peran sentral di dunia politik. Cut Nyak Dien pernah menjadi salah satu panglima perang Aceh dan dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Juga Laksamana Malahayati, yang mampu membuktikan diri memimpin beberapa pertempuran dan tampil menjadi sultanah di Aceh pada masanya.
Kembali lagi soal kultur yang dihadapkan pada hambatan perempan untuk masuk dunia politik di Papua. Seperti hambatan di daerah-daerah lain, kultur masyarakat Papua masih menaruh perempuan pada urusan sumur, kasur, dan dapur. Kedudukan perempuan di Papua masih sebagai objek milik laki-laki dan rentan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga oleh suami, meski sudah diatur sebagai pelanggaran adat.
Faktanya, Papua menjadi salah satu provinsi dengan angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tertinggi. KDRT di kota Jayapura saja mencapai 97 kasus pada 2008. Angka ini meningkat dari tahun 2007 sebanyak 67 kasus.
Dalam menyelesaikan persoalan perempuan di Papua, lima perempuan anggota DPR periode 2009-2014 itu cukup memiliki pengaruh. Tiga dari lima perempuan itu menempati jabatan strategis: Hagar Magay menjadi Sekretaris Komisi E, Yanni menjadi Wakil Ketua Komisi A, dan Rosiyati Anwar menjadi Sekretaris Komisi B. Salah satu isu yang mengemuka, KDRT, pun menjadi produk legislasi dalam Peraturan Daerah Khusus tentang Pemulihan Hak Perempuan Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM.
Ketimbang membahas kinerja anggota legislatif perempuan secara kualitatif, dalam buku ini, LIPI tampaknya terjebak pada ukuran-ukuran kuantitatif persentase jumlah perempuan di parlemen. Sehingga porsi untuk memperdalam kinerja anggota legislatif terpangkas hanya pada produk-produk legislatif soal perempuan yang dihasilkan. Kesempatan untuk memperdalam substansi keberpihakan produk-produk itu pada kepentingan perempuan pun terpinggirkan.
Taufiqurrohman