Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perang Bintang 2014: Konstelasi dan Prediksi dan Pilpres

Judul: Perang Bintang 2014: Konstelasi dan Prediksi dan Pilpres
Penulis: Burhanuddin Muhtadi
Penerbit: Noura Books, 2013
Tebal: 340 halaman

Dunia perpolitikan Indonesia diramaikan oleh "rencana" pencalonan tokoh-tokoh mantan "bintang" dunia militer. Sebut saja Prabowo Subianto yang maju melalui Gerindra, Wiranto melalui Hanura, Sutioso dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Djoko Suyanto dan Pramono Edhie yang disebut-sebut maju melalui Demokrat, dan terakhir Endriartono Sutarto yang masuk ke Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Banyaknya bintang tadi mendorong Burhanuddin merilis Perang Bintang 2014. Di dalamnya, pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) itu membagi tulisannya menjadi tujuh bab. Dimulai dengan pembahasan mengenai "Konstelasi dan Kontestasi Calon Presiden (Capres) Menjelang Pilpres 2014" dan diakhiri dengan pembahasan "Urgensi Redesain Sistem Kepartaian". Tentu prospek elektoral partai dan dilema pendanaan partai di tengah pusaran korupsi tidak luput dari sorotannya.

Kamis pekan lalu, bertempat di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN), Jakarta, buku ini dibedah sejumlah narasumber. Hadir Endriartono Sutarto, Jusuf Kalla, Mahfud MD, dan Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta). Endriartono pun menjadi satu-satunya narasumber "berbintang".

Jusuf Kalla sebagai narasumber pertama mengibaratkan bursa politik menjelang pilpres 2014 bagaikan kontes grup band. Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu mengibaratkan partai sebagai grup band dan calon presiden sebagai vokalisnya. "Yang dicari, band yang baik dan penyanyi yang baik," ujar JK, sapaan akrabnya. Golkar, menurut dia, ibarat grup band besar. "Tetapi (kualitas) penyanyinya harus diperbaiki terus," tuturnya.

PDIP, menurut JK, adalah grup band yang masih tergolong besar. "Tetapi penyanyinya perlu pendampingan yang baik," katanya. Kondisi Partai Demokrat lebih parah. "Bandnya menyusut, penyanyinya nggak ada," ungkapnya. Lain halnya dengan Gerindra, grup bandnya tergolong kecil, tetapi vokalisnya dianggap pintar bernyanyi.

Fenomena Rhoma Irama beda lagi. "Ada penyanyi yang biasa nyanyi, tetapi nggak ada bandnya," katanya. Lantas, bagaimana dengan dirinya? Masih mau konser? "Tergantung yang mau dihibur. Kalau penonton masih mau dihibur, ya, nyanyi," jawabnya, diiringi tawa audiens.

Guyon ala JK itu disambut Endiartono Sutarto. "Kalau Pak JK masih cari-cari band, saya sudah ada band," katanya. Tapi, seperti diakui Endiartono, bandnya belum punya rekaman seperti Golkar dan partai-partai lain. "Termasuk kami masih sedang ngetes suara, mana orang dalam band itu yang bisa jadi vokalis," ujarnya. Memang, meskipun nama Endiartono dan Surya Paloh digadang-gadang di Nasdem, belum ada capres yang ditunjuk pasti oleh partai. Tapi ia bersyukur, dalam hasil Survei LSI, namanya termasuk yang diperhitungkan.

Sementara itu, Mahfud MD mengaku lebih banyak bernyanyi tanpa grup band. "Artinya, nyanyi-nyanyi sendiri saja, tidak pernah membuat iklan, tapi tiba-tiba (hasil riset) Saiful Muzani (dan) Burhanudin Muhtadi membuat kualitas masuk nomor satu," tuturnya. Menanggapi buku Burhanuddin ini, Mahfud melihat ada perkembangan yang baik dalam perpolitikan Indonesia. Jika pada masa Orde Baru mengusung capres di luar Soeharto dirasa tidak mungkin, maka pasca-reformasi 1998 muncul capres dengan pertimbangan elektabilitas dan akseptabilitas.

Namun, menjelang Pemilu 2014, yang dipertimbangkan menjadi capres bukan hanya popularitas, melainkan juga kualitas tokoh. Sehingga masyarakat lebih terdidik dalam memilih presiden. "Kalau dianggap menyanyi, saya dalam irama seperti itu mendidik masyarakat," katanya. Sebab, menurut Mahfud, capres harus memenuhi tiga hal, yakni kualitas, dukungan masyarakat, dan dukungan partai politik.

Saat ini, menurut dia, ada yang secara potensi punya kualitas bagus, tetapi tidak didukung kendaraan partai. Ada juga yang didukung partai, tapi kualitasnya rendah. Lalu, adakah parpol yang sudah melamar Mahfud? "Hampir semua tokohnya berbicara dalam bentuk canda, baru peluang-peluang kemungkinan," ungkapnya.

Mahfud memberi sinyal sudah siap jika ada parpol yang meminangnya. "Hak politik itu saya gunakan," katanya. Hanya saja, kalau nanti jadi dipinang, Mahfud enggan mengikuti nyanyian parpol pengusungnya. "Saya maunya band yang ikut nyanyian saya," ia melanjutkan.

Tidak mau kalah dengan perumpamaan yang dicetuskan JK, Komaruddin Hidayat menilai dunia politik saat ini ibarat langit yang "terang benderang", sehingga bintang-bintang capres jelas terlihat. "Saya ingin para bintang-bintang ini, kalau mengkristal, hendaknya terpanggil peduli untuk tampilnya orang-orang yang baik," katanya.

Namun, menurut Komaruddin, untuk mendapatkan presiden yang berkualitas, perlu ada pendidikan politik masyarakat. "Sehingga masyarakat kita disebut citizen, bukan komunal, kerumunan, gerombolan," tuturnya. Jika sampai tiba waktunya pilpres 2014 masyarakat Indonesia masih sebagai kerumunan, akan mudah terombang-ambing oleh politisi oportunis.

Perlunya pendidikan politik bagi masyarakat itu dibenarkan Burhanuddin. Pasalnya, mayoritas pemilih adalah lulusan sekolah dasar (SD). "Suka tidak suka, 60% pemilih adalah lulusan SD atau tidak lulus SD. Kita berhadapan dengan realitas. Tapi, dalam demokrasi, nilai Anda (yang sarjana) sama dengan mereka yang tidak bersekolah," katanya. Dosen fakultas ilmu sosial dan ilmu politik itu menegaskan pentingnya orang-orang yang baik masuk lingkaran parpol. "Jangan sampai partai politik dibajak oleh orang-orang yang akan merusak bangsa ini."

Sayangnya, diskusi tadi tidak membedah isi buku secara utuh. Isu seputar dilema pendanaan parpol di tengah pusaran korupsi tidak didalami. Padahal, tema itu didedah habis sampai 37 halaman. Buku ini sebenarnya kumpulan artikel Burhanuddin yang pernah diterbitkan 12 media dalam kurun waktu Januari 2009 hingga Desember 2012. Diskusi itu juga menjadi kenduri perpisahan Burhanuddin yang hendak melanjutkan studi di Australia.

Ade Faizal Alami