Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa

Judul: Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa
Penulis: Singgih Nugroho
Penerbit: Syarikat, 2008
Tebal: 349 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 70.000 (belum ongkir)
Order: SMS 085225918312


Agama dan politik seringkali sulit dipahami tali-temalinya, karena wajahnya sering terbungkus dalam aneka ragam fenomena. Agama adalah perangkat keyakinan yang dalam, berkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya. Keyakinan berawal dari ketundukan, bukan dari penundukan. Oleh karena itu, salah satu pilar agama yang penting adalah prinsip kerelaan dan prinsip tidak ada paksaan untuk beragama. Namun menjaga prinsip ini bukan hal mudah, karena dengan dalih dakwah dan jihad, seringkali prinsip tidak ada paksaan menjadi terlupakan. Dakwah sendiri bermakna ajakan, suatu bentuk mempengaruhi orang lain untuk berubah. Dari keyakinan lama menjadi keyakinan baru, dari minimal menjadi sempurna. Dakwah haruslah dilakukan dengan keteladanan, persuasi, dan dialog. 

Tetapi memahami agama hanya dari prinsip-prinsipnya, seringkali tidak memadai lagi. Karena seiring dengan terbentuknya "umat" beragama, muncul pula gejala "kuasa" di dalamnya. Dalam bahasa Max Weber, setiap agama selalu mengalami proses sistematisasi dan rasionalisasi. Sesungguhnya, agama mempunyai asal-usul sosial dan kulturalnya dan dengan demikian sisi-sisi manusiawinya. Jika dilihat secara demikian, maka apa yang saat ini disebut sesuatu ajaran yang sakral, bukan mustahil ia semula hanyalah 'kebudayaan' yang telah menempuh perjalanan historis dan sosiologis sedemikian rupa, sehingga ia lalu masuk ke dalam ranah "agama".

Masalahnya, siapa dan kepentingan apa yang bermain dalam proses "sistematisasi dan rasonalisasi" itu. Proses yang umum terjadi, menurut Weber, bahwa sesuatu yang telah menjadi kebiasaan, misalnya dari pengalaman yang ber­sifat rasional atau pun tidak rasional, dibakukan dan dianggap sebagai 'sakral'. Proses sakralisasi -atau sebaliknya, desakralisasi-- ini seringkali dite­rapkan untuk ke­untungan mereka yang me­miliki hak-hak isti­mewa. Weber mengingatkan, betapa dekatanya kebenaran dan ke(kuasa)an, atau lebih ditegaskan lagi oleh Noam Chomsky: kebenaran untuk kekuasaan (truth to power).

Kebenaran untuk kekuasaan ini ternyata diterapkan secara telanjang oleh penguasa militer "OrdeBaru", ketika memulai konsolidasi kekuasaannya pasca 1965 dan demikian pula untuk masa-masa selanjutnya. Intinya, penguasa militer menggunakan agama sebagai alat kontrol bagi semua musuh-politik aktual maupun potensialnya. Tak jarang penguasa menyerap atau mencuri "kebenaran" dari agama-agama dominan, kemudian digunakan sebagai alat ampuh untuk mengontrol rakyat. Dengan demikian, rejim militer itu bertindak seolah menjadi penguasa kebenaran tunggal, selebihnya institusi agama-agama menjadi pendukung utamanya. Sejarah inkuisisi yang paling kejam terjadi, ketika penguasa "Orde Baru" yang didukung oleh agama-agama, menjadi algojo bagi ribuan bahkan jutaan warga sipil yang dianggap tidak mematuhi kebenaran yang diusungnya. "Kaum kafir-atheis" itu sah dibunuh, disiksa, dibuang dan diperlakukan diskriminatif. Bagi agama-agama, ini merupakan suatu kemenangan gemilang sebagaimana dijanjikan oleh kitab suci.

Penulis buku ini membingkai kisah "inkuisisi" ini dari studi kasus "Baptisan Massal" di sebuah kawasan desa di Salatiga. Fenomena yang umum terjadi pasca tragedi 1965 itu dikaji kembali secara kritis, bahwa perpindahan agama (yang paling umum dari Islam ke Kristen) yang dilakukan oleh para eks-tapol 1965 sesungguhnya bukanlah bentuk persaingan perebutan "umat" di antara institusi-institusi keagamaan (baca: resmi). Bagi para pelakunya, tindakan itu lebih merupakan  siasat dan perlawanan terhadap "politik agama" di tengah kerasnya politik yang represif. Memang, "politik agama" yang dioperasikan sejak "Orde Baru" dengan kekuatan koersif itu seturut dengan "rasionalitas" institusi agama-agama konvensional yang juga mempunyai "mimpi" kedigdayaan atas klaim kebenaran dan universalitasnya. Negara yang membuat kriteria agama resmi yang diakui dan agama yang tidak diakui, memaksa warga yang mempunyai keyakinan berbeda dengan kriteria negara, akhirnya menjadi obyek pengagamaan oleh institusi agama-agama "resmi" itu. Bersamaan dengan itu, proses inkuisisi dilakukan. Ukuran kebenaran yang dimiliki oleh sebuah institusi agama dihadapkan pada "ketidakbenaran" keyakinan dan institusi keagaman lain. Peneguhan kebenaran atas diri, sekaligus menganggap "sesat" atas yang lain. Dan tentu saja, negara ikut meneguhkan "penyesatan" dengan segala kekuatan apparatus yang ada. Departemen Agama, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan kementerian yang lain, menjadi apparatus penting dalam proses itu.   

"Orde Baru" yang berkuasa dan menjalankan politik kebenarannya selama 32 tahun, akhirnya tumbang. Namun "politik agama" hingga kini masih tetap berlangsung, bahkan dengan dalih yang semakin dipercanggih, yakni  "atas nama melindungi kebebasan beragama". Bagaimana mungkin melindungi kebebasan (beragama) dilakukan dengan cara mengebiri kebebasan orang lain. Pertanyaan etis semacam itu seharusnya menjadi ukuran dalam relasi-relasi "kebenaran", sehingga prinsip resiprositas dalam menilai dan bertindak dijalankan. Namun ketika pertanyaan etis itu tidak ingin dijawab, maka yang tinggal hanyalah dugaan "uji kekuatan" demi kekuasaan yang akan diraih.

Ketika warisan "orde baru" itu dijalankan oleh pemerintah pasca reformasi saat ini, maka pertanyaannya, rejim ini akan menumpuk kekuasaan sebesar apa, dan untuk apa? Pertanyaan ini sangat kuat di mata  masyarakat, yang melihat pemerintahan sekarang ini tak jauh berbeda dengan "Orde baru". Misalnya dari keengganan pemerintah untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di masa lalu, yang dapat dibaca, bahwa pemerintah saat ini membenarkan seluruh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pendahulunya.  Pertanyaan yang muncul, jika takaran yang bisa diperbandingkan, bahwa rejim "orde baru" telah berhasil melakukan pembunuhan, pembuangan, pemenjaraan dan inkuisisi atas jutaan rakyat, dengan perolehan kekuasaan yang sangat besar. Tetapi kerugian yang diakibatkan oleh "sistem" kekuasaan yang dijalankannya juga sangat besar. Apakah rejim kekuasaan yang sekarang, yang menggunakan warisan "orde baru", hanya melihat janji-janji perolehan kekuasaan pendahulunya, tanpa menghitung kerugian yang akan ditanggung oleh bangsa ini?

Tampaknya buku ini ingin mengingatkan kembali akan sebuah praktik kekuasaan otoriter yang menggunakan semua kemungkinan (bahkan yang paling kejam dan keji sekali pun) untuk memperbesar kekuasaannya, sekaligus mengingatkan kita akan kerugian yang ditanggung oleh seluruh anak bangsa ini. Bagaimana pun, tragedy 1965 yang sering masih diagung-agungkan sebagai "kemenangan" itu, merupakan titik awal kemunduran bangsa ini. Semakin pola "truth to power" itu dijalankan, dan tidak ada kemauan untuk mengoreksi kesalahan itu, maka bangsa ini akan semakin terpuruk. Bukankah ini sangat relevan untuk kita renungkan, ketika kita menapaki 100 tahun "kebangkitan nasional"?