Jual Buku Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi
Judul: Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi
Penulis: Mohammad Sobary
Penerbit: Bentang Budaya, 1995
Tebal: 246 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok kosong
Penulis: Mohammad Sobary
Penerbit: Bentang Budaya, 1995
Tebal: 246 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok kosong
Mohammad Sobary dalam buku ini ingin mengungkap peranan Agama dalam mewujudkan hubungan yang positif antara “Kesalehan” dan “Tingkah Laku Ekonomi” di Desa Suralaya. Oleh karena itu, penelitian etnografis yang dilakukannya berupaya untuk menemukan beberapa konsep kunci yang sangat penting dalam menemukan peranan agama dalam masyarakat Suralaya. Ide penelitian ini banyak terinspirasi dari teori Max Weber tentang Etika Prostestan, serta beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Clifford Geertz di Mojokuto-Jawa Timur, Siegle di Aceh dan Castle di Kudus-Jawa Tengah.
Max Weber dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, sebagaimana ulasan Sobary, menjelaskan peran yang dimainkan oleh agama, terutama etika yang menjiwai beberapa sekte Protestan tertentu, telah melahirkan asal-usul kapitalisme modern. Weber mencoba menjelaskan hakikat dan kemunculan suatu mentalitas baru, yang disebutnya semangat kapitalisme. Dia melihat semangat ini telah menggantikan tradisionalisme dalam kehidupan ekonomi. Bekerja tidaklah semata-mata untuk memperoleh uang untuk menunjang kehidupan, tetapi merupakan suatu “panggilan”: bekerja adalah tugas suci dari doktrin keagamaan yang mengantarkan pemeluk Protestan sebagai “terpilih”.
Sobary tak lupa menguraikan penelitian Clifford Geertz dalam Peddlers and Princes. Geertz mengungkap peran sentral kelas menengah muslim dalam bidang wiraswasta di Mojokuto, dimana mereka sampai tingkat tertentu juga menganut etos yang mirip dengan etos protestan di Barat. Sedangkan penelitian Siegel dalam The Rope of God banyak menggambarkan perusahaan-perusahaan suku Aceh, jaringan distribusi dan peran Islam.
Penelitian Castle dalam Religion, Politic and Economic Behaviour, juga menjadi salah satu bahan kajian Sobary sebelum meneliti Suralaya. Castle menunjukkan kelas menengah santri adalah para pengusaha yang gigih. Banyak dari mereka adalah santri puritan, yang dikenal sangat hemat, sederhana, memiliki kecendrungan sempit menilai segala sesuatu dengan kacamata uang dan berorientasi prestasi.
Sobary tertarik memilih Desa Suralaya sebagai lokasi penelitian karena desa tersebut dapat menjadi potret efek modernisasi yang digenjot sejak era Orde Baru. Desa ini terhimpit di antara dua kota besar, yaitu Jakarta dan Tangerang. Akibatnya, banyak lahan di desa tersebut dibeli oleh orang kota untuk dijadikan perumahan, lahan pertanian semakin menyempit dan bergesernya sumber penghasilan penduduk dari bidang pertanian ke sektor perdagangan dan jasa. Sobary juga mengaitkan Suralaya sebagai komunitas Betawi yang patuh terhadap ajaran Islam, demikian pula keterkaitan antara sektor pedagangan dengan ajaran Islam yang dianut oleh warga Suralaya.
Dalam penelitiannya, Sobary menemukan Guntur, seorang informan yang berpendapat bahwa dalam Islam kesalehan itu ada dua: kesalehan individu dan kesalehan social. Kesalehan individu terlihat dari keseriusannya dalam menjalakan ibadah keagamaan yang bersifat individual; shalat, zikir, wiridan, haji. Sementara kesalehan sosial adalah semua jenis kebajikan yang ditujukan kepada manusia, misalnya bekerja untuk memperoleh nafkah bagi keluarga. Informan lainnya, Haji Saptir menegaskan bahwa kesalehan adalah orang yang menyeimbangkan ushalli (shalat) dengan usaha.
Tampaknya dalam melakukan analisis, Sobary menggunakan variabel-variabel Weberian. Setelah menyorot makna kesalehan, ia juga berupaya mengulas konsep warga Suralaya tentang kerja keras, hemat, dan manifestasi ekonomi dari kehidupan perdagangan. Meski demikian, ada satu cacatan yang dikemukakan Sobary ihwal perbedaan warga Suralaya dengan penelitian Weber di Barat. Letak perbedaan signifikan adalah kegagalan warga Suralaya membentuk korporasi besar, mereka hanya puas menjadi pengusaha kecil. Sementara spirit Protestan di Barat menjadi ideologi besar yang melahirkan pengusaha kelas elite yang, bahkan, menguasi struktur ekonomi dunia.
Mengapa itu terjadi? Pertama, mereka dihadapkan keterbatasan-keterbatasan pemasaran yang berat. “Pasar” tempat mereka beroperasi sangat sempit, yakni di dalam desa mereka sendiri, sedangkan daya dukung penduduk sangat rendah. Sekuat apapun semangat keagamaan, mereka berkutat dalam ruang lingkup yang sempit. Kedua, mereka memiliki bakat, kegigihan, pengalaman lama, serta semangat berdagang. Sayang, mereka beroperasi secara perorangan, sehingga gagal mencipta korporasi sosial yang melibatkan puluhan atau ratusan pengusaha dalam menentukan arah perekonomian. Ketiga, spirit keagamaan warga Suralaya tidak sekuat sebagai “panggilan” kaum calvinis Protestan. Berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bukan sebuah panggilan suci yang menjadikan mereka bangga sebagai “terpilih”. Keempat, mereka tidak mempunyai cukup modal dan belum mempunyai kontruksi pemahaman dalam mengembangkan modal, sekalipun mereka diberi kredit modal.
Penelitian yang merupakan tesis Sobary di Universitas Monash, Australia, membuktikan bahwa tesis Weber tidak sepenuhnya bisa diterima “apa adanya”. Tesis Weber sukses karena basis penelitiaannya adalah pengusaha menengah dan atas yang mempunyai konstruksi pemikiran yang maju karena didukung basis pendidikan yang cukup memadai.
Penelitian Etnografi Sobary ini tidak luput dari kekurangan. Sejak ulasan pada latar belakang penelitian, tampak sekali bahwa ia sangat terobsesi untuk melakukan pengujian teori Weber dalam konteks Suralaya. Akibatnya, ulasan dalam penelitian ini terkesan kurang memotret keragaman realitas pandangan keagamaan ataupun motivasi ekonomi warga Suralaya. Hal ini diakui sendiri oleh Sobary dalam pengantar buku ini, bahwa sebenarnya pembimbing tesisnya kala itu, masih memintanya untuk melakukan telaah ulang yang lebih utuh terhadap gambaran masyarakat Suralaya. Sayangnya rasa jenuh telah membuatnya menyerah.