Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian

Judul: Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian
Penulis: Sartono Kartodirdjo, dkk.
Penerbit: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2002
Tebal: 535 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Jakarta


Aku ingin menuliskan dalam novelku, kisah Ratu Kalinyamat yang bukan hanya dikenal sebagai seorang perempuan dengan rambut panjang yang bertapa telanjang.

Aku justru ingin mengenangnya sebagai seorang perempuan berjiwa pemberani yang mampu melakukan tindakan besar. Bahkan dari tindakan itu kemudian membuatnya dikenang sebagai perempuan pemberani, yang anggun sekaligus agung. Yang itu semua bermula dari tatapannya pada sebuah kapal, yang pada waktu kecil dilihatnya teronggok di tepian pantai Jepara.

Kapal kayu jati besar berlapis pelat baja tebal, yang selamat kembali ke Jepara setelah bertempur mati-matian di lautan Malaka. Pertempuran yang sangat tidak seimbang, dengan kekuatan persenjataan Portugis yang lebih lengkap, berikut penemuan meriam besarnya. Membuat kapal perang Demak hanya menjadi bulang-bulanan di tengah lautan, ketika dihujani meriam dari bukit benteng pertahanan.

Kapal Demak peninggalan tahun 1512, ketika Pati Unus memimpin penyerangan terhadap Portugis yang tengah menjajah Malaka. Dan melakukan monopoli perdagangan di selat Malaka, hingga membuat terhalangnya jalur perdagangan ke benua utara yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.

Kebencian pada Portugis yang sepanjang perjalanannya selalu menebarkan peperangan, membuat Pati Unus berniat mengusirnya dari Malaka. Tentu agar tak masuk merangsek ke perairan nusantara, khususnya Kesultanan Demak, setelah menghancurkan Kesultanan Malaka, dan juga Kesulatanan Pasai.

Ratu Kalinyamat yang sejak kecil telah berada di Jepara, terpesona dengan kapal tua itu. Kapal yang konon, atas perintah Pati Unus sendiri sengaja tak boleh diperbaiki, dibiarkan apa adanya, seolah sebagai prasasti tentang penyerangan Demak ke Malaka. Sebuah monumen keberanian dan keperkasaan Demak dalam menghadang keangkaramurkaan Portugis.

Kapal yang dalam pandangan Ratu Kalinyamat membuat jiwanya terpanggil untuk meneruskan semangat Pati Unus. Hingga setelah beranjak dewasa dan berkuasa atas Demak dan juga Jepara, benar-benar ingin meneruskan amanat Sultan Demak kedua itu. Yakni menjaga ketentraman dan keamanan Jawa, dari serangan Portugis yang hendak menjarah rempah-rempah nusantara.

Maka setelah pergolakan kekuasaan di Demak reda, pasca mangkatnya Prawoto dan juga Penangsang, Ratu Kalinyamat menunjukkan kehebatannya. Menjadi seorang perempuan yang mampu memajukan Jepara sebagai kota pelabuhan yang ramai sebagai jalur perdagangan, berikut galangan-galangan kapalnya yang terkenal, juga berkuasa mengembalikan kejayaan Demak di bidang kelautan. Tentu setelah Demak runtuh akibat pergolakan, dan takhta pun kemudian dipindah oleh Joko Tingkir ke Pajang di pedalaman selatan, yang menjadi semakin abai dengan bidang kelautan.

Maka tercatat dalam sejarah, Ratu Kalinyamat berhasil  memulihkan kejayaan maritim Demak di Jepara. Hingga setahun setelah pergolakan Demak, yakni pada tahun 1551, Jepara mampu memberangkatkan 40 kapal perangnya ke Malaka, dengan kekuatan 5.000 prajurit. Membantu Kesultanan Johor yang hendak menggempur Portugis yang telah menghancurkan kerajaannya dengan total 200 kapal perang.

Peperangan yang kembali gagal untuk mengusir Portugis. Bahkan 200 prajurit Jepara gugur di lautan. Hampir seluruh perbekalan dan persenjataan jatuh ke tangan musuh. Dan ketika tiba-tiba badai datang, 20 kapal perang Jepara terdampar di pantai dan menjadi jarahan Portugis. Tak lebih dari separoh kapal yang bisa menyelamatkan diri dan kembali ke Jepara.

Namun walau telah mengalami kegagalan, Ratu Kalinyamat tidak patah arang. Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1574, Jepara telah berhasil memulihkan kekuatan. Penyerangan ke Malaka yang bekerja sama dengan Kesultanan Aceh kembali digelar. Dengan armada yang jauh lebih besar, yakni 300 kapal layar. Berikut ribuan prajurit pilihan, yang dilengkapi perbekalan mesiu dan meriam.

Tapi karena terjadi keterlambatan sampai di Malaka, akhirnya penyerbuan pun mengalami kegagalan kembali. Sebab ketika armada perang Aceh tengah mulai menggempur Portugis, kapal dari Jepara tak kunjung datang. Padahal dalam berita Portugis, seandainya prajurit Aceh dan Jepara waktu itu bersama-sama menyerang, maka kehancuran Portugis di Malaka tak bisa dihindarkan. Hingga ketika pasukan Jepara sampai Malaka, kembali menjadi bulan-bulanan Portugis.

Begitulah salah satu penggal kisah Ratu Kalinyamat, yang sempat kubaca dari buku “Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta”. Sebuah buku kumpulan tulisan dari pakar-pakar sejarah sebagai persembahan bagi Teuku Ibrahim Alfian, ketika sang sejarawan itu berulang tahun ke 70, pada tahun 2000.

Maka menurutku, dari 2 kali penyerangan ke Malaka tersebut, membuktikan bahwa Ratu Kalinyamat adalah seorang perempuan yang hebat dan sangat berkuasa. Sebab meskipun gagal menggempur Portugis, sesungguhnya orang-orang Portugis sendiri mengakui kebesarannya. Dalam bukunya “Da Asia”, Diego de Couto meberikan gelar “Rainha da Japara, senhora ponderosa e rica”, yang berarti Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa. Sementara dari sumber Portugis resmi, diberinya julukan “De Kranige Dame”, atau seorang perempuan yang pemberani.”

Sebuah gelar dan julukan penuh penghormatan, yang justru datang dari pihak lawan. Maka sungguh aneh kalau kita sendiri, malah mengenangnya hanya sekadar sebagai seorang perempuan berambut panjang yang bertapa telanjang. Apa ini bukan justru penghinaan, bahkan pelecehan?

oleh Nassirun Purwokartun