Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Berguru ke Kiai Bule: Serba-serbi Kehidupan Santri di Barat

Judul: Berguru ke Kiai Bule: Serba-serbi Kehidupan Santri di Barat
Penulis: Sumanto Al Qurtuby, dkk.
Penerbit: Nourabooks, 2013
Tebal: 319 halaman


Anak pesantren tak jarang terstigma dengan kekakuan, kekolotan, dan keterbelakangan. Sumanto Al Qurtuby mengakuinya. Tapi stigma itu barangkali dihasilkan dari pembacaan yang digeneralisasi semata. Bersama 13 rekannya, Sumanto --doktor lulusan Universitas Boston. Amerika Serikat-- membalik pembacaan sumbang itu dengan memaparkan fakta menarik bahwa anak pesantren mampu menembus dan berprestasi di perguruan tinggi Barat. Anak-anak jebolan pesantren lalu menimba ilmu keislaman di negara sekuler.

Sebuah kebanggaan atau kemelencengan? Cap kemelencengan itu muncul karena ketertutupan sikap pada dunia luar. Barat dijelmakan sebagai negara non-muslim alias "kafir", yang serta-merta mengakibatkan seluruh prasarana penunjang kehidupan muslim menjadi barang mahal.

Belajar Islam di universitas di negara "kafir" seperti memberikan perspektif buram bahwa anak-anak pesantren yang masih "suci" pemikiran keislamannya itu lantas harus berguru kepada profesor orientalis ("kiai bule"); terkesan kontradiktif dan tak wajar. Dan sebagian dari kita menganggap para kiai bule sebagai musuh Islam karena beberapa menghasilkan formula berpikir yang dianggap merusak tatanan Islam.

Maka, dengan anak pesantren yang berguru ke kiai bule itu, sebagian dari kita menduga, mereka akan diracuni pemikiran sucinya dan atau dipersiapkan sebagai agen perusak Islam dari dalam. Dugaan yang didasarkan pada sentimen anti-Barat terlebih dahulu menjadi harus dipertanyakan ulang setelah membaca 14 catatan mondok mereka di Barat.

Sumanto menggarisbawahi soal kiai bule; dengan menemukan terlalu banyak orientalis yang bersikap objektif. Mereka adalah begawan ilmu keislaman di Barat yang patut dijadikan sebagai kiai berdasarkan kontribusi pemikirannya yang besar dalam menilai Islam sebagai agama dan peradaban dengan jernih, tanpa membabi buta atau melecehkan. Pandangan mereka adalah pandangan berimbang dan berangkat atas dasar penghormatan pada Islam.

Universitas-universitas di Barat terlalu lengkap menyajikan sumber-sumber referensi keislaman klasik sampai kontemporer. Alasan lain mereka nyantri di Barat adalah adanya suasana kebebasan berpikir akademis dan kekayaan metodologi, yang mengedepankan analisis, bukan menghafal teks.

Barat adalah sekuler, dan sekuler dianggap musuh agama. Tapi Amerika Serikat dan beberapa negara Barat lainnya membawa fakta bahwa agama bisa berkembang dengan baik. Ekspresi keagamaan dalam bentuk apa pun diperkenankan. Maka, di Amerika Serikat, para santri tersebut masih leluasa menggelar tahlilan, merayakan Maulid Nabi, dan laku tarikat sufi. Jemaat Ahmadiyah juga terlalu aman di negara sekuler. Berbeda dengan di beberapa negara Timur Tengah, gerakan Hizbut Tahrir di Inggris berkembang pesat.

Karena hidup dalam nuansa kesekuleran dan pluralitas, dengan artian, santri-santri itu hidup berdampingan aman dan tenteram dengan pelbagai masyarakat yang beraneka ragam. Mereka bertetangga dengan orang Meksiko, sekampus bersama penganut Ahmadiyah, berteman akrab dengan profesor Kristen dan Yahudi, dan tinggal di lingkungan agnostik. Warna-warni itu dijadikan sebagai landasan hidup untuk saling menghormati dan menerima perbedaan sebagai keniscayaan.

Kehidupan keagamaan yang egaliter seperti itulah, sekembali mereka ke Tanah Air, menjadi potret ideal pelaksanaan atas kebinekaan Indonesia. Mereka akan membela Ahmadiyah berdasarkan kemanusiaan, memperjuangkan hak kesempatan beribadah semua golongan, dan menolak perda syariah karena sarat dengan muatan politis. Namun langkah seperti ini menjadi alibi sebagian pihak untuk menyuarakan sinis: begitulah hasil nyata jika nyantri di Barat.

Jika pemikir muslim Mesir, Muhammad Abduh, di Paris berujar: di sini saya menjumpai Islam (kehidupan islami), padahal jarang umat Islamnya, tapi saya justru tidak mendapatkan Islam (kehidupan Islami) di negara yang berpenduduk mayoritas muslim (Mesir). Maka, para santri seperti hendak mengulangi keprihatinan Abduh.

Ironisnya, hal itu terjadi di Indonesia. Para santri sering dicap sebagai perusak Islam karena pemikiran keislamannya yang dianggap liberal. Padahal, mereka penyambung dua kutub yang selama ini dikesankan bertempur: Barat dan Islam. Potret nyantri di Barat adalah pembuktian bahwa tidak ada benturan peradaban, justru keduanya saling mengisi; sebuah penegasian atas tesis Samuel Huntington perihal clash civilization.

Muhammad Itsbatun Najih
Aktivis Forum Studi Arab dan Islam (FSAI), Yogyakarta