Nation in Trap: Menangkal Bunuh Diri Negara dan Dunia Tahun 2020
Judul: Nation in Trap, Menangkal Bunuh Diri Negara dan Dunia Tahun 2020
Penulis: Effendi Siradjuddin
Penerbit: Esir Institute & Pustaka Pelajar, 2012
Tebal: 432 halaman
Beginilah gagasan seseorang yang telah menelisik berbagai literatur, menyerap banyak informasi, lalu gelisah melihat silang sengkarut masalah yang membelit dunia. Usaha mencerna persoalan --yang tingkat kerumitannya sudah sampai tingkat dewa pun-- berujung pada strategi pemecahan yang penuh tanda tanya. Bila ada detail yang terlewat, begitu pula solusi yang belum jelas cara pelaksanaannya, maka masih tersedia undangan untuk mendiskusikannya.
Buku ini memaparkan kegagalan negara menghadapi ancaman krisis multidimensi, mulai energi, pangan, lingkungan, demografis, hingga utang. Dunia akan masuk masuk dalam fenomena nation in trap. Banyak bangsa yang terjebak dalam kumparan permasalahan dan tidak mampu mengatasinya. Contohnya, Amerika Serikat yang terjerumus dalam perangkap utang, yang digunakan untuk membiayai perang, demi dominasi akses minyak di Timur Tengah dan Afrika. Lalu krisis di zona euro, yang menandakan suatu negara tidak lagi berdaulat secara ekonomi.
Walau perangkap sudah mengancam di depan mata, masih saja ada negara yang terus menjalankan roda pemerintahan dengan pola bussiness as usual. Mereka masih terus rakus mengeksploitasi sumber daya alam dan abai dengan keseimbangan ekologi. Hanya demi memuaskan nafsu segelintir orang yang duduk di puncak piramida ekonomi global.
Untuk mengatasi seabrek persoalan rumit tersebut, buku ini menyodorkan konsep dan strategi pemecahan agar tidak tergelincir dalam nation in trap. Diawali dengan state entrepreneurialism, atau dipahami sebagai kewirausahaan yang berlaku secara nasional. Idealnya, tiap warga negara menjadi pengusaha, bukan pekerja dari orang lain. Jika tidak, ibarat memelihara buaya kapitalisme, ia akan memangsa tuannya.
Solusi penunjang yang lain adalah gagasan mengenai pemerintahan partisipatif melalui rekruitmen politik "3 in 1". Secara ringkas, pemerintahan "3 in 1" itu menghendaki konsep trias politica diganti. Eksekutif-legislatif-yudikatif dipandang sebagai kutub kekuasaan yang saling menjegal sehingga menghambat kemajuan negara.
Pemikiran ini bisa dipahami sebagai kehendak untuk sistem pemilu yang hanya menyodorkan partai. Pemenang pemilu itulah yang nantinya akan menjalankan peran eksekutif-legislatif-yudikatif. Rekrutmen politik harus dilakukan demi menopang rasa keadilan dan asas kebersamaan, serta ada jaminan bahwa pendelegasian kekuasaan kepada penyelenggara negara tidak disalahgunakan.
Check and balance terhadap penyelenggaraan negara dilakukan langsung oleh rakyat, berdasarkan pada program-program yang sudah tersosialisasi sebelum pemilihan. Pasca terpilih, rakyat tetap berperan sebagai pelaku check and balance pemerintahan "3 in 1", yang bisa dilakukan secara digital.
Terlepas dari segala kritik dan deskripsi tentang buruknya peradaban modern yang sebelumnya telah dijabarkan, buku ini begitu mengapresiasi kemajuan di bidang teknologi, informasi, dan telekomunikasi. Akses internet telah mempermudah interaksi dan mengubah pola komunikasi, sehingga tidak searah lagi (top-down), melainkan timbal-balik (top-down dan bottom-up).
Buku ini juga menawarkan lembaga kontrol berupa komite nasional yang terbagi dalam komisi-komisi. Komite nantinya akan diisi oleh akademisi, pebisnis, tokoh masyarakat. Tugasnya membantu rakyat mengawasi teknis operasional jalannya pemerintahan.
Sebagai upaya menanam paradigma baru, maka kritik dan strategi yang disodorkan patut dipertimbangkan. Sayangnya mekanisme transisi menuju implementasi ide-ide besar tersebut tidak dikupas tuntas. Masih terbuka pertanyaan tentang siapa agen perubahan yang memulai. Bagaimana perubahan konstitusi dilakukan tanpa memicu gejolak dari berbagai kelompok dan ideologi yang minus kompromi.
Cavin R. Manuputty
Penulis: Effendi Siradjuddin
Penerbit: Esir Institute & Pustaka Pelajar, 2012
Tebal: 432 halaman
Beginilah gagasan seseorang yang telah menelisik berbagai literatur, menyerap banyak informasi, lalu gelisah melihat silang sengkarut masalah yang membelit dunia. Usaha mencerna persoalan --yang tingkat kerumitannya sudah sampai tingkat dewa pun-- berujung pada strategi pemecahan yang penuh tanda tanya. Bila ada detail yang terlewat, begitu pula solusi yang belum jelas cara pelaksanaannya, maka masih tersedia undangan untuk mendiskusikannya.
Buku ini memaparkan kegagalan negara menghadapi ancaman krisis multidimensi, mulai energi, pangan, lingkungan, demografis, hingga utang. Dunia akan masuk masuk dalam fenomena nation in trap. Banyak bangsa yang terjebak dalam kumparan permasalahan dan tidak mampu mengatasinya. Contohnya, Amerika Serikat yang terjerumus dalam perangkap utang, yang digunakan untuk membiayai perang, demi dominasi akses minyak di Timur Tengah dan Afrika. Lalu krisis di zona euro, yang menandakan suatu negara tidak lagi berdaulat secara ekonomi.
Walau perangkap sudah mengancam di depan mata, masih saja ada negara yang terus menjalankan roda pemerintahan dengan pola bussiness as usual. Mereka masih terus rakus mengeksploitasi sumber daya alam dan abai dengan keseimbangan ekologi. Hanya demi memuaskan nafsu segelintir orang yang duduk di puncak piramida ekonomi global.
Untuk mengatasi seabrek persoalan rumit tersebut, buku ini menyodorkan konsep dan strategi pemecahan agar tidak tergelincir dalam nation in trap. Diawali dengan state entrepreneurialism, atau dipahami sebagai kewirausahaan yang berlaku secara nasional. Idealnya, tiap warga negara menjadi pengusaha, bukan pekerja dari orang lain. Jika tidak, ibarat memelihara buaya kapitalisme, ia akan memangsa tuannya.
Solusi penunjang yang lain adalah gagasan mengenai pemerintahan partisipatif melalui rekruitmen politik "3 in 1". Secara ringkas, pemerintahan "3 in 1" itu menghendaki konsep trias politica diganti. Eksekutif-legislatif-yudikatif dipandang sebagai kutub kekuasaan yang saling menjegal sehingga menghambat kemajuan negara.
Pemikiran ini bisa dipahami sebagai kehendak untuk sistem pemilu yang hanya menyodorkan partai. Pemenang pemilu itulah yang nantinya akan menjalankan peran eksekutif-legislatif-yudikatif. Rekrutmen politik harus dilakukan demi menopang rasa keadilan dan asas kebersamaan, serta ada jaminan bahwa pendelegasian kekuasaan kepada penyelenggara negara tidak disalahgunakan.
Check and balance terhadap penyelenggaraan negara dilakukan langsung oleh rakyat, berdasarkan pada program-program yang sudah tersosialisasi sebelum pemilihan. Pasca terpilih, rakyat tetap berperan sebagai pelaku check and balance pemerintahan "3 in 1", yang bisa dilakukan secara digital.
Terlepas dari segala kritik dan deskripsi tentang buruknya peradaban modern yang sebelumnya telah dijabarkan, buku ini begitu mengapresiasi kemajuan di bidang teknologi, informasi, dan telekomunikasi. Akses internet telah mempermudah interaksi dan mengubah pola komunikasi, sehingga tidak searah lagi (top-down), melainkan timbal-balik (top-down dan bottom-up).
Buku ini juga menawarkan lembaga kontrol berupa komite nasional yang terbagi dalam komisi-komisi. Komite nantinya akan diisi oleh akademisi, pebisnis, tokoh masyarakat. Tugasnya membantu rakyat mengawasi teknis operasional jalannya pemerintahan.
Sebagai upaya menanam paradigma baru, maka kritik dan strategi yang disodorkan patut dipertimbangkan. Sayangnya mekanisme transisi menuju implementasi ide-ide besar tersebut tidak dikupas tuntas. Masih terbuka pertanyaan tentang siapa agen perubahan yang memulai. Bagaimana perubahan konstitusi dilakukan tanpa memicu gejolak dari berbagai kelompok dan ideologi yang minus kompromi.
Cavin R. Manuputty