Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Oples (Opini Plesetan)

Judul: Oples (Opini Plesetan)
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Mizan, 1995
Tebal: 350 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312 


Emha Ainun Nadjib alias Muhammad Ainun Nadjib adalah sebuah nama yang sangat indikatif untuk dunia yang digeluti ''kiai mbeling'' dari Jombang ini. Hampir semua aktivitas dan kreativitasnya memang layak mendapat pujian. Dia melihat persoalan sosial-politik-ekonomi-budaya dengan mata sang mulia ('ain al-najib, Ainun Nadjib). Hasilnya adalah sebuah gaya yang khas: tajam, nakal, jenaka, tak terduga, menyudutkan, dan menggemaskan juga sambil berusaha menarik ''garis putih'' dari benang kusut realitas sosial-politik-ekonomi-budaya yang dilihatnya.

Opini Plesetan membuktikan kemungkinan itu. Kumpulan tulisan yang semula dipublikasikan melalui tabloid DeTik ini sarat dengan persoalan sosial-politik-ekonomi yang sangat berisik. Itu ditulis mengiringi berbagai peristiwa yang tengah berlangsung. Karena itu, membacanya kembali, kita akan merasa sedikit kehilangan konteks dan aktualitas. Tapi bagaimanapun pesan moral dan kritik sosialnya memiliki relevansi yang tak akan pernah kering.

Emha Ainun Nadjib tak pernah lelah mencari ''air sang mulia'' dari kubangan waduk sejarah yang tampaknya lebih banyak diwarnai ''imajinasi politik atau kebudayaan''. Yakni kenyataan dalam angan-angan yang diyakini ada sehingga sedemikian rupa membentuk perilaku politik dan budaya. Pencekalan yang dialaminya membuktikan bahwa sejarah kita kini memang bekerja dengan ''imajinasi politik'': kehadirannya menjadi ancaman bagi stabilitas nasional, tanpa bukti sedikit pun.

Tapi Emha Ainun Nadjib adalah entitas kebudayaan yang berada di tengah sekian garis malang-melintang kebudayaan itu sendiri. Maka suatu kali bisa juga ia terperangkap dalam kerja ''imajinasi kebudayaan''. Lihatlah ketika dia bersama ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) berusaha menangani masalah Kedungombo. Dia melihat ICMI pertama-tama dengan ''imajinasi kebudayaan'': ICMI adalah sebuah organisasi besar, besar sekali bahkan yang pasti mampu menyelesaikan masalah Kedungombo.

Tapi ternyata gagal. Ketidakmampuan ICMI menangani masalah Kedungombo membuktikan bahwa pandangan mengenai ICMI sebagai ''organisasi besar'' adalah sebuah imajinasi. Lalu ''imajinasi kebudayaan'' tentang ICMI pun runtuh. Bahwa sebesar-besar ICMI tak kan sebesar kisaran kebesaran lain di sekitarnya. Oleh karena itu, terhadap kebesaran sesuatu kiranya perlu juga segera didesakkan keterbatasan yang mungkin membuatnya kerdil.

Bagaimanapun kerja sebuah ''imajinasi kebudayaan'' mengandung risiko. Terlalu jauh hanyut dalam asumsi-asumsi imajinatif tentang sesuatu akan menimbulkan beban problematis begitu tersadarkan bahwa ia benar-benar imajinatif belaka. Sikap Cak Nun panggilan akrab Emha Ainun Nadjib mundur dari ICMI untuk sebagian merupakan sebuah risiko dari kerja ''imajinasi kebudayaan''-nya sendiri.

Tapi Cak Nun punya cara sendiri juga dalam mengambil posisi di tengah persoalan yang tengah berlangsung. Kalau persoalan itu secara sederhana dipetakan ke dalam kerangka negara (state) dan kerangka masyarakat (civil society), tampak ada dua posisi yang diambilnya dengan cara yang berbeda.

Menghadapi persoalan masyarakat, Cak Nun jelas mengambil posisi di tengah jantung kehidupan mereka dengan pandangan ''mata yang mulia''. Ia seolah menjadi personifikasi yang sangat definitif bagi keberanian sejarah di tengah kawah sosial yang menggelegak. Ia melihat persoalan masyarakat dengan mata hati mereka sendiri.

Dalam pada itu, keterlibatannya di ICMI untuk sebagian menjelaskan kemungkinan yang ditempuhnya guna melihat persoalan negara melalui sisi-dalam negara juga. Tapi tampaknya masyarakat telah menjadi darah dagingnya sendiri. Maka dalam berusaha melihat persoalan negara dari mata hati negara, Cak Nun menghadapi hambatan psikologis dan akhirnya memilih untuk melihatnya dari kubangan sejarah masyarakat yang carut-marut.

Konsekuensi dari posisi ini antara lain adalah rendahnya posisi tawar Cak Nun dalam kancah politik bahkan pun untuk sekadar didengar. Mungkin karena itulah dalam Oples, Cak Nun seolah mempersonifikasikan diri sebagai Togog, tokoh pewayangan yang tugas utamanya adalah menyampaikan saran dan kritik meski tak pernah didengar. Tapi dia terus-menerus melontarkan kritik. Tak bosan-bosan.

Maka dalam kancah politik, fungsi Cak Nun tampaknya memang persis sama dengan Togog, tapi hasil pergulatannya secara dialektis dapat dilihat dalam pergumulan budaya. Misalnya dalam proses demokratisasi. Tampaknya kita harus segera meragukan bahwa suaranya tak pernah didengar. Sebab meskipun samar-samar, ada begitu banyak pantulan suaranya dari cermin politik yang berisik dalam carut-marut genangan sejarah masyarakat yang seringkali begitu pedih. Dan itu cukup terpuji untuk pandangan mata yang mulia -Muhammad 'Ain al-Nadjib.

Oleh: Jamal D. Rahman, Bekas redaktur Islamika OPLES (OPINI PLESETAN)