Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Pengarang Tidak Mati

Judul: Pengarang Tidak Mati
Penulis: Maman S. Mahayana
Penerbit: Nuansa, 2012
Tebal: 352 halaman

Dalam The Death of the Author, Roland Barthes menyatakan, ketika sebuah teks hasil karya pengarang sudah sampai di tangan pembaca, pengarang tak diperlukan lagi. Begitulah caranya pengarang dianggap sudah mati. "Kita harus memberi ruang pada tulisan dan membuang mitos bahwa lahirnya pembaca harus dibayar dengan matinya sang pengarang," tulis Barthes.

Maman S. Mahayana, kritikus sastra Indonesia yang produktif, lewat buku terbarunya ini secara frontal menampik pandangan Barthes tadi. Penolakan Maman tentu bukannya tak beralasan. Dia menelaah pentingnya keberadaan pengarang dalam konteks perjalanan sastra Indonesia yang cukup panjang. Diawali munculnya cerita-cerita mitos dan legenda yang cukup merakyat dari berbagai wilayah budaya, seperti Sangkuriang (Pasundan, Sunda), Roro Jonggrang (Jawa), Malin Kundang (Minangkabau), dan masih banyak lagi.

Hampir semua kisah lama itu tak dikenal lagi siapa nama pengarangnya (anonim). Tapi, dari nilai lokalitas berdasarkan locus cerita dan setting budaya, orang tak perlu memburu siapa yang menghasilkan karya itu. Boleh jadi, para pengarang anonimus itu tak perlu dicari karena nilai kesejarahan dan apresiasi masyarakat sudah terpatri di lubuk hati yang dalam. Bahkan legenda tersebut menjadi simbol identitas bagi masyarakat budaya masing-masing.

Namun, dalam kelahiran sastra modern, penabalaan nama pengarang menjadi sebuah keniscayaan. Pada bagian ini, pandangan Maman sejalan dengan Michel Foucault yang mengatakan, "... Wacana 'sastra' dapat diterima apabila nama penulisnya dicantumkan. Setiap teks puisi atau fiksi berkewajiban untuk mencantumkan penulis, tanggal, tempat, dan lingungan penulisannya. Makna dan nilai yang menempel pada teks bergantung pada informasi ini."

Dalam buku ini, Maman memberikan porsi cukup besar dalam memperdebatkan padangan Barthes. Maman bersikukuh bahwa keberadaan pengarang sangat besar. Penelusuran latar belakang pengarang yang berkaitan dengan daerah asal, lokalitas dan nilai budaya, serta masa penulisan justru mempermudah pembaca dan para penelaah untuk memberikan tafsir yang mendekati realitas cerita atau kejadian yang diangkat. Maman menegaskan bahwa pengarang tidak mati.

Proses "menghidupkan" pengarang untuk karya-karya teks yang dihasilkan mutlak diperlukan. Ada tanggung jawab sosial para pengarang. Menyebut nama pengarang saja sudah cukup untuk melukiskan nilai lokalitas dan budaya, ideologi, serta motif-motif lain yang berkaitan dengan karya-karyanya.

Menikmati buku ini, para pembaca diantarkan pada sebuah gulungan pita sejarah tentang perjalanan sastra Indonesia sejak awal hingga situasi kekinian. Mulai "Tradisi Pengarang dan Intelektual", "Pengarang dan Dunia Teks", serta "Gerakan Sastrawan Indonesia". Masalah angkatan sastra Indonesia yang tak pernah tuntas sebagai kandungan buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di segala jenjang kembali dipertanyakan.

Kejumudan sejarah sastra Indonesia yang dimulai sejak masa klasik, Angkatan Pujangga Lama, dan Pujangga Baru selama ini cenderung berakhir pada Angkatan 66 dan 70-an. Padahal, realitas sastra setelah Angkatan 70-an bergerak dinamis melalui kemunculan para pengarang (baca: sastrawan) yang melahirkan karya-karya sastra yang beragam dan fenomenal.

Maman menandai kebangkitan itu melalui bermunculannya sastra komunitas yang diperankan para penggiat sastra dari Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Kelompok Utan Kayu (KUK), dan yang paling fenomenal Forum Lingkar Pena (FLP), yang memberikan warna tersendiri bagi perkembangan sastra Indonesia.

Buku ini perlu dibaca sebagai literatur modern oleh para dosen, guru, mahasiswa, peneliti, penggiat sastra, serta masyarakat yang ingin mendalami sastra. Pengarang, bagi Maman, tak boleh mati. Kematian pengarang justru ikut memadamkan hasrat para penelaah sastra untuk mengkaji dan memahami bahasa teks yang sangat beragam.

Fakhrunnas M.A. Jabbar
Kolomnis dan sastrawan, tinggal di Pekanbaru