Jual Buku Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia
Judul: Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia
Penulis: Soekarno
Penerbit: Gunung Agung, 2001
Tebal: 251 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: RP. 80.000 (blm ongkir)
Order: SMS 085225918312
Penulis: Soekarno
Penerbit: Gunung Agung, 2001
Tebal: 251 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: RP. 80.000 (blm ongkir)
Order: SMS 085225918312
"Djika wanita tiada mutlak-ikut-serta, kereta kita terdampar di tanah, garuda-nasional kita terpaku di bumi. Beladjarlah mengerti bahwa soal wanita adalah soal kita jang teramat penting. Beladjarlah menilaikan wanita itu sebagai elemen mutlak dalam perdjoangan kita."
Demikian kata Soekarno dalam buku yang ditulisnya pada 1947 di Yogyakarta. Ketika itu, Belanda datang kembali untuk menjadikan Indonesia sebagai Nederlandsch-Indie. Sesama pemimpin bangsa bersitegang, sehingga mengancam persatuan nasional. Bung Karno berupaya memecahkan masalah berat itu, antara lain dengan mencari kekuatan baru sebagi penguat persatuan nasional. Dan kekuatan itu ia temukan pada perempuan.
Boleh jadi, ia diilhami Mahatma Gandhi yang berkata, "Banyak sekali pergerakan kita kandas di jalan oleh karena keadaan wanita kita," atau oleh Kemal Attaturk yang berkata, "Di antara soal-soal perjuangan yang harus diperhatikan, soal wanita hampir selalu dilupakan."
Soekarno sadar akan kekuatan perempuan. Luasnya literatur gerakan perempuan yang dibacanya membuktikan hal itu. Hanya, di Indonesia, perempuan belum menyadari benar kekuatannya. Perempuan Indonesia kebanyakan masih hidup dalam kurungan dengan pembenar adat dan agama. Kebanyakan perempuan kita pun belum insaf bahwa dirinya korban politik-ekonomi kolonial.
Organisasi-organisasi perempuan memang sudah ada. Tapi, sampai sebelum Perang Pasifik, pergerakan perempuan Indonesia masih "main putri-putrian" --sibuk menyoal urusan domestik. Hal ini terjadi karena pergerakan perempuan masih elitis dan ini bertaut dengan soal "belum pernah dipeladjari sungguh-sungguh oleh pergerakan kita".
Karena itulah, di Yogyakarta, Soekarno mengadakan "kursus wanita". Dua pekan sekali, ia memberi materi perihal perempuan dan perjuangan Republik Indonesia. Ketika kursus rampung, banyak orang meminta agar materi kursus dijadikan buku. Soekarno, yang memang sejak era pergerakan ingin menulis buku tentang hal tersebut, segera menyambut dengan mengembangkan materi kursus menjadi Sarinah.
Dari itu saja, Sarinah bukanlah buku biasa. Apalagi jika menyigi kandungannya. Bagian awal mengungkap masalah perempuan Indonesia dan cara pemecahannya. Di sini sudah cukup terang perempuan di mata Soekarno. Bagi dia, "Soal perempuan adalah soal masjarakat dan negara." Untuk menguatkan ini, antara lain ia menukil sabda Nabi Muhammad SAW, "Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri."
Untuk mewujudkan pesan hadis itu, ia menganjurkan untuk mempelajari sejarah, termasuk sejarah (perempuan) Eropa. Tapi ia pun sepakat dengan pendapat Ki Hajar Dewantara: "Djanganlah tergesa-gesa meniru tjara moderen atau tjara Eropah, djanganlah djuga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit, tetapi tjotjokanlah semua barang dengan kodratnja."
Soekarno memang terbuka pada kebudayaan modern dan pramodern. Ia melihat keduanya punya kelebihan dan kekurangan. Hal lebih dan kurang itu kian terang pada bagian kedua sampai kelima. Di sini, ia mengurai sejarah perempuan sejak era masyarakat nomaden sampai era perempuan bergerak merebut hak-haknya dengan memakai perangkat modern, seperti teori, organisasi, media massa, gerakan massa, dan parlemen.
Kerangkan uraian itu jelas dan kuat, kaya data, bahasanya menggugah serta khas dan kaya nukilan perkataan cerdas, penting, dan relevan yang diambil dari kitab suci dan hadis Nabi, karya sastra, serta buku-buku karya cendekiawan dari berbagai sudut dunia.
Di sini, Soekarno menulis bahwa jalan keluar perempuan Indonesia adalah pula jalan keluar laki-laki Indonesia, yakni mengusahakan tersusunnya masyarakat sosialis. Untuk itu, mereka mesti kompak bergerak mendepak kampitalisme, imperialisme, dan kolonialisme, sumber malapetaka segenap anak bangsa.
Buku ini masih relevan sebagai tempat bercermin bagi pergerakan kaum perempuan masa kini. Buku ini bukan saja mengungkap pergulatan pemikiran seorang presiden tentang perempuan, bangsa, dan negara, melainkan juga menawarkan cara untuk memungkinkan perempuan, bangsa, dan negara tumbuh bersama.
Hikmat Gumelar
Pengamat sastra, tinggal di Bandung