Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Pertanahan

Judul: Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Pertanahan
Penulis: Elza Syarief
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012
Tebal: 464 halaman
Stok Kosong

Sengketa tanah semakin marak di Indonesia. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada 2011 terjadi 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. Ada peningkatan tajam jika dibandingkan dengan tahun 2010 (106 konflik). Konflik-konflik itu melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga dengan luas area mencapai 472.048,44 hektare.

Sebaran wilayah konfliknya beragam. Yang terbanyak adalah Provinsi Jawa Timur dengan 36 kasus. Menyusul Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus), Jawa Tengah (12 kasus), Jambi (11 kasus), Riau (10 kasus), dan Sumatera Selatan (9 kasus). Sisanya tersebar di berbagai provinsi lain di Indonesia.

Masih menurut data KPA, dari 163 kasus di tahun 2011, sebanyak 97 kasus terjadi di sektor perkebunan (60%). Lalu 36 kasus di sektor kehutanan (22%), 21 kasus terkait dengan infrastruktur (13%), delapan kasus di sektor tambang (4%), dan satu kasus di wilayah tambak atau pesisir (1%). Dampaknya, 24 petani tewas mempertahankan tanahnya.

Dalam buku ini Elza mencatat, tanah bagi orang Indonesia memiliki nilai yang tinggi dilihat dari segala segi, baik sosiologi, antropologi, psikologi, politik, militer, maupun ekonomi. Sementara itu, perkara tanah di Indonesia terus bermunculan dan seakan tiada habis-habisnya. Elza melihat hal itu disebabkan banyak faktor: peraturan yang belum lengkap, pejabat pertanahan yang kurang tanggap, data yang tidak akurat, transaksi tanah yang keliru, hingga penyelesaian dari instansi lain sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Secara historis, urusan tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Undang-undang ini mengusung semangat nasionalis, mengutamakan manusia daripada korporasi, dan mencegah kesenjangan dalam kepemilikan tanah. Namun, sebelum landreform berbasis UUPA sempat dijalankan, rezim berubah dan UUPA itu pun terpinggirkan.

Rupanya pergantian mendadak rezim penguasa setelah peristiwa 30 September 1965 menjadi cikal bakal merebaknya konflik pertanahan. Setelah UUPA kandas, tertib tanah berangsur-angsur berkurang. Konsep tanah untuk kesejahteraan seluruh rakyat di zaman Orde Lama, menurut Elza, digantikan dengan konsep tanah untuk pembangunan di zaman Orde Baru.

Hukum privat dan hukum publik mengenai pertanahan menjadi tumpang tindih. Hal itu diperparah dengan berbagai pelanggaran, seperti pemalsuan dan penyerobotan tanah, sehingga menyuburkan sengketa tanah di Indonesia. Timbul berbagai masalah, mulai dari tak bisa dimanfaatkannya tanah untuk kemakmuran sampai bentrokan yang makan korban jiwa.

Sejak pengadilan agraria dihapuskan pada 1970, penyelesaian konflik agraria secara struktural disatukan melalui mekanisme peradilan umum. Namun, kenyataannya, pengadilan yang ada tidak dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya bila kasus tersebut berhubungan dengan kebijakan pemerintah.

Peradilan umum ternyata sudah overload dan tidak mampu secara cepat dan adil menyelesaikan konflik-konflik agraria yang hampir terjadi di semua lini dan daerah. Belum lagi persoalan tidak begitu banyaknya penegak hukum seperti jaksa dan hakim yang mumpuni dalam menguasai masalah tanah dan hukum agraria.

Sebagai pengacara yang kerap menangani kasus sengketa tanah, Elza merasakan betul, selama ini penanganan perkara pertanahan di negeri ini bagaikan rimba raya. Terlalu banyak yang terlibat, termasuk petugas hukum yang nakal dan petualang berjuluk calo. Prinsip penyelesaian sengketa secara sederhana, cepat, dan murah hanya dalam teori. Prakteknya jauh panggang dari api.

Untuk itu, menurut Elza, peradilan agraria sangat perlu dibentuk kembali untuk menuntaskan sekitar 1.700 kasus sengketa lahan yang ada. Untuk mendapat model peradilan agraria, ia memaparkan mekanisme pengadilan khusus yang ada di Australia dan Afrika Selatan. Contoh itu tentu tidak serta-merta diambil seluruhnya, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi sosial di Indonesia.

Disertasi yang diterbitkan menjadi buku ini bisa dibilang kajian paling lengkap untuk ilmu hukum pertanahan. Juga untuk sejarah hukum agraria Indonesia dan konteksnya sekarang ini.

Ade Faizal Alami