Jual Buku 123 Ayat Tentang Seni
Judul: 123 Ayat Tentang Seni
Penulis: Yapi Tambayong
Penerbit: Nuansa Cendekia, 2012
Tebal: 298 halaman
Bermula dari Raja Ali Haji (1808-1870) dengan karyanya,Gurindam Dua Belas, yang terkenal itu, kesusastraan Indonesia dalam bentuk karya tulis memiliki titik tolak. Nama penyair asal Kerajaan Riau itu bisa kita jejerkan bersama penyair lainnya yang muncul sebelum abad ke-20. Sebut saja Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdurrauf Singkil, dan Nurruddin Ar-Raniry. Kita menyebut deretan nama ini dengan sebutan angkatan Pujangga Lama, yang kemudian dilanjutkan dengan angkatan Sastra Melayu Lama, Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 1945, dan seterusnya.
Bahasa Indonesia sendiri bukan merupakan bahasa yang terlahir utuh, melainkan terdiri dari serapan-serapan bahasa asing yang kemudian diadaptasi dan diidentitaskan sebagai bagian dari bahasa Indonesia. Mengambil sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia merupakan bagian dari ragam bahasa Melayu.
Mengenai sebagian bahasa Indonesia yang bahasa serapan itu, Alif Danya Munsyi pada 1996 pernah menulis buku berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing. Misalnya, kata "sebab" berasal dari sababun, bahasa Arab. Kemudian "pasar" berasal dari kata bazar dalam bahasa Persi, "hari" berasal dari bahasa Sanskerta untuk sebutan dewa pengatur matahari, dan "jejaka" berasal dari kata jajaka dalam bahasa Sunda.
Celakanya kemudian, banyak terjadi kesalahan dalam proses adaptasi literasi asing menjadi bahasa Indonesia. Khususnya persoalan memahami seni. Kekeliruan yang banyak terjadi bersumber dari kesalahan istilah seni pada buku-buku yang pernah diterbitkan. Salah satu buku itu adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kekeliruan istilah tersebut mengakibatkan pemahaman yang rancu tentang seni. Parahnya lagi, kekeliruan itu diwariskan lembaga pendidikan melalui tuturan para pengajar, bahkan sampai di perguruan tinggi. Melalui buku berjudul 123 Ayat tentang Seni, Yapi Tambayong mencoba mengurai kembali susastra Indonesia. Dari istilah dasar filologi dalam KBBI, menjelajah ke berbagai kesusastraan dunia, kemudian pengaruhnya pada kesusastraan Indonesia.
Yapi juga menjelaskan hubungan sastra dengan kenabian. Muasal sastra memang tak lepas dari sejarah kenabian. Beresith, kitab Nabi Musa dalam tradisi Ibrani, memaparkan bagaimana muasal manusia pertama kali menuliskan pikiran-pikirannya. Tablet berisi 2.000 ungkapan piktografi bangsa Sumeria di Babilonia pada tahun 4000 SM memulai itu. Di Indonesia, Gurindam Dua Belas juga tak lepas dari pandangan tasawuf penyairnya. Barang siapa tiada memegang agama/Sekali-kali tiada boleh dibilang nama, demikian bagian dari Gurindam Dua Belas.
Selain soal seni susastra, buku ini juga memuat empat seni lainnya, yaitu musik, drama, rupa, dan film. Setiap bagian seni dipaparkan ke dalam 123 ayat. Seperti do-re-mi dalam tangga nada, 123 berarti juga muasal. Seperti dipaparkan Yapi dalam kata pengantar, "Buku ini menyajikan pengertian asasi kepelbagaian kesenian dalam ladang bahasan keindahan yang menyeluruh namun mufrad."
Yapi Tambayong adalah nama asli sastrawan-dramawan yang lebih terkenal dengan sapaan Remy Silado. Ia dikenal dengan berbagai novelnya, antara lain Ca Bau Kan, Kembang Jepun, Sam Po Kong, dan Paris van Java. Ia banyak menulis drama, buku musik, seni rupa, dan membuat berbagai filmografi. Sejak 1970, Yapi mengajar di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta. Remy juga sempat menjadi wartawan Aktuil.
Melihat kiprahnya yang telah malang melintang di dunia seni, baik sebagai praktisi maupun pakar, memang sudah seharusnya Yapi membuat satu karya utuh dari pemahaman yang berbeda mengenai seni. Pada 123 Ayat tentang Seni ini, Yapi tak hanya memaparkan wacana, melainkan juga kritik yang menerobos pakem-pakem seni yang selama ini ada. Meski ilmiah, lugasnya gaya bertutur Yapi membuat buku ini enak dibaca oleh kalangan mana pun.
Hayati Nupus
Penulis: Yapi Tambayong
Penerbit: Nuansa Cendekia, 2012
Tebal: 298 halaman
Bermula dari Raja Ali Haji (1808-1870) dengan karyanya,Gurindam Dua Belas, yang terkenal itu, kesusastraan Indonesia dalam bentuk karya tulis memiliki titik tolak. Nama penyair asal Kerajaan Riau itu bisa kita jejerkan bersama penyair lainnya yang muncul sebelum abad ke-20. Sebut saja Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdurrauf Singkil, dan Nurruddin Ar-Raniry. Kita menyebut deretan nama ini dengan sebutan angkatan Pujangga Lama, yang kemudian dilanjutkan dengan angkatan Sastra Melayu Lama, Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 1945, dan seterusnya.
Bahasa Indonesia sendiri bukan merupakan bahasa yang terlahir utuh, melainkan terdiri dari serapan-serapan bahasa asing yang kemudian diadaptasi dan diidentitaskan sebagai bagian dari bahasa Indonesia. Mengambil sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia merupakan bagian dari ragam bahasa Melayu.
Mengenai sebagian bahasa Indonesia yang bahasa serapan itu, Alif Danya Munsyi pada 1996 pernah menulis buku berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing. Misalnya, kata "sebab" berasal dari sababun, bahasa Arab. Kemudian "pasar" berasal dari kata bazar dalam bahasa Persi, "hari" berasal dari bahasa Sanskerta untuk sebutan dewa pengatur matahari, dan "jejaka" berasal dari kata jajaka dalam bahasa Sunda.
Celakanya kemudian, banyak terjadi kesalahan dalam proses adaptasi literasi asing menjadi bahasa Indonesia. Khususnya persoalan memahami seni. Kekeliruan yang banyak terjadi bersumber dari kesalahan istilah seni pada buku-buku yang pernah diterbitkan. Salah satu buku itu adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kekeliruan istilah tersebut mengakibatkan pemahaman yang rancu tentang seni. Parahnya lagi, kekeliruan itu diwariskan lembaga pendidikan melalui tuturan para pengajar, bahkan sampai di perguruan tinggi. Melalui buku berjudul 123 Ayat tentang Seni, Yapi Tambayong mencoba mengurai kembali susastra Indonesia. Dari istilah dasar filologi dalam KBBI, menjelajah ke berbagai kesusastraan dunia, kemudian pengaruhnya pada kesusastraan Indonesia.
Yapi juga menjelaskan hubungan sastra dengan kenabian. Muasal sastra memang tak lepas dari sejarah kenabian. Beresith, kitab Nabi Musa dalam tradisi Ibrani, memaparkan bagaimana muasal manusia pertama kali menuliskan pikiran-pikirannya. Tablet berisi 2.000 ungkapan piktografi bangsa Sumeria di Babilonia pada tahun 4000 SM memulai itu. Di Indonesia, Gurindam Dua Belas juga tak lepas dari pandangan tasawuf penyairnya. Barang siapa tiada memegang agama/Sekali-kali tiada boleh dibilang nama, demikian bagian dari Gurindam Dua Belas.
Selain soal seni susastra, buku ini juga memuat empat seni lainnya, yaitu musik, drama, rupa, dan film. Setiap bagian seni dipaparkan ke dalam 123 ayat. Seperti do-re-mi dalam tangga nada, 123 berarti juga muasal. Seperti dipaparkan Yapi dalam kata pengantar, "Buku ini menyajikan pengertian asasi kepelbagaian kesenian dalam ladang bahasan keindahan yang menyeluruh namun mufrad."
Yapi Tambayong adalah nama asli sastrawan-dramawan yang lebih terkenal dengan sapaan Remy Silado. Ia dikenal dengan berbagai novelnya, antara lain Ca Bau Kan, Kembang Jepun, Sam Po Kong, dan Paris van Java. Ia banyak menulis drama, buku musik, seni rupa, dan membuat berbagai filmografi. Sejak 1970, Yapi mengajar di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta. Remy juga sempat menjadi wartawan Aktuil.
Melihat kiprahnya yang telah malang melintang di dunia seni, baik sebagai praktisi maupun pakar, memang sudah seharusnya Yapi membuat satu karya utuh dari pemahaman yang berbeda mengenai seni. Pada 123 Ayat tentang Seni ini, Yapi tak hanya memaparkan wacana, melainkan juga kritik yang menerobos pakem-pakem seni yang selama ini ada. Meski ilmiah, lugasnya gaya bertutur Yapi membuat buku ini enak dibaca oleh kalangan mana pun.
Hayati Nupus