The Greatness of Andalusia: Ketika Islam Mewarnai Peradaban Barat
The Greatness of Andalusia: Ketika Islam Mewarnai Peradaban Barat
Penulis: David Levering Lewis
Penerbit: Serambi, 2012
Tebal: 665 halaman
Andalusia atau Spanyol adalah negeri yang pernah dikuasai umat Islam selama hampir delapan abad. Islam pertama masuk ke Spanyol pada tahun 711 di bawah pimpinan panglima Thariq bin Ziyad. Setelah menyeberangi Selat Gibraltar, pasukan Thariq bin Ziyad berhasil membuka wilayah yang terkenal kaya itu.
Sejak kedatangan Islam ke Spanyol, banyak prestasi yang diukir umatnya bagi pengembangan peradaban dan ilmu pengetahuan. Sampai lenyapnya kekuasaan Islam dari Spanyol pada 1492, wilayah yang terletak di sekitar Semenanjung Iberia dan membelah Benua Eropa dengan Afrika itu menjadi mercusuar yang menerangi kegelapan bangsa-bangsa Eropa Abad Pertengahan.
Sayangnya, tidak banyak umat Islam Indonesia yang mendapatkan informasi memadai tentang sejarah kebangkitan dan kejayaan Islam di Spanyol hingga keruntuhannya. Ini terjadi karena masih kurangnya literatur berbahasa Indonesia yang membahasnya. Karena itu, penerjemahan buku ini setidaknya dapat mengisi kekosongan tersebut, dan memberi gambaran memadai tentang dinamika umat Islam di Spanyol.
David L. Lewis, profesor sejarah di Universitas New York, dengan cermat menguraikan awal masuknya Islam di Spanyol, perkembangan sejarah sosial, budaya, dan ilmu pengetahuannya serta akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Sebagai agama damai, Islam masuk dengan misi pembebasan rakyat Spanyol dari kesewenang-wenangan penguasa di sana pada masa itu.
Sebelum Islam masuk, Spanyol dikuasai raja-raja Gothic yang beragama Kristen. Mereka sering memaksakan agama Kristen kepada penganut Yahudi, yang juga banyak berdiam di sana. Orang-orang Yahudi sering mengalami diskriminasi, meskipun mereka banyak berperan secara ekonomi. Karena itu, kaum Yahudi sebenarnya mengharapkan kedatangan umat Islam, karena mereka yakin umat Islam akan berlaku toleran dan bersikap baik.
Harapan itu terbukti. Umat Islam tetap menghargai agama rakyat Spanyol, dan tidak memaksakan agama Islam kepada penduduk negeri yang mereka kuasai tersebut. Meskipun dalam kontak kehidupan sosial banyak dipengaruhi kebudayaan Arab, orang Spanyol tetap berpegang teguh pada agama mereka. Dalam literatur-literatur tentang Spanyol, mereka dijuluki mozarabes atau musta'rab, yang berarti "orang yang terarabkan".
Spanyol di era kekuasaan muslim merupakan gambaran puncak keharmonisan tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi. Orang Yahudi berjasa besar dalam proses penerjemahan karya-karya ilmuwan Muslim ke dalam bahasa Latin. Kalau Ibn Rusyd, yang di Barat dikenal dengan Averroes, merupakan filsuf Muslim yang paling berpengaruh di Spanyol dan di Barat pada umumnya, Maimonides (Musa ibn Maymun) adalah pemikir Yahudi yang cukup disegani di bumi Andalusia itu. Penulis menyimpulkan bahwa dua tokoh ini merupakan wakil klasik eklektisisme budaya dan toleransi agama Andalusia lama.
Sayangnya, toleransi yang telah diperlihatkan umat Islam itu tidak diikuti para penguasa Kristen ketika merebut kembali (reqonquesta) tanah Spanyol. Secara politik, kekuasaan Islam di Spanyol berakhir pada 1492 dengan jatuhnya kota terakhir, Granada, ke tangan penguasa Kristen. Setelah penaklukan itu, umat Islam mengalami inkuisisi, memilih antara menukar agama mereka atau terusir dengan membawa perbekalan seadanya.
Bagi yang mempertahankan agama, angkat kaki dari Spanyol adalah jalan terbaik. Mereka pergi ke Maroko, Tunisia, atau Aljazair. Namun tidak sedikit muslim yang tewas dibunuh dalam inkuisisi itu --sebanyak 600.000 hingga 3.000.000 orang Islam terusir dari sana. Kebijakan inkuisisi ini juga berlaku bagi kaum Yahudi.
Membaca buku ini, kita diajak untuk menjelajahi sejarah yang selama ini masih belum banyak terkuak dan nyaris terlupakan. Buku ini dengan gamblang menjelaskan capaian peradaban umat Islam di Andalusia dan pengaruhnya di Barat. Dengan jujur penulis mengakui bahwa orang Arab Spanyol abad ke-9 lebih maju 400 tahun daripada orang Barat.
Selain itu, buku ini menyiratkan pesan tentang pentingnya sikap toleran terhadap perbedaan dalam rangka membangun peradaban umat manusia. Inilah agaknya kontribusi penting buku ini.
Muhammad Iqbal
Dosen Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara
Penulis: David Levering Lewis
Penerbit: Serambi, 2012
Tebal: 665 halaman
Andalusia atau Spanyol adalah negeri yang pernah dikuasai umat Islam selama hampir delapan abad. Islam pertama masuk ke Spanyol pada tahun 711 di bawah pimpinan panglima Thariq bin Ziyad. Setelah menyeberangi Selat Gibraltar, pasukan Thariq bin Ziyad berhasil membuka wilayah yang terkenal kaya itu.
Sejak kedatangan Islam ke Spanyol, banyak prestasi yang diukir umatnya bagi pengembangan peradaban dan ilmu pengetahuan. Sampai lenyapnya kekuasaan Islam dari Spanyol pada 1492, wilayah yang terletak di sekitar Semenanjung Iberia dan membelah Benua Eropa dengan Afrika itu menjadi mercusuar yang menerangi kegelapan bangsa-bangsa Eropa Abad Pertengahan.
Sayangnya, tidak banyak umat Islam Indonesia yang mendapatkan informasi memadai tentang sejarah kebangkitan dan kejayaan Islam di Spanyol hingga keruntuhannya. Ini terjadi karena masih kurangnya literatur berbahasa Indonesia yang membahasnya. Karena itu, penerjemahan buku ini setidaknya dapat mengisi kekosongan tersebut, dan memberi gambaran memadai tentang dinamika umat Islam di Spanyol.
David L. Lewis, profesor sejarah di Universitas New York, dengan cermat menguraikan awal masuknya Islam di Spanyol, perkembangan sejarah sosial, budaya, dan ilmu pengetahuannya serta akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Sebagai agama damai, Islam masuk dengan misi pembebasan rakyat Spanyol dari kesewenang-wenangan penguasa di sana pada masa itu.
Sebelum Islam masuk, Spanyol dikuasai raja-raja Gothic yang beragama Kristen. Mereka sering memaksakan agama Kristen kepada penganut Yahudi, yang juga banyak berdiam di sana. Orang-orang Yahudi sering mengalami diskriminasi, meskipun mereka banyak berperan secara ekonomi. Karena itu, kaum Yahudi sebenarnya mengharapkan kedatangan umat Islam, karena mereka yakin umat Islam akan berlaku toleran dan bersikap baik.
Harapan itu terbukti. Umat Islam tetap menghargai agama rakyat Spanyol, dan tidak memaksakan agama Islam kepada penduduk negeri yang mereka kuasai tersebut. Meskipun dalam kontak kehidupan sosial banyak dipengaruhi kebudayaan Arab, orang Spanyol tetap berpegang teguh pada agama mereka. Dalam literatur-literatur tentang Spanyol, mereka dijuluki mozarabes atau musta'rab, yang berarti "orang yang terarabkan".
Spanyol di era kekuasaan muslim merupakan gambaran puncak keharmonisan tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi. Orang Yahudi berjasa besar dalam proses penerjemahan karya-karya ilmuwan Muslim ke dalam bahasa Latin. Kalau Ibn Rusyd, yang di Barat dikenal dengan Averroes, merupakan filsuf Muslim yang paling berpengaruh di Spanyol dan di Barat pada umumnya, Maimonides (Musa ibn Maymun) adalah pemikir Yahudi yang cukup disegani di bumi Andalusia itu. Penulis menyimpulkan bahwa dua tokoh ini merupakan wakil klasik eklektisisme budaya dan toleransi agama Andalusia lama.
Sayangnya, toleransi yang telah diperlihatkan umat Islam itu tidak diikuti para penguasa Kristen ketika merebut kembali (reqonquesta) tanah Spanyol. Secara politik, kekuasaan Islam di Spanyol berakhir pada 1492 dengan jatuhnya kota terakhir, Granada, ke tangan penguasa Kristen. Setelah penaklukan itu, umat Islam mengalami inkuisisi, memilih antara menukar agama mereka atau terusir dengan membawa perbekalan seadanya.
Bagi yang mempertahankan agama, angkat kaki dari Spanyol adalah jalan terbaik. Mereka pergi ke Maroko, Tunisia, atau Aljazair. Namun tidak sedikit muslim yang tewas dibunuh dalam inkuisisi itu --sebanyak 600.000 hingga 3.000.000 orang Islam terusir dari sana. Kebijakan inkuisisi ini juga berlaku bagi kaum Yahudi.
Membaca buku ini, kita diajak untuk menjelajahi sejarah yang selama ini masih belum banyak terkuak dan nyaris terlupakan. Buku ini dengan gamblang menjelaskan capaian peradaban umat Islam di Andalusia dan pengaruhnya di Barat. Dengan jujur penulis mengakui bahwa orang Arab Spanyol abad ke-9 lebih maju 400 tahun daripada orang Barat.
Selain itu, buku ini menyiratkan pesan tentang pentingnya sikap toleran terhadap perbedaan dalam rangka membangun peradaban umat manusia. Inilah agaknya kontribusi penting buku ini.
Muhammad Iqbal
Dosen Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara