Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam - Jawa

Judul: Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam - Jawa
Penulis: Abdul Munir Mulkhan
Penerbit: Bentang, 2004
Tebal: 369 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Stok kosong


Kehadiran Syekh Siti Jenar masih misterius, antara nyata dan rekayasa. Simbol kewibawaan minoritas.

Raja Kerajaan Islam Demak Bintoro, Raden Patah, tak kuasa menahan amarah. Ia segera mengutus Wali Sanga, dipimpin Sunan Bonang, untuk menghentikan perbuatan Syekh Siti Jenar, yang dinilai mengganggu stabilitas negara. Meskipun Sunan Bonang sudah mengantongi surat kuasa dari sang raja, tidaklah mudah bagi beliau menjatuhkan hukuman pada Siti Jenar.

"Bonang! Engkau mengundangku ke Demak, tetapi saya malas. Sebab saya tidak diperintah siapa pun. Kecuali hati saya, tidak ada yang saya patuhi," kata Siti Jenar. Sunan Kudus, yang ikut rombongan para wali, menimpali, "Ketahuilah Paman Siti Jenar! Kekuasaan raja itu atas nama Sang Hyang Widi. Jika engkau tetap menolak, saya diberi kuasa untuk mencabut lehermu dan memenggal kepalamu!" Dan Siti Jenar pun dihukum mati.

Kisah di atas termuat dalam Serat Syekh Siti Jenar yang terdiri 13 pupuh (bagian), dalam bentuk tembang berbahasa Jawa. Karya sastra ini masih tersimpan di Museum Sono Budoyo, Yogyakarta, dengan nomor katalog SB.137. Sosok Siti Jenar itulah yang dihadirkan oleh Abdul Munir Mulkhan dalam buku ini.

Tokoh ini kemudian menjadi mitos dan "tokoh sakral" yang penuh misteri. Siti Jenar disebut pula Lemah Abang dari Jenar. Laporan Hasil Penelitian Bahan-bahan Sejarah Islam di Jawa Tengah Bagian Utara, IAIN Wali Sanga, Semarang (1974), menyebutkan, nama itu berasal dari bahasa Persia yang berarti "tuan yang kekuatannya seperti api".

Asal sang tokoh pun tak jelas. Ada yang menyebut Siti Jenar keturunan bangsawan dari Cirebon, bernama asli Ali Hasan atau Abdul Jalil. Nama yang terakhir ini, seperti ditulis Dr. G.A.J. Hazeu, lengkapnya adalah Abdul Jalil bin Sunan Gunungjati, yang dikenal tekun mempelajari agama Islam terutama mistik.

Terlepas dari kepastian ada dan tidaknya Siti Jenar, Mulkhan -peraih magister sosiologi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1988- ingin membeberkan ketegangan dalam perkembangan Islam di Jawa. Antara penguasa pada waktu itu, yang didukung oleh Dewan Wali (Wali Sanga), dan Siti Jenar. Pangkal ketegangan bermula dari soal teologis.

Siti Jenar, sebagai pelopor ajaran wihdatul wujud, atau manunggaling kawula-gusti (bersatunya makhluk dan khalik), membangkitkan perbedaan pandangan yang tajam dengan Dewan Wali. Khususnya tentang gagasan ketuhanan, hari akhir, surga-neraka, makna kematian dan kehidupan, serta fungsi syariah.

Ajaran Siti Jenar melambangkan perkembangan dan percaturan filsafat, serta tasawuf, pada masa peralihan kekuasaan di Jawa. Yakni dari Majapahit (Hindu dan Budha) ke pemerintahan Islam, Demak Bintoro. Namun, aktivitas Siti Jenar kemudian berbau politis. Pasalnya, ia bersahabat dengan Ki Kebokenongo (Ki Ageng Pengging), keturunan Majapahit yang kehilangan kekuasaan.

Maka, persoalan Siti Jenar menjadi persoalan politik dan strategi dakwah dalam sistem budaya Jawa. Sayangnya, Siti Jenar harus mengakomodasi para bangsawan yang tersingkir dari sistem kekuasaan baru Islam, seperti diwakili Kebokenongo. Akibatnya, ia juga harus menanggung risiko melakukan pembangkangan terhadap kekuasaan dan keagamaan resmi (halaman 12).

Tragedi Siti Jenar, menurut Mohammad Sobary (Pengantar), dilihat dari kenyataan sosial-politik sekarang, adalah ketegangan antara sayap minoritas dan mayoritas dalam sebuah agama. Dalam bahasa "keamanan", Siti Jenar dianggap "mengganggu stabilitas". Tapi, Sobary yakin, pertarungan antara Dewan Wali dan Siti Jenar berpokok pada kehendak memperoleh pengaruh, keinginan untuk eksis secara politis.

Joko Syahban