Jual Buku Historiografi Haji Indonesia
Judul: Historiografi Haji Indonesia
Penulis: M. Shaleh Putuhena
Penerbit: LKiS, 2007
Tebal: 456 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 100.000 (belum ongkir)Penulis: M. Shaleh Putuhena
Penerbit: LKiS, 2007
Tebal: 456 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Order: SMS/WA 085225918312
Menjelajah historiografi haji di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari historiografi haji di Arab sendiri. Haji telah dijalankan oleh Nabi Adam. Beliau membangun sendiri Kakbah: rumah ibadah pertama di dunia. Nabi Ibrahim melanjutkan ajaran tersebut setelah membangun kembali Kakbah bersama putranya, Ismail.
Adapun Nabi Muhammad, sebelum menjadi rasul, juga berperan dalam restorasi rumah Tuhan, sehingga disebut al-Amin (yang terpercaya), juga diperintahkan haji di Kakbah. Jejak-jejak haji Nabi Muhammad merupakan warisan dari Nabi Ibrahim: ada tawaf, sa'i, wukuf, melontar jumrah. Nabi Muhammad pernah beberapa tahun tidak mengunjungi Kakbah, karena diusir kaum pagan Makkah. Kakbah sendiri oleh kaum pagan dijadikan tempat suci untuk mempersembahkan hajat dan doa kepada Tuhan mereka. Baru setelah fathu Makkah (Makkah terbuka), Nabi bersama sahabatnya berkunjung di Kakbah.
Melongok historiografi haji masa Nabi tersebut, terlihat sekali bahwa Kakbah merupakan menjadi tempat suci yang jejak-jejaknya telah terpampang sejak Nabi Adam. Karena tempatya yang suci, tak salah kalau kaum pagan menjadikan Kakbah sebagai tempat persembahan mendekat Sang Pencipta. Kakbah menjadi simbol bersatunya kaum pagan dalam menggugat monoteisme Ketuhanan yang dibawa Muhammad. Di sinilah mulai terjadi kontestasi politik di tengah ritus keagamaan. Kontestasi politik inilah yang coba ditelaah penulis dalam buku ini.
Konstelasi Politik
Kontestasi politik dalam haji yang telah terjadi sejak zaman Nabi telah melahirkan ragam gerakan politik keagamaan di Indonesia, khususnya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Lahirnya para intelegensia muslim yang bergelar "haji" pada awal abad ke-20 telah membuktikan kelahiran gerakan politik yang bergerak untuk menggugat kolonialisme dan imprealisme Belanda. Lahirlah Muhammadiyah tahun 1912, Persatuan Islam (Persis) pada 1923, dan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 (halaman 145).
Dalam sejarah haji Indonesia, ada dua faktor utama yang mendahului perjalanan dan pelaksanaan haji masyarakat muslim Nusantara. Kedua faktor itu adalah hubungan Nusantara dengan Hijaz dan adanya komunitas Muslim di Nusantara. Pembentukan komunitas muslim di Nusantara berkaitan erat dengan hubungan perdagangan antara Hijaz, India Selatan, Asia Tenggara, dan China. Pada abad ke-16, ketika telah terdapat komunitas muslim di Nusantara dan hubungan pelayaran dan perdagangan langsung antara Nusantara dan Hijaz, telah ditemukan pedagang Nusantara di Makkah sebagai perintis perjalanan haji. Abad ke-16 dan ke-17, haji Indonesia belum bersifat jamaah (belum diorganisasi), hanya pribadi atau utusan sultan. Baru pada abad ke-18, haji sudah di organisasi dan kebanyakaan jamaah haji menetap (mukim) di Makkah untuk mencari ilmu (tholab al-ilm).
Abad ke-19 dan ke-20, jamaah haji Indonesia telah membentuk komunitas muslim Nusantara secara solid, sehingga tercipta sebuah spirit nasionalisme kebangsaan. Komunitas ini ada di Makkah, Madinah, Jeddah, Hijaz, bahkan juga di Hadramaut Yaman (halaman 234).
Spirit nasionalisme itulah yang kemudian gerakan-gerakan politis para haji. Karena sepulang dari haji, mereka mampu mengorganisasi masyarakat dalam sebuah kesatuan kebangsaan, khususnya dalam melawan kolonialisme Belanda. Spirit melawan impralisme juga mendapatkan suntikan lewat puritanisme Islam yang digelorakan Muhammad bin Abdul Wahab, gagasan Pan-Islamisme yang dibawa oleh Jamaluddin al-Afghani Pakistan, dan spirit pemikiran Ijtihad Muhammad Abduh Mesir, yang kesemuanya telah mengilhami kebangkitan pemikiran kritis Islam pasca runtuhnya Khalifah Turki Utsmani pada 1924. Dalam pengamatan Yudi Latif (2006), para haji Nusantara mampu membentuk koloni-koloni politik yang dikomandoni oleh Syekh Khotib Minangkabau. Syekh Khotib inilah yang mengilhami gerakan Ahmad Dahlan, Hasyim AsyĆari, Agus Salim (keponakannya sendiri), Haji Djambek, dan para agamawan di Padang.
Diawasi
Melihat gelanggang politik umat Islam ini, Hindia Belanda akhirnya khawatir, karena para haji itu bisa meruntuhkan imprealisme di Indonesia. Atas saran Snouck Horgronje, pemerintah Hindia Belanda akhirnya mengawasi para haji Indonesia yang bermain politik di Makkah. Dibentuklah konsul Hindia Belanda di Jeddah yang bertugas mengawasi gerak-gerik politik yang dijalankan para haji. Dan terbukti, konsul ini mampu meredam spirit nasionalisme jamaah haji, sehingga tidak sedikit jamaah haji Indonesia, yang karena keasyikan belajar di Makkah, kemudian memutuskan untuk menetap di Makkah, bahkan sampai wafatnya. Bukan berarti mereka tidak mau berjuang di Tanah Air, tetapi kondisi social politik yang mengekang mereka membuat mereka tersekat, dan akhirnya mengabdikan dirinya sebagai pemikir agama di Makkah. Tetapi juga ada yang nekad pulang kampung untuk terus berjuang mengentaskan Nusantara dari belenggu penjajah. Hasyim Asy'ari, Ahmad Dahlan, A Hasan, H Agus Salim, A Wahab Hasbullah, adalah salah satunya.
Walaupun kontestasi politik begitu mengemuka dalam historiografi haji Nusantara, bukan berarti historiografi haji dalam buku membahas kontestasi politik saja, walaupun porsi kontestasi politik ini menjadi isu utama setiap babakan episode haji. Penulis juga menyunggung ihwal perkembangan pemikiran keagamaan di Indonesia yang terus meningkat diberbagai daerah. Lahirlah pesantren, surau, dan majlis keagamaan yang terus tersebar luas diberbagai pelosok Nusantara. Di samping itu juga tercipta sistem perdagangan yang terus meningkat antara Nusantara dan Hijaz. Dampak dari hubungan perdagangan ini membuat Indonesia mempunyai pengalaman jalinan ekonomi dengan Negara Timur Tengah secara umum, sehingga pada akhirnya banyak warga Indonesia yang kemudian menjalin perdagangan di Mesir, Yaman, dan Iran.
Jejak-jejak historiografi haji Indonesia yang dikupas penulis sungguh menarik bagi banga Indonesia. Dengan membaca historiografi ini, jamaah haji akan mempunyai kesadaran tentang tanggungjawabnya sepulang dari Makkah. Ada beban sejarah yang harus dilanjutkan: yakni menentang imprealisme neoliberal ditengah kontestasi politik global dewasa ini.
Muhammadun AS