Jual Buku Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman
Judul: Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman
Penulis: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit: Paramadina, 2001
Tebal: 457 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual KosongPenulis: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit: Paramadina, 2001
Tebal: 457 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Satu di antara sumbangan terpenting pemikiran "neomodernisme Islam'' di Indonesia adalah sikap terbuka (inklusif) memandang agama lain. Sikap inklusif ini melihat realitas keberagamaan yang plural secara positif (sebagai rahmat). Sumbangan itulah yang kini berkembang menjadi wacana "Islam Pluralis''. Atau dalam istilah yang agak radikal: "teologi pluralis''.
Teologi ini, secara genealogis, dapat dilacak pada masa-masa 1970-an. Yakni tahun-tahun ketika Nurcholish Madjid menggelindingkan gagasan pembaruan Islamnya. Cak Nur -panggilan akrab Nurcholish- diakui Budhy sebagai sumber inspirasinya. Dialah tokoh sentral yang banyak mengelaborasi elemen-elemen pluralistik dari ajaran Islam.
Inspirasi Cak Nur terlihat jelas pada setiap tulisan Budhy. Bahkan Budhy hampir tak berani mengkritik gurunya itu. Buku Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman ini secara telanjang menjadi bukti pemihakan intelektual penulisnya terhadap teologi itu. Banyak tema serius dan rumit yang digeneralisasikan dan dikelompokkan begitu saja oleh editornya menjadi beberapa bagian.
Bagian pertama memuat tulisan-tulisan yang diberi tema "Spiritualitas Sebagai Pertemuan Esoteris Agama-agama''. Bagian kedua mengusung tema "Islam dan Wacana Filsafat Kontemporer''. Setelah itu, pada bagian ketiga, pembaca disuguhi tema-tema seputar "Islam Transformatif dalam Wacana Neomodernisme''. Sementara di bagian keempat, ada tema tentang "Wacana Islam Liberal''.
Benang merah teologi pluralis bisa kita temukan pada setiap tulisan yang ada dalam buku ini. Itu bisa dikenali lewat idiom-idiom dan diksi yang dipakai Budhy: lembut dan selalu menyuarakan perdamaian. Budhy mengajak pembaca memahami pluralisme tidak dengan pola pikir minimalis; hanya mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk.
Pasalnya, pikiran seperti itu bisa menggambarkan kesan fragmentasi. "Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai 'kebaikan negatif' (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai "pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban'' (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia...'' (halaman 31).
Bagaimana kita menilai buku ini dalam konteks yang lebih luas? Buku ini memang ditulis oleh orang yang oke. Tapi, apakah pikiran- pikirannya juga oke secara sosial? Suatu wacana baru berarti secara sosial bila ia telah menjadi bagian dari kesadaran publik. Kesadaran publik hanya akan lahir bila ditopang oleh struktur sosial yang tangguh.
Ini berarti, setiap wacana yang diusung seseorang harus diterjemahkan secara sosial dan material sekaligus. Bagaimanapun, sebuah wacana tak bisa dipahami dalam kerangka basis kognitif kebudayaan semata. Basis kognitif, sosial, dan material mesti berjalan sinergis. Nah, wacana Islam pluralis dalam buku Budhy ini masih bergeliat di level kognitif atau normatif.
Bisa jadi, wacana Islam ini lambat laun akan menghilang dari peredaran. Sebab, "jari-jari'' pengaruhnya tak mampu menyelusup ke mana-mana. Ia baru relevan secara intelektual; belum relevan secara sosial. Di kampus-kampus ternama pun, gema wacana Islam pluralis nyaris tak terdengar. Juga di sebagian besar jamaah Paramadina.
Terbukti, jamaah Paramadina sendiri lebih suka tema keislaman yang bersifat praktis dan sufistik. Ia kalah gaung dengan Islam "mazhab Musholla''. Dalam nada bercanda, wacana Islam pluralis ini tinggal bertahan di pojok "bilik'' Ciputat. Islam pluralis pun kehilangan "darah''. Ia tampak loyo, lesu, tak bertenaga; mati muda sebelum berkembang. Maka, para eksponen Islam tersebut, termasuk Budhy, harus segera memikirkannya.
M. Deden Ridwan
Manager Produksi dan Redaksi Penerbit Hikmah (Grup Mizan), Jakarta