Jual Buku Islam Murni dalam Masyarakat Petani
Judul: Islam Murni dalam Masyarakat Petani
Penulis: Abdul Munir Mulkhan
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya, 2000
Tebal: 446 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok Kosong
Penulis: Abdul Munir Mulkhan
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya, 2000
Tebal: 446 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok Kosong
Penyakit apa yang paling berbahaya di Indonesia? Bila pertanyaan itu diajukan kepada aktivis Muhammadiyah, jawabannya bukan AIDS, melainkan TBC. Tapi, jangan silap. Inilah singkatan "takhayul, bid'ah, dan c(k)hurafat". Persoalan penyimpangan umat dari kemurnian ajaran Islam inilah yang selalu menjadi agenda penting setiap bahasan Muhammadiyah.
Menurut James L. Peacock (1978), layaknya gerakan Wahabi di Arab Saudi, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah untuk memerangi setiap bentuk sinkretisme Islam. Itulah yang mendorong Abdul Munir Mulkhan, dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menulis disertasi doktoral yang sangat menarik untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dengan mengambil sampel masyarakat petani di Kecamatan Wuluhan, Jember, Jawa Timur, Mulkhan mengembangkan diafora yang selama ini terpendam. Betulkah pemberantasan penyakit "TBC" di kalangan petani, dan penyebaran Muhammadiyah, merupakan dua hal yang bertentangan? Itukah yang menyebabkan Muhammadiyah sulit mengakar di pedesaan?
Sejak berdiri pada 1912, sasaran utama dakwah Muhammadiyah memang masyarakat kota. Tingkat rasionalisasi kota memungkinkan dakwah Muhammadiyah diterima, karena ketergantungan mereka pada "TBC" tadi itu lebih rendah. Tradisi- tradisi keagamaan seperti tarhim menjelang salat, zikir bersama, menabuh beduk, salawatan, dan tahlilan lebih berkembang di desa ketimbang di kota (halaman 97).
Akibatnya, Islam murni, yang ditawarkan Muhammadiyah, tidak menyentuh warga desa dengan cepat. Mulkhan menemukan, sesungguhnya Muhammadiyah telah masuk ke Kecamatan Wuluhan, dan kawasan lainnya di Jember, sejak 1924. Tetapi baru berkembang pesat pada 1965, dengan pertambahan anggota terdaftar rata-rata 100%.
Hanya saja, banyak jalan kompromi harus ditempuh. Misalnya, warga Wuluhan biasa memberi sesajen agar hasil buminya sukses. Setelah Muhammadiyah datang, mereka beralih kepada orang saleh (Bagian IV). Muhammadiyah setidaknya melakukan tiga pendekatan: kasuistik, antisipatif, dan kultural. Warga desa yang masih menyakralkan kuburan, misalnya, diajari ziarah kubur hanya untuk mengingatkan kematian.
Pendekatan kultural dilakukan dengan menggelar pengajian mingguan. Pada kasus Wuluhan, menurut Mulkhan, pengajian banyak diberikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah yang datang dari Solo, Yogya, dan Malang. Misalnya Haji Duwan, Haji Bakit, dan Haji Saleh. Mereka berperan dalam menanamkan Muhammadiyah di desa.
Dibandingkan dengan penelitian Mitsuo Nakamura di Kotagede (1983), dan Irwan Abdullah di Klaten (1994), sumbangsih Mulkhan memang patut dihargai. Nakamura dan Irwan lebih memusatkan perhatian pada masyarakat kota. Temuan- temuan Mulkhan menegaskan, ternyata membangun kultur Muhammadiyah di desa bukan cuma sulit. Salah-salah bisa menimbulkan ketersinggungan. Apalagi bila bersentuhan dengan tradisi Nahdlatul Ulama.
Memang, seperti kata Kuntowijoyo, selama ini Islam di tangan Muhammadiyah sudah menjadi agama yang sederhana dan terbuka. Sebaliknya, di tangan Muhammadiyah, Islam juga tampak sebagai agama yang miskin, kering, dan kurang gereget (halaman xx). Padahal, warga desa memahami agama bukan cuma sebagai akidah, melainkan juga simbol-simbol yang menenteramkan mereka. Karena itu, menurut Kuntowijoyo, usaha "menghias Islam" diperlukan agar dakwah Muhammadiyah juga populer di kalangan pedesaan.
Inayatullah Hasyim
Dosen Tazkia Institute for Shariah Finance and Management Specialist, Jakarta