Jual Buku Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon
Judul: Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret Dari Cirebon
Penulis: Dr. Muhaimin AG
Penerbit: Logos, 2001
Tebal: 402 halaman
Kondisi: Buku stok lama (cukup)
Terjual Indramayu
Penulis: Dr. Muhaimin AG
Penerbit: Logos, 2001
Tebal: 402 halaman
Kondisi: Buku stok lama (cukup)
Terjual Indramayu
Huub de Jonge (1993) melihat bahwa hasil penelitian yang dilakukan "orang luar" masih menyimpan kekurangan, sebagaimana kekurangan yang terdapat dalam hasil penelitian "orang dalam". Contohnya adalah The Religion of Java (1976), yang ditulis seorang antropolog Amerika, Clifford Geertz. Karya monumental itu dikagumi, sekaligus dikritik keras, oleh antropolog dan intelektual Indonesia, karena menyimpan kesalahan teoretis yang sistematis.
Ini berawal dari perbedaan pandang dan interpretasi "orang luar" terhadap fenomena sosial-religius masyarakat "pribumi". Itu sebabnya, De Jonge menyarankan perpaduan antara penelitian antropologis yang outward dan inward looking, agar kedalaman pengetahuan dan keterampilan metodologis dapat menjadi kekuatan yang utuh.
Seperti halnya beberapa karya antropologis yang mengkritik The Religion of Java, studi Muhaimin berawal dari tujuan yang sama. Adalah keistimewaan karya Geertz, walau trikotomi santri-priayi- abangan-nya mendapat kritikan keras, konsep trikotominya menjadi makin terkenal. Dan secara tidak langsung dipakai sebagai pijakan untuk melihat masyarakat muslim Indonesia.
Muhaimin mencoba memberikan gambaran tentang bentuk pelaksanaan Islam yang dilakukan orang-orang desa menurut versi mereka sendiri. Salah satu keberatan Muhaimin terhadap Geertz adalah argumen sinkretis yang digunakannya, sehingga Islam digambarkan hanya menyentuh kulit luar tradisi Hindu-Buddha-animistis, yang berakar kuat dalam masyarakat sebelum kedatangan Islam.
Menurut Muhaimin, kekeliruan utama Geertz adalah mencampurkan kategori keagamaan dengan kategori sosial dalam satu kelompok. Bahkan yang dianggap Geertz sebagai ciri khas utama orang abangan, upacara slametan, sebenarnya berasal dari konsep ajaran Islam yang asalnya dari bahasa Arab salama (selamat).
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai kehidupan sosio-religius masyarakat Cirebon, Muhaimin mencoba melakukan pendekatan alternatif. Ia membuat tiga kategorisasi mengenai sosio-religiusitas masyarakat Cirebon. Pertama berdasarkan penguasaan seseorang dalam pengetahuan agama Islam; kedua berdasarkan tingkat ketaatan beragama; dan ketiga berdasarkan moral dan etika perilaku sehari- hari.
Dalam pengelompokan yang pertama, orang yang pengetahuan agamanya sedikit disebut wong bodo, yang memiliki pengetahuan sangat luas disebut wong alim, atau wong pinter. Sedangkan di antara dua kelompok itu terdapat kelompok masyarakat yang tahu secara umum hal- hal mendasar tentang agama, yang kemudian dikelompokkan berdasarkan tingkat ketaatan, yaitu wong santri dan dudu wong santri.
Pengelompokan terakhir, berdasarkan moral dan etika, menghasilkan wong bener dan wong mlaun, yang dilihat dari apakah mereka melakukan atau tidak, salah satu atau lebih dari malima (lima dosa). Malima yaitu madat (mengisap candu), maling (mencuri), maen (berjudi), madon (berganti-ganti wanita), dan mabok (minum minuman keras).
Berdasarkan kategori-kategori yang lebih dinamis itu, Muhaimin memotret praktek kehidupan sosio-religiusitas masyarakat Jawa Cirebon. Ia melakukan survei tentang sistem kepercayaan, mitologi, dan kosmologi tradisi Cirebon dengan metodologi yang hampir sama dengan yang dilakukan Geertz. Muhaimin melakukan depth-interview dan observasi mengenai bentuk pelaksanaan Islam yang dilakukan orang- orang desa.
Hasilnya, ia mengelompokkan praktek ritual menjadi tiga: praktek ritual dalam bentuk ibadah khusus, praktek ritual yang masuk dalam acara-acara adat, dan terakhir adalah ritual pemujaan terhadap orang suci. Buku ini menjadi penting bagi para antropolog, budayawan, dan sejarawan, dalam hal pengujian suatu pendekatan alternatif tentang masyarakat Jawa.
Amelia Fauzia
Dosen sejarah Islam, Fakultas Adab, IAIN Jakarta
Ini berawal dari perbedaan pandang dan interpretasi "orang luar" terhadap fenomena sosial-religius masyarakat "pribumi". Itu sebabnya, De Jonge menyarankan perpaduan antara penelitian antropologis yang outward dan inward looking, agar kedalaman pengetahuan dan keterampilan metodologis dapat menjadi kekuatan yang utuh.
Seperti halnya beberapa karya antropologis yang mengkritik The Religion of Java, studi Muhaimin berawal dari tujuan yang sama. Adalah keistimewaan karya Geertz, walau trikotomi santri-priayi- abangan-nya mendapat kritikan keras, konsep trikotominya menjadi makin terkenal. Dan secara tidak langsung dipakai sebagai pijakan untuk melihat masyarakat muslim Indonesia.
Muhaimin mencoba memberikan gambaran tentang bentuk pelaksanaan Islam yang dilakukan orang-orang desa menurut versi mereka sendiri. Salah satu keberatan Muhaimin terhadap Geertz adalah argumen sinkretis yang digunakannya, sehingga Islam digambarkan hanya menyentuh kulit luar tradisi Hindu-Buddha-animistis, yang berakar kuat dalam masyarakat sebelum kedatangan Islam.
Menurut Muhaimin, kekeliruan utama Geertz adalah mencampurkan kategori keagamaan dengan kategori sosial dalam satu kelompok. Bahkan yang dianggap Geertz sebagai ciri khas utama orang abangan, upacara slametan, sebenarnya berasal dari konsep ajaran Islam yang asalnya dari bahasa Arab salama (selamat).
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai kehidupan sosio-religius masyarakat Cirebon, Muhaimin mencoba melakukan pendekatan alternatif. Ia membuat tiga kategorisasi mengenai sosio-religiusitas masyarakat Cirebon. Pertama berdasarkan penguasaan seseorang dalam pengetahuan agama Islam; kedua berdasarkan tingkat ketaatan beragama; dan ketiga berdasarkan moral dan etika perilaku sehari- hari.
Dalam pengelompokan yang pertama, orang yang pengetahuan agamanya sedikit disebut wong bodo, yang memiliki pengetahuan sangat luas disebut wong alim, atau wong pinter. Sedangkan di antara dua kelompok itu terdapat kelompok masyarakat yang tahu secara umum hal- hal mendasar tentang agama, yang kemudian dikelompokkan berdasarkan tingkat ketaatan, yaitu wong santri dan dudu wong santri.
Pengelompokan terakhir, berdasarkan moral dan etika, menghasilkan wong bener dan wong mlaun, yang dilihat dari apakah mereka melakukan atau tidak, salah satu atau lebih dari malima (lima dosa). Malima yaitu madat (mengisap candu), maling (mencuri), maen (berjudi), madon (berganti-ganti wanita), dan mabok (minum minuman keras).
Berdasarkan kategori-kategori yang lebih dinamis itu, Muhaimin memotret praktek kehidupan sosio-religiusitas masyarakat Jawa Cirebon. Ia melakukan survei tentang sistem kepercayaan, mitologi, dan kosmologi tradisi Cirebon dengan metodologi yang hampir sama dengan yang dilakukan Geertz. Muhaimin melakukan depth-interview dan observasi mengenai bentuk pelaksanaan Islam yang dilakukan orang- orang desa.
Hasilnya, ia mengelompokkan praktek ritual menjadi tiga: praktek ritual dalam bentuk ibadah khusus, praktek ritual yang masuk dalam acara-acara adat, dan terakhir adalah ritual pemujaan terhadap orang suci. Buku ini menjadi penting bagi para antropolog, budayawan, dan sejarawan, dalam hal pengujian suatu pendekatan alternatif tentang masyarakat Jawa.
Amelia Fauzia
Dosen sejarah Islam, Fakultas Adab, IAIN Jakarta