Ujung Timur Jawa 1763-1818: Perebutan Hegemoni Blambangan
Judul: Ujung Timur Jawa 1763-1818: Perebutan Hegemoni Blambangan
Penulis: Sri Margana
Penerbit: Pustaka Infada, 2012
Tebal: 376 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 120.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, panggung sejarah Indonesia, khususnya Jawa, ditandai oleh dua fenomena menarik. Pertama, melemahnya atau bahkan runtuhnya kerajaan-kerajaan lama bercorak Hindu-Buddha. Kedua, munculnya Islam sebagai kekuatan politik baru yang menunjukkan pengaruh kian besar.
Setelah Kerajaan Majapahit jatuh sekitar tahun 1527, di Pulau Jawa hanya terdapat dua kerajaan Hindu yang masih berdiri: Pajajaran di Jawa Barat dan Blambangan di Pasuruan, Jawa Timur. Selanjutnya Kerajaan Blambangan ditaklukkan Demak pada 1546 (Kartodirdjo, 1987: 31).
Namun tak ada berita pasti kapan Kerajaan Blambangan berdiri. Dari kisah Damarwulan-Minakjinggo, baru diketahui bahwa pada masa Majapahit, kerajaan ini telah ada dan berdaulat. Namun sebelumnya ada beberapa sumber yang memuat nama Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis pada abad ke-18), Serat Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis pada 1774).
Melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesulitan menentukan sejarah awal kerajaan ini. Tapi, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, ada sedikit celah terkuak bagi guna menuju pencarian awal mula Blambangan.
Dimulai dari peristiwa larinya Raden Wijaya dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura, meminta bantuan kepada Arya Wiraraja untuk menjatuhkan Jayakatwang yang menggulingkan Kertanagara di Singasari. Dalam naskah (ditulis pada abad ke-19), Raden Wijaya disebut-sebut berjanji membagi dua wilayah kekuasaannya jika Jayakatwang jatuh.
Namun, pada 1296, Wiraraja tidak berkuasa lagi. Ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Lewat buku ini, Sri Margana mencoba menjelaskan bahwa penyebab hilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahit terjadi karena salah satu putranya, Ranggalawe, memberontak pada 1395. Wiraraja pun sakit hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah di janjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribu kota di Lamajang (kini Lumajang).
Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia di gantikan oleh putranya, Arya Nambi, dari tahun 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh karena intrik politik pada 1331, tahta Kerajaan Blambangan kosong hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan bersesuaian dengan yang tertulis di Pararaton. Dalam Pararaton dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi, yang setelah kematian ayahnya bernama Pranaraja, sedangkan Kidung Harsawijaya menyebutkan bahwa ayah Nambi adalah Wiraraja.
Kesesuaian cerita tentang adanya kerajaan timur dan kerajaan barat juga ditemukan dalam kronik Cina di zaman Dinasti Ming. Catatan itu menyebutkan, pada 1403 di Jawa ada kerajaan barat dan timur yang sedang berseteru. Sedangkan Pararaton menyebutkan bahwa pada 1328 Saka (sekitar tahun 1406), pecah Perang Paregreg antara penguasa kerajaan barat di bawah Wikramawardhana dan penguasa kerajaan timur di bawah Bhre Wirabhumi. Wikramawardhana memenangkan perang ini. Wirabhumi yang tertangkap dalam upaya pelariannya pun dipancung.
Buku Sri Margana yang awalnya disertasi di Universitas Leiden, Belanda (2007), ini memberi gambaran lebih rinci ihwal riwayat Kerajaan Blambangan. Selain itu, kita juga dapat menelusuri sejarah beberapa kota yang berkaitan dengan kerajaan itu di kemudian hari hingga zaman kolonial Belanda.
Oleh: M. Nafiul Haris, Peneliti Di El-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim
Penulis: Sri Margana
Penerbit: Pustaka Infada, 2012
Tebal: 376 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 120.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, panggung sejarah Indonesia, khususnya Jawa, ditandai oleh dua fenomena menarik. Pertama, melemahnya atau bahkan runtuhnya kerajaan-kerajaan lama bercorak Hindu-Buddha. Kedua, munculnya Islam sebagai kekuatan politik baru yang menunjukkan pengaruh kian besar.
Setelah Kerajaan Majapahit jatuh sekitar tahun 1527, di Pulau Jawa hanya terdapat dua kerajaan Hindu yang masih berdiri: Pajajaran di Jawa Barat dan Blambangan di Pasuruan, Jawa Timur. Selanjutnya Kerajaan Blambangan ditaklukkan Demak pada 1546 (Kartodirdjo, 1987: 31).
Namun tak ada berita pasti kapan Kerajaan Blambangan berdiri. Dari kisah Damarwulan-Minakjinggo, baru diketahui bahwa pada masa Majapahit, kerajaan ini telah ada dan berdaulat. Namun sebelumnya ada beberapa sumber yang memuat nama Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis pada abad ke-18), Serat Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis pada 1774).
Melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesulitan menentukan sejarah awal kerajaan ini. Tapi, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, ada sedikit celah terkuak bagi guna menuju pencarian awal mula Blambangan.
Dimulai dari peristiwa larinya Raden Wijaya dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura, meminta bantuan kepada Arya Wiraraja untuk menjatuhkan Jayakatwang yang menggulingkan Kertanagara di Singasari. Dalam naskah (ditulis pada abad ke-19), Raden Wijaya disebut-sebut berjanji membagi dua wilayah kekuasaannya jika Jayakatwang jatuh.
Namun, pada 1296, Wiraraja tidak berkuasa lagi. Ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Lewat buku ini, Sri Margana mencoba menjelaskan bahwa penyebab hilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahit terjadi karena salah satu putranya, Ranggalawe, memberontak pada 1395. Wiraraja pun sakit hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah di janjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribu kota di Lamajang (kini Lumajang).
Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia di gantikan oleh putranya, Arya Nambi, dari tahun 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh karena intrik politik pada 1331, tahta Kerajaan Blambangan kosong hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan bersesuaian dengan yang tertulis di Pararaton. Dalam Pararaton dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi, yang setelah kematian ayahnya bernama Pranaraja, sedangkan Kidung Harsawijaya menyebutkan bahwa ayah Nambi adalah Wiraraja.
Kesesuaian cerita tentang adanya kerajaan timur dan kerajaan barat juga ditemukan dalam kronik Cina di zaman Dinasti Ming. Catatan itu menyebutkan, pada 1403 di Jawa ada kerajaan barat dan timur yang sedang berseteru. Sedangkan Pararaton menyebutkan bahwa pada 1328 Saka (sekitar tahun 1406), pecah Perang Paregreg antara penguasa kerajaan barat di bawah Wikramawardhana dan penguasa kerajaan timur di bawah Bhre Wirabhumi. Wikramawardhana memenangkan perang ini. Wirabhumi yang tertangkap dalam upaya pelariannya pun dipancung.
Buku Sri Margana yang awalnya disertasi di Universitas Leiden, Belanda (2007), ini memberi gambaran lebih rinci ihwal riwayat Kerajaan Blambangan. Selain itu, kita juga dapat menelusuri sejarah beberapa kota yang berkaitan dengan kerajaan itu di kemudian hari hingga zaman kolonial Belanda.
Oleh: M. Nafiul Haris, Peneliti Di El-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim