Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hari Terakhir Kartosoewirjo

Pria berkemeja putih itu tampak lebih tua dari usianya yang menginjak 57 tahun. Peci hitam terpasang miring menutupi rambutnya yang sudah jarang dan memutih. Tubuhnya kurus, wajahnya keriput, lelaki kelahiran 7 Februari 1905 itu tampak tetap tenang sambil mengisap sebatang rokok.

Istrinya, Dewi Siti Kalsum, serta kelima anaknya --Tahmid Rahmat Basuki, Dodo Mohammad Darda, Kartika, Komalasari, dan Danti-- tampak menemani. Mereka sengaja dijemput dari desa mereka di Malangbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, untuk santap siang bersamanya dengan lauk daging rendang di Kejaksaan Agung.

Santap siang pada Rabu 5 September 1962 itu menjadi perjamuan terakhir lelaki bernama langkap Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo itu bersama keluarganya. Ini satu-satunya permintaan terakhirnya yang dikabulkan mahkamah militer. Sebagai Imam Darul Islam sekaligus Panglima Tertinggi Tentara Islam Indonesia (TII), permintaan pertama Kartosoewirjo sebenarnya ingin dipertemukan dengan para perwira terdekatnya. Permintaan itu tidak dikabulkan karena dikhawatirkan dapat memunculkan dampak politik.

Permintaan kedua, ia ingin eksekusi matinya disaksikan perwakilan keluarga. Permintaan ketiga, ia ingin jenazahnya dikembalikan kepada pihak keluarga. Dua permintaan ini juga ditolak. Hanya permintaan keempat yang dikabulkan: bertemu dengan keluarga sebelum dieksekusi.

Perjamuan terakhir itulah yang tergambar pada 12 foto awal yang tersaji dalam buku yang dibesut Fadli Zon Library pada Rabu pekan lalu. Tanggal 5 September memang sengaja dipilih untuk peluncuran buku dokumentasi berisi 81 foto hari-hari terakhir Kartosoewirjo ini. “Ya, karena bertepatan 50 tahun setelah kejadiannya,” ujar Fadli Zon di sela-sela peluncuran buku itu.

Cerita tentang hari-hari terakhir Kartosoewirjo ini masih menjadi misteri selama setengah abad. Dan penerbitan buku ini justru mengungkapkan hal yang dirahasiakan dalam kurun masa itu. Fadli menilai, publikasi ini mengungkap fakta baru yang bermanfaat bagi sejarawan dan khalayak. Proklamator Negara Islam Indonesia (NII) itu ternyata bukan dieksekusi dan dimakamkan di Pulau Onrust, melainkan di Pulau Ubi --keduanya masuk dalam jajaran Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. “Selama ini, banyak orang yang berziarah ke Pulau Onrust. Kan, kasihan,” katanya.

Bicara Kartosoewirjo adalah bicara tentang pergulatan pemikiran yang diiringi perlawanan bersenjata. Mantan sekretaris H.O.S. Tjokroaminoto itu menghendaki berdirinya sebuah negara berasas Islam di negeri ini. Uniknya, ketika seluruh pasukan TNI hijrah ke Jawa Tengah akibat Perjanjian Renville, ia dan pengikutnya memilih tetap berada di Jawa Barat untuk memerangi Belanda.

Saat terjadi kekosongan kekuasaan akibat agresi militer II Belanda, ia bersama para pengikutnya turut mengangkat senjata dan mengumumkan jihad fi sabilillah. Pada 21 Desember 1948, ia menyatakan NII dalam keadaan darurat perang. Lalu ia bersama beberapa rekannya memproklamasikan NII pada 7 Agustus 1949.

Itulah yang diterjemahkan sebagai gerakan pemberontakan untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Seperti tercatat dalam buku sejarah, upaya memadamkan gerakan DI/TII Kartosoewirjo makan waktu tak kurang dari 11 tahun, ditandai dengan tertangkapnya sang imam pada 4 Juni 1962. Saat tertangkap, kondisi kesehatan Kartosoewirjo sudah memburuk. Tubuhnya kurus karena kurang makan selama dalam masa gerilya. Lambungnya pun bengkak. Wajar jika proklamator NII itu terlihat lebih tua dari usianya.

Dua bulan setelah ia ditangkap, pada 6 Agustus 1962, Presiden Soekarno mengistruksikan agar Kartosoewirjo secepatnya diadili. Selama tiga hari berturut-turut, 14-16 Agustus 1962, Kartosoewirjo diadili Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Djawa dan Madura, yang diketuai Letnan Kolonel CKH Sukarna.

Di depan mahkamah militer itu, Kartosoewirjo dituding melakukan tiga kejahatan. Pertama, memimpin dan mengatur penyerangan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Kedua, memimpin dan mengatur pemberontakan melawan pemerintahan yang sah. Ketiga, memerintahkan pembunuhan presiden yang dilakukan secara berturut-turut dan terakhir dalam peristiwa Idul Adha.

Dalam proses peradilan itu, Kartosoewirjo membantah tuduhan kedua dan ketiga. Ia mengatakan bahwa tuduhan upaya membunuh Presiden Soekarno mengada-ada, yang disusun untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Namun upaya pembelaan panglima yang kalah perang itu kandas. Walhasil, dalam persidangan hari ketiga, 16 Agustus 1962, ia dinyatakan terbukti bersalah dan divonis mati. Grasi yang diajukannya pada 20 Agustus 1962 ditolak Presiden Soekarno, yang pernah menjadi sahabatnya pada 1920-an.

Yang juga masih jadi misteri adalah saat eksekusi mati sang imam --apakah persis pada 5 September atau pada hari-hari setelah itu. Yang jelas, saat hukuman mati dilaksanakan, Tahmid bersama ibu dan empat adiknya sudah kembali ke Malangbong. Cerita selanjutnya, tentang urut-urutan peristiwa menjelang eksekusi hingga pemakaman, tergambar cukup lengkap lewat 69 foto lainnya yang tersaji dalam buku ini.

Mulai saat ia menunaikan salat taubat, ketika diborgol, hingga mengisap rokok terakhir yang ada di kantong bajunya. Lalu terpotret pula momen-momen ketika ia digiring ke kapal yang mengangkutnya menuju lokasi eksekusi di Pulau Ubi, satu dari 156 pulau di Kepulauan Seribu. Di tanah lapang yang tampaknya tak jauh dari pantai pulau itulah ia menjalani hukuman di depan regu tembak.

Setelah dinyatakan benar-benar wafat oleh tim dokter, tubuhnya diangkat, dimandikan dengan air laut, dikafani, kemudian disalati. Prosesi pemakamannya sederhana, dan liang lahatnya terkesan amat dangkal. Nisannya pun hanya sebongkah batu di balik pepohonan yang ada di pulau itu.

Tak seorang pun famili atau kerabatnya yang hadir dalam pemakaman itu. Keluarganya hanya menerima barang-barang peninggalan terakhir: piyama bermotif kotak-kotak cokelat, jam tangan Rolex, pulpen Parker, tempat rokok Cap Kuda, dan gigi palsu. Khusus arloji Rolex jatuh ke tangan anak bungsunya, Sardjono. “Sayang, rumah saya pernah kemalingan dan jam tangan Rolex Ayah ikut hilang,” kata Sardjono.

Perjamuan terakhir itu memang sudah 50 tahun berlalu, tapi Tahmid masih mengingat setiap detail peristiwa yang dialaminya. Mata tuanya tampak berkaca-kaca melihat potret terakhir bersama ayahandanya. “Semua makhluk Allah itu akan mati. Bukan karena Bapak saat ini mau dieksekusi..., bukan. Itu mah sebab saja. Mau dieksekusi atau tidak, tetep akan mati,” katanya mengenang ucapan terakhir sang ayah.

Oleh: Ade Faizal Alami