Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia

Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia
Penulis: Jajat Burhanuddin
Penerbit: Mizan, Bandung, Juni 2012, xii + 482 halaman

Islam mengalami dinamika yang khas dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Kiprahnya menjadi bagian yang senantiasa mewarnai setiap perhelatan politik. Walaupun, sepanjang sejarah Indonesia, Islam tidak pernah memegang posisi pemenang. Alih-alih muncul sebagai pemenang, justru membawa ekses negatif di tubuh internal mereka.

Salah satunya berkaitan dengan keterlibatan ulama dalam politik. Ditinjau dari sisi tujuan, masuknya ulama ke kancah politik merupakan pilihan mulia. Namun, dalam realitasnya, politik telah membangun demam popularitas serta menenggelamkan ulama dan umat dalam kemenangan semu.

Jika melihat esensinya, ulama memang penerus risalah kenabian. Interpretasi tugas inilah yang kemudian diimplementasikan pada urusan domestik pesantren asuhannya. Namun, seiring dengan perubahan zaman, banyak yang kemudian menafsirkannya lebih luas, ter masuk memasuki kancah politik kekuasaan. Inilah yang kemudian menjadikan ulama bak “selebriti politik” yang diperebutkan para fans-nya. Posisi ulama sebagai “pemilik umat” pun dijadikan jembatan alternatif dalam pemenangan pertarungan para elite politik.

Selain itu, kultus sebagai orang yang punya karisma menambah daya pikat tersendiri. Tak ayal bila kemudian mereka mendudukkan diri sebagai bagian yang signifikan untuk menempatkan diri sebagai aktor pemilik tiket guna melenggang pada kekuasaan negara. Ketundukan dan kepasrahan yang melekat erat pada umat dijadikan modal bargaininguntuk mendapatkan posisi politik. Figur ulama yang menjadi pemikat ampuh pun terkadang disalahgunakan politisi busuk.

Realitas ini yang kemudian me-mungkinkan ulama berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan. Peran ulama tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, melainkan juga aspek kehidupan sosial yang lebih luas. Prinsip demikian koheren dengan argumentasi Clifford J. Geertz (1981), yang menunjukkan peran ulama tidak hanya sebagai mediator hukum dan doktrin Islam, melainkan juga sebagai agen perubahan sosial dan perantara budaya.

Ini berarti, ulama memiliki kemampuan menjelajah banyak ruang karena luasnya peran yang diembannya. Sejak Islam menjadi “agama resmi” orang Jawa, para penguasa harus berkompetisi dengan pembawa panji-panji Islam atau para ulama dalam bentuk hierarki kekuasaan.

Sejarah mencatat kontribusi para ulama dalam proses kebangsaan. Di samping memimpin pondok pesantren, mereka juga terlibat dalam perumusan undang-undang dan pengorganisasi an massa untuk mengusir penjajah. Dalam perjalanan sejarah kebangsaan, dualitas fungsi ulama ini sangat terasa.

Ulama dengan karisma dirinya tidak hanya menjadi elite agama, melainkan juga tokoh masyarakat yang berkompeten dalam mewarnai corak dan bentuk kepemimpinan. Tipe kepemimpinan karismatik yang melekat pada dirinya menjadi tolok ukur kewibawaan pesantren. Dilihat dari segi kehidupan santri, karisma ulama merupakan karunia yang diperoleh dari kekuatan dan anugerah Tuhan.

Di tengah krisis kepemimpinan, sistem pemerintahan, dan kenegaraan belakangan ini, pengembalian peran ulama karismatis menjadi amat penting. Ia tidak hanya menjadi penjaga moralitas umat, melainkan juga mengembalikan tata perpolitikan dan pendidikan Indonesia yang mengedepankan moralitas dan karakter bangsa.

Buku yang asalnya disertasi di Universitas Leiden, Belanda, ini mencoba menelusuri peran ulama itu. Studi ini menekankan pada sejarah sosial dan intelektual, yang relatif terabaikan dalam studi tentang ulama Indonesia. Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan historis tentang ulama kontemporer: revitalisasi dan reformulasi tradisi untuk beradaptasi dengan tuntutan baru modernitas.

Jajat memulai penelusuran peran ulama dengan memaparkan sejarah penyebaran Islam melalui jalur perdagangan dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Juga awal terbentuknya jaringan ulama Nusantara dengan pusat-pusat Islam di Timur Tengah (Mekkah-Madinah). Pada masa itu, posisi ulama begitu dihormati dan di muliakan pihak kerajaan. Sebagian diangkat menjadi penasihat kerajaan, pendidik keluarga raja, dan ditempatkan di institusi hukum kerajaan untuk memutuskan perkara di masyarakat berdasarkan hukum Islam.

M. Nafiul Haris
Peneliti di El-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang