Gayatri Rajapatni: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit
Gayatri Rajapatni: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit
Penulis: Earl Drake
Penerbit: Ombak, Yogyakarta, Februari 2012, xvi + 192 halaman
Perempuan dalam kekuasaan kerap hadir dalam narasi pinggiran. Pengarusutamaan perempuan dalam traktat kekuasaan tak lebih dari sekadar pendamping raja yang tak memiliki peran penting dalam tegak hancurnya suatu kekuasaan.
Sejarah Indonesia sangat jarang mencatat dengan tinta emas peran perempuan yang berhasil meneguhkan eksistensi raja laki-laki. Model penulisan sejarah yang “patriarkis” ini mau tak mau mengonstruksi nalar bawah sadar kekuasaan kita, bahwa kekuasaan identik dengan raja (pemimpin) laki-laki.
Majapahit dipahami masyarakat merupakan kerajaan besar yang berhasil menyatukan Nusantara (wilayah Indonesia sekarang) dengan tambahan beberapa wilayah negara lain. Sejarah hanya mencatat nama Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Mereka menjadi dwitunggal yang bahu-membahu menyatukan Nusantara.
Namun benarkah di balik kebesaran nama Majapahit, tidak ada kisah heroik perempuan yang terselip di antara gagahnya Hayam Wuruk dan Gajah Mada? Jawabnya ada. Namanya Gayatri Rajapatni, seorang “ratu” yang men jadi inspirasi bagi pejabat-pejabat di Majapahit, termasuk Gajah Mada.
Jangan membayangkan bahwa kita akan mendapatkan kisah heroik Ga yatri laiknya heorisme Gajah Mada. Gayatri mirip seorang sutradara yang mengarahkan pemeran utama (Hayam Wuruk dan Gajah Mada) untuk berperan aktif di “depan layar”. Sang “sutradara” ini akan mengingatkan jika “pemainnya” melakukan kesalahan.
Sebagai anak Kertanegara dan istri pendiri Majapahit, Raden Wijaya, Gayatri menjadi titik tolak penerus citacita ayahnya yang ingin menguasai wilayah Nusantara. Ia melahirkan Ratu Tribhuwanatunggadewi, ibu Hayam Wuruk. Dari silsilah ini terungkap, misi menyatukan Nusantara tidaklah hadir secara cepat, melainkan melewati tiga generasi. Dengan kata lain, Hayam Wuruk dan Gajah Mada merupakan generasi emas Majapahit, karena di masa merekalah Nusantara berhasil dipersatukan.
Melalui pelbagai kelebihan yang dimilikinya, dia mampu tampil memberi nilainilai teologis kepada pejabat Majapahit. Gajah Mada merupakan orang cerdas yang sayangnya lahir dari kalangan rakyat jelata. Secara politis, dia tak bisa berinisiatif mengambil kebijakan penting, karena dia mesti tunduk pada titah raja sebagai manifestasi dewata.
Dalam konteks inilah Gayatri berperan membuat keputusan penting, dengan Gajah Mada sebagai eksekutornya. Jika dipahami secara terbalik, bisa jadi Gajah Mada sebagai inisiator, dan Gayatri sebagai legislator, yang akan membuat tindakan Gajah Mada memperoleh legitimasi dewata.
Gayatri menjalankan perannya dengan benarbenar menjadi ibu bagi Majapahit. Ia menjadi penyemangat sekaligus tempat bersandar para pembesar Majapahit ketika mengalami kebuntuan dalam menjalankan roda pemerintahan. Petuahnya memiliki dimensi sakral yang sering dipatuhi oleh Gajah Mada.
Namun sayangnya ketika Majapahit memperoleh kejayaan dengan di persatukannya Nusantara, Gayatri memilih menyingkir, dengan menjadi biksuni. Saat itu usianya pasti sudah sepuh, dan tugastugasnya sebagai ideolog di Majapahit waktunya usai. Situasi inilah yang menyebabkannya nyaris tak tersentuh sejarawan, karena kejayaan Majapahit telanjur mengenal Hayam Wuruk dan Gajah Mada sebagai aktor utama.
Dari sini menjadi terang benderang bahwa perempuan tak bisa dinihilkan begitu saja dalam kekuasaan. Kita bisa membandingkan peran Inggit Ganarsih bagi Sukarno, Ibu Tien bagi Soeharto, dan pendamping penguasa lainnya. Kendati tampil di belakang layar, perempuanperempuan inilah yang terbukti dapat menopang kekuasaan dengan aktor yang tampak adalah lakilaki.
Sebagai sejarawan sekaligus mantan Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Drake menulis buku ini berdasarkan rasa penasaran. Apakah Majapahit memang tak menyediakan ruang bagi perempuan untuk mencetak sejarah? Dari situlah dia menelusuri artefak sejarah yang kemudian direkonstruksi sehingga menemukan fakta yang mengejutkan ini.
Junaidi Abdul Munif
Direktur El-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang
Penulis: Earl Drake
Penerbit: Ombak, Yogyakarta, Februari 2012, xvi + 192 halaman
Perempuan dalam kekuasaan kerap hadir dalam narasi pinggiran. Pengarusutamaan perempuan dalam traktat kekuasaan tak lebih dari sekadar pendamping raja yang tak memiliki peran penting dalam tegak hancurnya suatu kekuasaan.
Sejarah Indonesia sangat jarang mencatat dengan tinta emas peran perempuan yang berhasil meneguhkan eksistensi raja laki-laki. Model penulisan sejarah yang “patriarkis” ini mau tak mau mengonstruksi nalar bawah sadar kekuasaan kita, bahwa kekuasaan identik dengan raja (pemimpin) laki-laki.
Majapahit dipahami masyarakat merupakan kerajaan besar yang berhasil menyatukan Nusantara (wilayah Indonesia sekarang) dengan tambahan beberapa wilayah negara lain. Sejarah hanya mencatat nama Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Mereka menjadi dwitunggal yang bahu-membahu menyatukan Nusantara.
Namun benarkah di balik kebesaran nama Majapahit, tidak ada kisah heroik perempuan yang terselip di antara gagahnya Hayam Wuruk dan Gajah Mada? Jawabnya ada. Namanya Gayatri Rajapatni, seorang “ratu” yang men jadi inspirasi bagi pejabat-pejabat di Majapahit, termasuk Gajah Mada.
Jangan membayangkan bahwa kita akan mendapatkan kisah heroik Ga yatri laiknya heorisme Gajah Mada. Gayatri mirip seorang sutradara yang mengarahkan pemeran utama (Hayam Wuruk dan Gajah Mada) untuk berperan aktif di “depan layar”. Sang “sutradara” ini akan mengingatkan jika “pemainnya” melakukan kesalahan.
Sebagai anak Kertanegara dan istri pendiri Majapahit, Raden Wijaya, Gayatri menjadi titik tolak penerus citacita ayahnya yang ingin menguasai wilayah Nusantara. Ia melahirkan Ratu Tribhuwanatunggadewi, ibu Hayam Wuruk. Dari silsilah ini terungkap, misi menyatukan Nusantara tidaklah hadir secara cepat, melainkan melewati tiga generasi. Dengan kata lain, Hayam Wuruk dan Gajah Mada merupakan generasi emas Majapahit, karena di masa merekalah Nusantara berhasil dipersatukan.
Melalui pelbagai kelebihan yang dimilikinya, dia mampu tampil memberi nilainilai teologis kepada pejabat Majapahit. Gajah Mada merupakan orang cerdas yang sayangnya lahir dari kalangan rakyat jelata. Secara politis, dia tak bisa berinisiatif mengambil kebijakan penting, karena dia mesti tunduk pada titah raja sebagai manifestasi dewata.
Dalam konteks inilah Gayatri berperan membuat keputusan penting, dengan Gajah Mada sebagai eksekutornya. Jika dipahami secara terbalik, bisa jadi Gajah Mada sebagai inisiator, dan Gayatri sebagai legislator, yang akan membuat tindakan Gajah Mada memperoleh legitimasi dewata.
Gayatri menjalankan perannya dengan benarbenar menjadi ibu bagi Majapahit. Ia menjadi penyemangat sekaligus tempat bersandar para pembesar Majapahit ketika mengalami kebuntuan dalam menjalankan roda pemerintahan. Petuahnya memiliki dimensi sakral yang sering dipatuhi oleh Gajah Mada.
Namun sayangnya ketika Majapahit memperoleh kejayaan dengan di persatukannya Nusantara, Gayatri memilih menyingkir, dengan menjadi biksuni. Saat itu usianya pasti sudah sepuh, dan tugastugasnya sebagai ideolog di Majapahit waktunya usai. Situasi inilah yang menyebabkannya nyaris tak tersentuh sejarawan, karena kejayaan Majapahit telanjur mengenal Hayam Wuruk dan Gajah Mada sebagai aktor utama.
Dari sini menjadi terang benderang bahwa perempuan tak bisa dinihilkan begitu saja dalam kekuasaan. Kita bisa membandingkan peran Inggit Ganarsih bagi Sukarno, Ibu Tien bagi Soeharto, dan pendamping penguasa lainnya. Kendati tampil di belakang layar, perempuanperempuan inilah yang terbukti dapat menopang kekuasaan dengan aktor yang tampak adalah lakilaki.
Sebagai sejarawan sekaligus mantan Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Drake menulis buku ini berdasarkan rasa penasaran. Apakah Majapahit memang tak menyediakan ruang bagi perempuan untuk mencetak sejarah? Dari situlah dia menelusuri artefak sejarah yang kemudian direkonstruksi sehingga menemukan fakta yang mengejutkan ini.
Junaidi Abdul Munif
Direktur El-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang