Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yang Mengenal Dirinya, Yang Mengenal Tuhannya

gambar
Rp.10.000,- WA 085225918312 Obral
Judul: Yang Mengenal Dirinya, Yang Mengenal Tuhannya
Penulis: Jalaluddin Rumi
Penerbit: Pustaka Hidayah, 2006
Tebal: 355 halaman (hard cover)
Kondisi: Bagus (Ori Stok Lama)

Pada Oktober 1244, datanglah darwisy pengelana bernama Syamsuddin dari Tabriz ke Konya. Suatu hari, guru agama utama kota Konya, Jalaluddin Rumi, yang baru empat tahun jadi guru sufi, lewat di depan penginapan darwisy yang nyentrik dan misterius itu. Tiba-tiba saja Syamsuddin keluar, dan memegang kendali kuda Rumi.

Ia lalu bertanya, "Wahai pemimpin muslim, manakah yang lebih agung, Bayazid atau Nabi Muhammad?" Pertanyaan "subversif" itu mengguncang Rumi. Ia mengaku, "... kebakaran besar muncul dalam diriku dan menimbulkan api ke otakku." Rumi, yang mengerti syariat luar-dalam, mendalami tafsir dan ilmu hadis, juga ilmu kalam, tak serta merta mengutuk pertanyaan itu.

Ia malah menganggapnya "sebuah pertanyaan sulit" (halaman 11). Ia menjawab, Nabi SAW adalah yang paling agung dari semua manusia, kenapa membandingkannya dengan Bayazid? Syamsuddin bersikeras. Bagaimana mungkin Nabi manusia teragung, katanya, lalu ia menyitir ucapan Nabi: "Kami belum mengetahui Engkau dengan cara sebagaimana mestinya Engkau diketahui."

Sedangkan Bayazid, kata Syams, telah menyatakan persatuan dengan Allah dan berani mengatakan, "... Aku adalah kuasa segala Kuasa!" Rumi menjawab, kehausan Bayazid terpuaskan oleh hanya satu tegukan, sedangkan Nabi meminta lebih banyak minum dan selalu dahaga. Jawaban itu membuat Syams menangis dan pingsan. Tapi, Rumi telah berubah selamanya karena Syams.

Time edisi khusus, 31 Desember 1999, menulis: "Tuhan Sang Pembalas; Tuhan Sang Raja." Tapi Rumi, lebih dari semua mistisis dari semua kepercayaan, berani mengungkap bahwa Tuhan adalah Keindahan. Dalam ekstase ia melahirkan 25.000 bait puisi yang terkumpul di enam jilid buku Matsnavi-i Ma'navi. Sebuah magnum opus dari segi keindahan pengucapan dan nilai ajarannya.

Jika Matsnavi disandingkan dengan magnum opus-nya ini, Fihi Ma Fihi, lengkaplah sosok pecinta nan lembut, tapi teguh, itu. Fihi Ma Fihi (dari ungkapan Ibn Arabi, yang berarti "di dalamnya, segala yang di dalam") adalah kumpulan kuliah, wacana, obrolan, dan opini Rumi atas berbagai masalah.

Di dalamnya hadir Rumi yang penuh sadar, sabar mengurai berbagai hakikat dan hikmah. Salah satu ajarannya adalah bahwa kita tak akan sampai pada hakikat jika mengabaikan syariat. Di antara banyak hal, kitab ini menampilkan kegelisahan Rumi, sang penyair dan guru, atas kata-kata.

Di satu sisi ia berkata, "Aku dikesalkan syair. Aku tidak berpikir ada... yang lebih buruk dari syair" (halaman 24). Sebab, "Apa perlunya kata bagi yang mampu memahami tanpa perantaraan kata-kata?" (halaman 60). Di sisi lain, setelah menyatakan bahwa "perbuatan" adalah isi batin, Rumi menyatakan, "... ucapan dilahirkan dari perbuatan... iman berada di dalam hati. Tapi bila engkau tidak mengatakannya terus terang, tidak ada gunanya" (halaman 125). Akhirnya, seperti judul bab 26, "Kata-kata Bagaikan Pengantin Perempuan, Pahamilah dengan Cinta".

Kegelisahan itu bagian dari kegelisahan Rumi akan "bentuk" dan "isi", akan "syariat" dan "hakikat". Agaknya, bagi Rumi, cinta adalah memelihara ketegangan antara bentuk dan isi. Dalam bab "Yang akan Membunuhku adalah Rahmat yang Tak Terbandingkan", Rumi berkata, "Gagasan itu begitu mengesankanku dan sangat aneh, bagaimana orang- orang yang telah menghafal Al-Quran tidak sanggup memasuki wilayah mistik."

Buku ini merupakan terjemahan Inggris terbitan Malaysia, Signs of The Unseen: The Discourse of Jalaluddin Rumi. Terjemahannya cukup bagus dan dilengkapi glosari yang bermanfaat di bagian akhir. Sayang, sampulnya jelek -sesuatu yang fatal di tengah banjir sampul artistik industri buku kita saat ini. Mungkin, ini metafora tak sengaja. Jika kita hanya menilai sampul (bentuk), kita kehilangan hakikat (isi) buku dahsyat ini.
Pesan Sekarang