Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mata yang Mendengar: Arsitektur Bagi Tunarungu

Mata yang Mendengar: Arsitektur Bagi Tunarungu
Penulis: Meutia Rin Diani
Penerbit: Lamalera, Yogyakarta, Mei 2012, xxii + 167 halaman

Normal menjadi kata yang hegemonis. Begitulah Avianti Armand, cerpenis yang juga arsitek, menggambarkan dunia arsitektur di Tanah Air saat ini yang hanya berpihak pada orang-orang normal. Padahal, arsitektur bukan hanya dibutuhkan orang normal, melainkan juga para penyandang cacat.

Memang pemerintah telah memberi panduan resmi yang memuat tata cara pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang cacat pada bangunan. Sayangnya, sebagian besar panduan itu berisi tentang cara penerapan aksesibilitas untuk penyandang cacat berkursi roda. Sedangkan penerapan aksesibilitas bagi penyandang tunarungu masih sangat kurang.

Contohnya, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006. Hanya 1% dari panduan ini yang memuat pengaplikasian aksesibilitas khusus penyandang tunarungu. Terapannya hanya mencakup pemasangan simbol, marka, rambu, dan alarm kebakaran. Padahal, penyandang tunarungu memiliki kebutuhan ruang yang lain dan bersifat lebih spesifik.

Dalam percakapan tiga penyandang tunarungu, misalnya. Secara tidak langsung, satu di antaranya berperan sebagai pengawas sekaligus navigator. Ini bertujuan menjaga mereka dari bahaya di jalan atau lingkungan sekitarnya. Jika ada mobil yang melintas, sang navigator biasanya tidak terlalu terlibat dalam percakapan.

Selain itu, pemakaian bahasa isyarat mengharuskan penyandang tunarungu saling bertatap muka agar dapat berkonsentrasi pada pembicaraan. Komunikasi dengan bahasa isyarat mengharuskan jarak antara penyandang tunarungu menjadi lebih lebar dibandingkan dengan orang normal saat mengobrol. Jadi, mereka membutuhkan trotoar yang lebih lebar agar dapat leluasa menggunakan bahasa isyarat tanpa memperhatikan lingkungan di sekitarnya.

Fenomena takete dan maluma juga sangat penting bagi komunikasi penyandang tunarungu. Posisi desain tempat duduk maluma, melingkar atau elips, lebih nyaman untuk berkomunikasi dibandingkan dengan pola tempat duduk takete, yang lurus atau menyiku. Karena itu, penerapan arsitektur yang bersifat maluma lebih memudahkan penyandang tunarungu untuk menikmati ruang dan berkomunikasi.

Bagi penyandang tunarungu yang cenderung menggunakan penglihatan, akses visual menjadi penting karena memungkinkan mereka dapat melihat apa yang ada di sekitar. Itu terkait dengan natural surveillance, salah satu komponen yang berkontribusi pada pembentukan lingkungan yang aman (defensible space) bagi penyandang tunarungu selain teritori, desain bangunan, dan lokasi.

Mata mampu membentuk kesadaran (awareness) bagi tunarungu sehingga muncul rasa aman (safety). Untuk itu, selain pencahayaan, tata ruang, posisi, jarak, tingkat visibilitas, material, dan ukuran sangat mempengaruhi kualitas akses visual.

Yang juga harus diperhatikan dalam arsitektur bagi tunarungu adalah transparansi. Transparansi memiliki kaitan dengan persepsi visual karena mengizinkan melihat apa yang ada di baliknya. Dalam transparansi literal, diperlukan pemasangan kaca atau material tembus pandang agar dapat melihat apa yang ada di baliknya secara langsung. Namun tentu saja berakibat terganggunya privasi penyandang tunarungu.

Buku ini bukan hanya langkah lanjut dari skripsi Meutia Rin Diani, melainkan juga merupakan "gugatan" atas pengalaman pribadinya sebagai penyandang tunarungu. Dalam tulisannya, sangat jelas penulis terpengaruh oleh The Gallaudet Deaf Diverse Design Guide yang merupakan produk Deaf Space Project. Proyek ini pertama kali dicetuskan Universitas Gallaudet, universitas khusus penyandang tunarungu di Washington, DC, Amerika Serikat. Ini menjadi model rujukan global arsitektur yang ramah bagi penyandang tunarungu sejak 2002.

Sayangnya, penerbit kurang teliti dalam mengedit naskah, sehingga dalam beberapa paragraf masih ada kesalahan penulisan kata, seperti "akses" menjadi "askes". Belum lagi kualitas kertas yang buram, sehingga lebih redup dan bertolak belakang dengan kebutuhan penyandang tunarungu yang harus membaca dengan warna kertas yang kontras agar lebih terang.

Ade Faizal Alami