Jual Buku Bahkan Malaikat pun Bertanya: Membangun Sikap ber-Islam yang Kritis
Judul: Bahkan Malaikat pun Bertanya: Membangun Sikap ber-Islam yang Kritis
Penulis: Jeffrey Lang
Penerbit: Serambi, 2008
Tebal: 507 halaman
Kondisi: Stok lama (cukup)
Stok kosong
Sayyed Hussein Nasr, profesor studi keislaman pada George Washington University, Amerika Serikat, pernah memprediksikan, masuknya Islam di Amerika akan lebih intensif ketimbang belahan lain Eropa. Analisisnya, antara lain: pertama, meski Islam lahir dan besar di tanah Arab, semangat egalitarianismenya menyentuh warga kulit berwarna secara sangat signifikan.
Terutama karena mereka mengalami marjinalisasi dalam banyak sisi kehidupannya. Lihatlah, misalnya, tokoh-tokoh seperti Malcolm X, Elijah Muhammad, Louis Farakhan, Muhammad Ali, dan Mike Tyson. Kedua, kegelisahan spiritual yang dirasakan warga kulit putih Amerika memunculkan studi kritis terhadap nilai etika dan dogma yang mereka terima.
Kritik mereka pada Islam tak jarang justru melahirkan kedewasaan dalam bersikap, setelah mereka secara resmi menyatakan diri memeluk Islam. Antara lain Margareth Marcus (Maryam Jamilah), Martin Ling, Marmaduke W. Pickthall, dan Roger Graudy. Kesadaran dan kedewasaan itu terlihat juga pada Jeffrey Lang.
Dosen matematika pada Universitas Kansas, Amerika Serikat, ini memang baru menyatakan keislamannya beberapa tahun lalu. Tetapi, lihatlah tulisan-tulisannya yang penuh gereget. Setelah sukses dengan buku pertamanya, Strugling to Surrender (Pergumulan Menuju Kepasrahan, Serambi Ilmu, Jakarta, Juni 2000), Lang mengusung tema berikutnya: kesadaran pada agama dan rasionalitas Barat (baca: Amerika).
Agama (terutama Islam) dan rasionalitas yang tumbuh di Barat seringkali dipandang sebagai dua kutub yang bersebelahan. Beribu tahun lamanya citra Islam di Barat dibangun sebagai agama orang- orang Arab yang disebarkan dengan kekuatan pedang. Hal itu terjadi sebagian karena kerja keras orientalis yang memang memberikan stigma sangat buruk pada agama ini.
Sebagian lain justru karena sikap beragama umat Islam sendiri. Misalnya cara berpakaian. Banyak ulama konservatif meyakini bahwa jalabiyah (jubah) Maroko diklaim sebagai pakaian yang paling sesuai dengan sunah Nabi Muhammad SAW. Sehingga, di tengah hiruk-pikuk New York sekalipun, seorang muslim -meskipun ia mualaf-dianjurkan berpakaian seperti itu.
Demikian pula tata cara makan. Kata ulama, sunah Nabi SAW adalah makan menggunakan tangan tanpa sendok dan garpu. Sehingga, menyantap menu spageti di restoran Italia harus dengan jari tangan. Padahal, pesan moral Nabi adalah bahwa saat makan seseorang harus higienis. Sejatinya, para mualaf Islam di Barat tidak harus berusaha menjadi bagian dari entitas Arab.
Sebab, selain bahwa Islam bukan agama orang Arab, budaya bangsa juga membedakan mereka. Misalnya, di Arab Saudi wanita dilarang mengendarai mobil. Dasarnya, wanita dilarang pergi tanpa mahram (saudara)-nya. Ironisnya, bila sopirnya orang Indonesia, tak apa- apa. Di Washington, DC, aturan itu tak mungkin diterapkan. Sebab, menggaji seorang sopir lebih mahal dari biaya pembelian mobilnya.
Buku ini, antara lain, berkisah tentang keinginan menjadi muslim di Barat acapkali harus berbenturan pada perubahan kultur yang tidak mudah. Dan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya "menarik diri" dari Islam. Padahal, menurut Lang, mereka yang antusias pada Islam umumnya berusia muda, kelas menengah, aktif, berpendidikan tinggi, dan banyak bergaul dengan mereka yang terampas hak-haknya (halaman 122).
Buku ini cukup informatif untuk meneropong posisi Islam dan kesulitan yang dihadapi kaum mualaf baru di Barat, terutama Amerika. Murad Hoffman, mantan Duta Besar Jerman di Maroko, yang kemudian memeluk Islam, menyebutkan bahwa Lang berhasil mengidentifikasi persoalan yang dihadapi bangsanya. Maka, mestinya wajah Islam Amerika dibiarkan tumbuh bersama rasionalitas yang mapan.
Inayatullah Hasyim, LL.M
Penulis: Jeffrey Lang
Penerbit: Serambi, 2008
Tebal: 507 halaman
Kondisi: Stok lama (cukup)
Stok kosong
Sayyed Hussein Nasr, profesor studi keislaman pada George Washington University, Amerika Serikat, pernah memprediksikan, masuknya Islam di Amerika akan lebih intensif ketimbang belahan lain Eropa. Analisisnya, antara lain: pertama, meski Islam lahir dan besar di tanah Arab, semangat egalitarianismenya menyentuh warga kulit berwarna secara sangat signifikan.
Terutama karena mereka mengalami marjinalisasi dalam banyak sisi kehidupannya. Lihatlah, misalnya, tokoh-tokoh seperti Malcolm X, Elijah Muhammad, Louis Farakhan, Muhammad Ali, dan Mike Tyson. Kedua, kegelisahan spiritual yang dirasakan warga kulit putih Amerika memunculkan studi kritis terhadap nilai etika dan dogma yang mereka terima.
Kritik mereka pada Islam tak jarang justru melahirkan kedewasaan dalam bersikap, setelah mereka secara resmi menyatakan diri memeluk Islam. Antara lain Margareth Marcus (Maryam Jamilah), Martin Ling, Marmaduke W. Pickthall, dan Roger Graudy. Kesadaran dan kedewasaan itu terlihat juga pada Jeffrey Lang.
Dosen matematika pada Universitas Kansas, Amerika Serikat, ini memang baru menyatakan keislamannya beberapa tahun lalu. Tetapi, lihatlah tulisan-tulisannya yang penuh gereget. Setelah sukses dengan buku pertamanya, Strugling to Surrender (Pergumulan Menuju Kepasrahan, Serambi Ilmu, Jakarta, Juni 2000), Lang mengusung tema berikutnya: kesadaran pada agama dan rasionalitas Barat (baca: Amerika).
Agama (terutama Islam) dan rasionalitas yang tumbuh di Barat seringkali dipandang sebagai dua kutub yang bersebelahan. Beribu tahun lamanya citra Islam di Barat dibangun sebagai agama orang- orang Arab yang disebarkan dengan kekuatan pedang. Hal itu terjadi sebagian karena kerja keras orientalis yang memang memberikan stigma sangat buruk pada agama ini.
Sebagian lain justru karena sikap beragama umat Islam sendiri. Misalnya cara berpakaian. Banyak ulama konservatif meyakini bahwa jalabiyah (jubah) Maroko diklaim sebagai pakaian yang paling sesuai dengan sunah Nabi Muhammad SAW. Sehingga, di tengah hiruk-pikuk New York sekalipun, seorang muslim -meskipun ia mualaf-dianjurkan berpakaian seperti itu.
Demikian pula tata cara makan. Kata ulama, sunah Nabi SAW adalah makan menggunakan tangan tanpa sendok dan garpu. Sehingga, menyantap menu spageti di restoran Italia harus dengan jari tangan. Padahal, pesan moral Nabi adalah bahwa saat makan seseorang harus higienis. Sejatinya, para mualaf Islam di Barat tidak harus berusaha menjadi bagian dari entitas Arab.
Sebab, selain bahwa Islam bukan agama orang Arab, budaya bangsa juga membedakan mereka. Misalnya, di Arab Saudi wanita dilarang mengendarai mobil. Dasarnya, wanita dilarang pergi tanpa mahram (saudara)-nya. Ironisnya, bila sopirnya orang Indonesia, tak apa- apa. Di Washington, DC, aturan itu tak mungkin diterapkan. Sebab, menggaji seorang sopir lebih mahal dari biaya pembelian mobilnya.
Buku ini, antara lain, berkisah tentang keinginan menjadi muslim di Barat acapkali harus berbenturan pada perubahan kultur yang tidak mudah. Dan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya "menarik diri" dari Islam. Padahal, menurut Lang, mereka yang antusias pada Islam umumnya berusia muda, kelas menengah, aktif, berpendidikan tinggi, dan banyak bergaul dengan mereka yang terampas hak-haknya (halaman 122).
Buku ini cukup informatif untuk meneropong posisi Islam dan kesulitan yang dihadapi kaum mualaf baru di Barat, terutama Amerika. Murad Hoffman, mantan Duta Besar Jerman di Maroko, yang kemudian memeluk Islam, menyebutkan bahwa Lang berhasil mengidentifikasi persoalan yang dihadapi bangsanya. Maka, mestinya wajah Islam Amerika dibiarkan tumbuh bersama rasionalitas yang mapan.
Inayatullah Hasyim, LL.M