Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan

Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan
Penulis: Agus Sunyoto
Penerbit: Trans Pustaka, 2011
Tebal: 298 halaman
Kondisi: Buku baru (bagus)
Stok Kosong

Kehadiran Wali Songo dalam panggung sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa tak bisa dipandang sebelah mata. Keberadaannya menyembulkan kesadaran pentingnya dakwah Islam dengan cara moderat, akulturatif, tanpa meninggalkan nilai-nilai yang menjadi pokok ajaran Islam.

Wali Songo layak menyandang gelar tokoh sejarah, yang bukan semata sebagai pelengkap sejarah Jawa, melainkan juga aktor (pelaku) sejarah yang aktif dan bergumul dengan masyarakat. Selama ini, sejarah selalu ditulis dari versi penguasa, dengan penokohan raja yang heroik. Penulisan sejarah seperti ini telah menihilkan kekuatan sosial-kebudayaan masyarakat yang sebetulnya punya peran penting.

Buku ini berikhtiar membuka selubung sejarah versi kerajaan dengan menampilkan sejarah arus bawah, dengan Wali Songo sebagai lokomotif perubahan. Banyak versi mengenai sejarah Wali Songo yang berkembang di masyarakat. Namun penulis buku ini mengambil posisi sangat hati-hati untuk merekonstruksi sejarah Wali Songo. Dia tidak hanya fokus pada zaman hidup Wali Songo.

Di awal buku ini dijelaskan sejarah terbentuknya Nusantara dan agama yang dianut masyarakatnya pada waktu itu. Sebelum berbagai agama dari belahan dunia --Hindu, Buddha, dan Islam-- masuk, penduduk Jawa telah menganut agama Kapitayan dengan "nabi" bernama Semar. Agama ini percaya bahwa roh, yang diyakini sebagai manifestasi Sang Hyang Widi atau Tuhan, mendiami suatu benda. Sebagai bentuk penyembahan, mereka menaruh sesaji pada benda-benda yang memiliki nama tu, seperti wa-tu (batu), tuk (mata air), dan persembahannya disebut tu-mpeng atau tu-mbal.

Agama Kapitayan inilah yang oleh peneliti Barat disebut animisme-dinamisme. Wali Songo bukanlah generasi awal yang berusaha mengislamkan Jawa. Sebelumnya, upaya itu dilakukan pedagang dan penjelajah muslim. Penemuan makam Fatimah binti Maimun di Gresik menjadi pertanda bahwa pada abad ke-10 sudah ada orang Islam di tanah Jawa. Ini juga didukung dengan penemuan makam beberapa tokoh di tempat-tempat lainnya.

Namun saat itu Islam belum bisa diterima secara luas oleh masyarakat. Selain posisi Majapahit sebagai kerajaan Hindu yang ketika itu masih kuat, juga karena para pendatang Islam tersebut tidak memiliki strategi dakwah yang jitu untuk mengislamkan Jawa. Baru ketika Wali Songo datang pada abad ke-15 dan ke-16, Islam diterima masyarakat luas.

Keberhasilan ini ditunjang dengan dakwah Wali Songo yang mengedepankan perdamaian dan dialog kebudayaan. Agama Kapitayan dan Hindu-Buddha yang masih kuat dianut masyarakat tidak serta-merta diberangus, melainkan diasimilasi dan diakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Tidak ada satu agama pun yang merasa dikalahkan atau dilenyapkan.

Harus pula diakui, tidak selamanya Wali Songo membangun dakwah dengan jalan kebudayaan. Setelah Majapahit resmi runtuh, Wali Songo memainkan peran politik, dengan menunjuk Raden Fatah sebagai Raja Demak. Sang raden adalah keturunan Majapahit yang beragama Islam.

Dari sini Islam politik lahir, dengan tidak serta-merta meninggalkan dakwah kebudayaan. Politik ala Wali Songo menjadi landasan etis-kondisional, mengingat kehadiran institusi "negara" (kerajaan) menjadi niscaya untuk mengelola masyarakat dan peradabannya. Politik Wali Songo bergerak melampaui batas-batas kepentingan sesaat para elite. Islam dalam corak Kerajaan Demak adalah manifestasi Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam.

Anggota Wali Songo memiliki berbagai keahlian sehingga memungkinkan untuk berbagi peran. Ada wali yang ahli strategi politik, kesenian, pertanian, dan sebagainya. Kehidupan kenegaraan menjadi seimbang karena ada ahli yang menjadi penyokong masyarakat.

Buku ini menjadi penting bagi kajian sejarah Islam di Indonesia. Bahwa yang dapat diterima masyarakat adalah dakwah kebudayaan dan perdamaian, bukan Islam jalan kekerasan. Islam di Indonesia akan tampak meneduhkan ketika menghormati kebudayaan masyarakat tanpa berhasrat menundukkannya.

Junaidi Abdul Munif
Direktur el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang